tag:blogger.com,1999:blog-77571880331923338492024-02-08T07:08:32.975-08:00Cerpen islamiKumpulan Dari segala cerpen islami. Mulai dari Cerpen islami indonesia hingga cerpen islami dari malaysia.layak dibaca untuk segala umur.dari anak² hingga Dewasa.Terima Kasih Untuk para nara sumber nya. tujuan dari Blog ini Tidak lain untuk Mempublikasikan karya cerpen nara agar bermamfaat buat yang lainnya.Bagi kawan-kawan atau sobat-sobat yang ingin tulisan atau cerpen nya dipublikasikan, harap mengirimkannya ke alamat: awie.doank83@yahoo.com segala kritik atau pun saran sangat dibutuhkan.Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.comBlogger39125tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-12348277917746072342007-09-13T00:23:00.001-07:002008-03-28T17:45:10.507-07:00Cerpen islami - Asma Nadia -<div style="text-align: justify;">Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.<br /><br />Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br /><br />Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br /><br />Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt.<span class="fullpost"> Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br /><br />Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br /><br />Kamu pasti bercanda!<br /><br />Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.<br /><br />Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!<br /><br />Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br /><br />Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br /><br />Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.<br /><br />Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?<br /><br />Nania terkesima.<br /><br />Kenapa?<br /><br />Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br /><br />Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br /><br />Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!<br /><br />Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br /><br />Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br /><br />Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br /><br />Tapi kenapa?<br /><br />Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.<br /><br />Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br /><br />Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br /><br />Cukup!<br /><br />Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?<br /><br />Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.<br /><br />Mereka akhirnya menikah.<br /><br />***<br /><br />Setahun pernikahan.<br /><br />Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.<br /><br />Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br /><br />Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br /><br />Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br /><br />Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br /><br />Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!<br /><br />Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br /><br />Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br /><br />Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br /><br />Rafli juga pintar!<br />Tidak sepintarmu, Nania.<br /><br />Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br /><br />Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br /><br />Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br /><br />Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br /><br />Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br /><br />Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br /><br />Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br /><br />Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br /><br />Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br /><br />Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!<br /><br />Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.<br /><br />Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />Cantik ya? dan kaya!<br /><br />Tak imbang!<br /><br />Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br /><br />Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br /><br />Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br /><br />Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br /><br />Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br /><br />Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br /><br />Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.<br /><br />Baru pembukaan satu.<br />Belum ada perubahan, Bu.<br />Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br /><br />Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.<br /><br />Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.<br /><br />Masih pembukaan dua, Pak!<br />Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br /><br />Bang?<br />Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br /><br />Dokter?<br /><br />Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br /><br />Mungkin?<br />Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />Bagaimana jika terlambat?<br /><br />Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br /><br />Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.<br /><br />Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br /><br />Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br /><br />Pendarahan hebat!<br /><br />Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br /><br />Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br /><br />Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br /><br />Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br /><br />Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br /><br />Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.<br /><br />Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br /><br />Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..<br /><br />Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br /><br />Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br /><br />Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br /><br />Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br /><br />Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br /><br />Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.<br /><br />Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br /><br />Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br /><br />Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br /><br />Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br /><br />Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.<br /><br />Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.<br /><br />Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br /><br />Baik banget suaminya!<br />Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br /><br />Nania beruntung!<br />Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br /><br />Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br /><br />Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br /><br />Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br /><br />Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br /><br />Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br /><br />Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br /><br />Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.<br /><br />Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..<br /><br />- Asma Nadia -<br />Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.<br /><br />Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br /><br />Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br /><br />Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br /><br />Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br /><br />Kamu pasti bercanda!<br /><br />Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.<br /><br />Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!<br /><br />Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br /><br />Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br /><br />Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.<br /><br />Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?<br /><br />Nania terkesima.<br /><br />Kenapa?<br /><br />Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br /><br />Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br /><br />Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!<br /><br />Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br /><br />Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br /><br />Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br /><br />Tapi kenapa?<br /><br />Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.<br /><br />Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br /><br />Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br /><br />Cukup!<br /><br />Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?<br /><br />Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.<br /><br />Mereka akhirnya menikah.<br /><br />***<br /><br />Setahun pernikahan.<br /><br />Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.<br /><br />Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br /><br />Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br /><br />Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br /><br />Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br /><br />Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!<br /><br />Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br /><br />Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br /><br />Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br /><br />Rafli juga pintar!<br />Tidak sepintarmu, Nania.<br /><br />Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br /><br />Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br /><br />Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br /><br />Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br /><br />Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br /><br />Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br /><br />Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br /><br />Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br /><br />Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br /><br />Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!<br /><br />Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.<br /><br />Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />Cantik ya? dan kaya!<br /><br />Tak imbang!<br /><br />Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br /><br />Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br /><br />Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br /><br />Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br /><br />Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br /><br />Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br /><br />Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.<br /><br />Baru pembukaan satu.<br />Belum ada perubahan, Bu.<br />Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br /><br />Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.<br /><br />Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.<br /><br />Masih pembukaan dua, Pak!<br />Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br /><br />Bang?<br />Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br /><br />Dokter?<br /><br />Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br /><br />Mungkin?<br />Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />Bagaimana jika terlambat?<br /><br />Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br /><br />Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.<br /><br />Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br /><br />Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br /><br />Pendarahan hebat!<br /><br />Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br /><br />Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br /><br />Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br /><br />Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br /><br />Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br /><br />Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.<br /><br />Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br /><br />Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..<br /><br />Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br /><br />Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br /><br />Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br /><br />Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br /><br />Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br /><br />Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.<br /><br />Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br /><br />Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br /><br />Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br /><br />Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br /><br />Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.<br /><br />Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.<br /><br />Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br /><br />Baik banget suaminya!<br />Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br /><br />Nania beruntung!<br />Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br /><br />Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br /><br />Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br /><br />Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br /><br />Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br /><br />Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br /><br />Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br /><br />Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.<br /><br />Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..<br /><br />- Asma Nadia -</span><br /></div><br /><span class="fullpost"><br /></span>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com111tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-58354408815948518022007-09-12T21:17:00.001-07:002008-03-28T17:34:21.566-07:00Baru Kusadari Ternyata....<div style="text-align: justify;">Suami saya adalah serorang jurutera, saya mencintai sifatnya yang semulajadi dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika bersandar dibahunya.<br /><br />3 tahun dalam masa perkenalan dan 2 tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahawa saya mulai merasa letih...lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimental dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindui saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang sentiasa mengharapkan belaian ayah dan ibunya. Tetapi, semua itu tidak pernah saya perolehi.<span class="fullpost">Suami saya jauh berbeza dari yang saya harapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam perkahwinan kami telah mematahkan semua harapan saya terhadap cinta yang ideal.<br /><br />Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahawa saya<br />inginkan penceraian. "Mengapa?"Dia bertanya dengan nada terkejut. "Siti letih, Abang tidak pernah cuba memberikan cinta yang saya inginkan." Dia diam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, nampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang lelaki yang tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang boleh saya harapkan daripadanya? Dan akhirnya dia bertanya.<br /><br />"Apa yang Abang boleh lakukan untuk mengubah fikiran Siti?" Saya merenung matanya dalam-<br />dalam dan menjawab dengan perlahan. "Siti ada 1 soalan, kalau Abang temui jawapannya didalam hati Siti, Siti akan mengubah fikiran Siti; Seandainya, Siti menyukai sekuntum bunga cantik yang ada ditebing gunung dan kita berdua tahu jika Abang memanjat gunung-gunung itu, Abang akan mati. Apakah yang Abang akan lakukan untuk Siti?"<br /><br />Dia termenung dan akhirnya berkata, "Abang akan memberikan jawapannya esok." Hati saya terus gundah mendengar responnya itu. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menenui selembar kertas dengan coretan tangannya dibawah sebiji gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan... 'Sayangku, Abang tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi izinkan Abang untuk menjelaskan alasannya." Kalimah pertama itu menghancurkan hati saya. Namun, saya masih terus ingin membacanya. "Siti boleh mengetik dikomputer dan selalu mengusik program didalamnya dan akhirnya menangis di depan monitor, Abang harus memberikan jari-jari Abang supaya boleh membantu Siti untuk memperbaiki program tersebut." "Siti selalu lupa membawa kunci rumah ketika Siti keluar, dan Abang harus memberikan kaki Abang supaya boleh menendang pintu, dan membuka pintu untuk Siti ketika pulang."<br /><br />"Siti suka jalan-jalan di shopping complexs tetapi selalu tersasar dan ada ketikanya sesat di tempat- tempat baru yang Siti kunjungi, Abang harus mencari Siti dari satu lot kedai ke satu lot kedai yang lain mencarimu dan membawa Siti pulang ke rumah."<br /><br />"Siti selalu sengal-sengal badan sewaktu 'teman baik' Siti datang setiap bulan, dan Abang harus<br />memberikan tangan Abang untuk memicit dan mengurut kaki Siti yang sengal itu." "Siti lebih suka duduk di rumah, dan Abang selalu risau Siti akan menjadi 'pelik'. Dan Abang harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburkan Siti dirumah atau meminjamkan lidah Abang untuk menceritakan hal-hal kelakar yang Abang alami."<br /><br />"Siti selalu menatap komputer, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesihatan mata Siti,<br />Abang harus menjaga mata Abang agar ketika kita tua nanti, abang dapat menolong mengguntingkan kukumu dan memandikanmu." "Tangan Abang akan memegang tangan Siti,<br />membimbing menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan<br />warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu."<br /><br />"Tetapi sayangku, Abang tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Kerana, Abang tidak sanggup melihat airmatamu mengalir menangisi kematian Abang."<br /><br />"Sayangku, Abang tahu, ada ramai orang yang boleh mencintaimu lebih daripada Abang mencintai Siti."<br /><br />"Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan oleh tangan, kaki, mata Abang tidak cukup bagi Siti. Abang tidak akan menahan diri Siti mencari tangan, kaki dan mata lain yang dapat membahagiakan Siti."<br /><br />Airmata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuatkan tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya lagi.<br /><br />"Dan sekarang, Siti telah selesai membaca jawapan Abang. Jika Siti puashati dengan semua<br />jawapan ini, dan tetap inginkan Abang tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, Abang sekarang sedang berdiri di luar sana menunggu jawapan Siti."<br /><br />"Puaskah Siti sayangku..?"<br /><br />"Jika Siti tidak puas hati, sayangku...biarkan Abang masuk untuk mengemaskan barang-barang<br />Abang, dan Abang tidak akan menyulitkan hidupmu. Percayalah, bahagia Abang bila Siti bahagia."<br /><br />Saya terpegun. Segera mata memandang pintu yang terkatup rapat. Lalu saya segera berlari membukakan pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah gusar sambil tangannya<br />memegang susu dan roti kesukaan saya.<br /><br />Oh! Kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah beransur-ansur hilang dari hati kita kerana kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam 'kewujudan' yang kita inginkan, maka cinta itu telah hadir dalam 'kewujudan' yang tidak pernah kita bayangkan sebelum ini.</span><br /></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-18535392891143627342007-09-12T21:15:00.000-07:002007-09-12T21:33:15.380-07:00Cinta Laki-laki Biasa<div style="text-align: justify;">Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.<br /><br />Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br /><br />Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br /><br />Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt.<span class="fullpost"> Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br /><br />Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br /><br />Kamu pasti bercanda!<br /><br />Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.<br /><br />Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!<br /><br />Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br /><br />Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br /><br />Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.<br /><br />Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?<br /><br />Nania terkesima.<br /><br />Kenapa?<br /><br />Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br /><br />Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br /><br />Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!<br /><br />Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br /><br />Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br /><br />Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br /><br />Tapi kenapa?<br /><br />Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.<br /><br />Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br /><br />Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br /><br />Cukup!<br /><br />Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?<br /><br />Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.<br /><br />Mereka akhirnya menikah.<br /><br />***<br /><br />Setahun pernikahan.<br /><br />Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.<br /><br />Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br /><br />Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br /><br />Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br /><br />Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br /><br />Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!<br /><br />Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br /><br />Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br /><br />Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br /><br />Rafli juga pintar!<br />Tidak sepintarmu, Nania.<br /><br />Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br /><br />Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br /><br />Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br /><br />Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br /><br />Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br /><br />Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br /><br />Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br /><br />Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br /><br />Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br /><br />Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!<br /><br />Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.<br /><br />Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />Cantik ya? dan kaya!<br /><br />Tak imbang!<br /><br />Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br /><br />Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br /><br />Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br /><br />Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br /><br />Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br /><br />Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br /><br />Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.<br /><br />Baru pembukaan satu.<br />Belum ada perubahan, Bu.<br />Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br /><br />Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.<br /><br />Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.<br /><br />Masih pembukaan dua, Pak!<br />Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br /><br />Bang?<br />Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br /><br />Dokter?<br /><br />Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br /><br />Mungkin?<br />Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />Bagaimana jika terlambat?<br /><br />Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br /><br />Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.<br /><br />Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br /><br />Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br /><br />Pendarahan hebat!<br /><br />Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br /><br />Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br /><br />Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br /><br />Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br /><br />Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br /><br />Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.<br /><br />Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br /><br />Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..<br /><br />Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br /><br />Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br /><br />Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br /><br />Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br /><br />Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br /><br />Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.<br /><br />Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br /><br />Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br /><br />Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br /><br />Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br /><br />Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.<br /><br />Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.<br /><br />Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br /><br />Baik banget suaminya!<br />Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br /><br />Nania beruntung!<br />Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br /><br />Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br /><br />Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br /><br />Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br /><br />Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br /><br />Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br /><br />Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br /><br />Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.<br /><br />Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..<br /><br />- Asma Nadia -<br />Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.<br /><br />Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br /><br />Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br /><br />Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br /><br />Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br /><br />Kamu pasti bercanda!<br /><br />Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.<br /><br />Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!<br /><br />Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br /><br />Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br /><br />Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.<br /><br />Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?<br /><br />Nania terkesima.<br /><br />Kenapa?<br /><br />Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br /><br />Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br /><br />Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!<br /><br />Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br /><br />Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br /><br />Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br /><br />Tapi kenapa?<br /><br />Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.<br /><br />Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br /><br />Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br /><br />Cukup!<br /><br />Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?<br /><br />Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.<br /><br />Mereka akhirnya menikah.<br /><br />***<br /><br />Setahun pernikahan.<br /><br />Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.<br /><br />Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br /><br />Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br /><br />Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br /><br />Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br /><br />Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!<br /><br />Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br /><br />Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br /><br />Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br /><br />Rafli juga pintar!<br />Tidak sepintarmu, Nania.<br /><br />Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br /><br />Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br /><br />Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br /><br />Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br /><br />Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br /><br />Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br /><br />Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br /><br />Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br /><br />Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br /><br />Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!<br /><br />Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.<br /><br />Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />Cantik ya? dan kaya!<br /><br />Tak imbang!<br /><br />Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br /><br />Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br /><br />Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br /><br />Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br /><br />Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br /><br />Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br /><br />Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.<br /><br />Baru pembukaan satu.<br />Belum ada perubahan, Bu.<br />Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br /><br />Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.<br /><br />Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.<br /><br />Masih pembukaan dua, Pak!<br />Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br /><br />Bang?<br />Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br /><br />Dokter?<br /><br />Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br /><br />Mungkin?<br />Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />Bagaimana jika terlambat?<br /><br />Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br /><br />Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.<br /><br />Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br /><br />Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br /><br />Pendarahan hebat!<br /><br />Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br /><br />Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br /><br />Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br /><br />Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br /><br />Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br /><br />Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.<br /><br />Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br /><br />Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..<br /><br />Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br /><br />Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br /><br />Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br /><br />Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br /><br />Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br /><br />Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.<br /><br />Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br /><br />Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br /><br />Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br /><br />Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br /><br />Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.<br /><br />Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.<br /><br />Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br /><br />Baik banget suaminya!<br />Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br /><br />Nania beruntung!<br />Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br /><br />Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br /><br />Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br /><br />Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br /><br />Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br /><br />Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br /><br />Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br /><br />Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.<br /><br />Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..<br /><br />- Asma Nadia -</span><br /></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-15002878047608146632007-09-12T20:45:00.000-07:002007-09-12T20:56:05.927-07:00Pagi Bening<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">Penulis:Isbedy Stiawan ZS<br /></div><br />MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.<br /><br />Kau termangu di depan layar kotak kecil itu. Ah, apa yang kausaksikan dari dunia-kecil dan kedil itu? Tangan-tangan memanjang. Merengkuh dua atau tiga benua. Disatukan ke dalam pelukan. Muntah. Mesiu menebar. O, ada tangis. Luka. Anak-anak menatap masalalu-masadepan. Kosong. Di pecahan tembok. Mengintip moncong senapan. Menguping deru tank. Mengangguk-angguk: “satu lagi, seratus lagi. Korban jatuh…â€<br /><br />Penjagal. Algojo bertangan mulus. Putih. Hidung mancung. Tanpan. Tangannya menjangkau. Menjabat seluruh dunia. <span class="fullpost">Menabur pundi-pundi uang. Dermawan kau… Ah, tidak. Kau pemangsa. Nyawa melayang. Melesat bagai meteor. Tubuh-tubuh kemudian jadi kaku.<br /><br />Sudah berapa kematian di sini? Aroma ganja menebar. Asap mengepul, kita hirup bersama-sama. Aku, kau, kalian, mereka, dan kita semua mabuk. Ply ply…Bawa kemari rencong-rencong itu. Akan kukibarkan sebagai bendera. Akan kutancapkan ke perut-perut para serdadu.<br /><br />Ah, tidak. Rencong akan selalu kalah cepat dengan senapan. Mereka—para serdadu itu—tak berbilang jumlahnya. Sedangkan kami? Berapalah orang, berapalah kampung? Sekali dibombardir, habislah kami. Tetapi, kenapa kami tak pernah habis-habis?<br /><br />“Tuhan selalu bersama kami. Melindungi anak-anak kami, perempuan-perempuan kami, nyawa kami, kampung kami, tanah-kelahiran kami. Ganja-ganja kami, kebun-kebun kami. Rencong kami selalu bergairah untuk melawan!â€<br /><br />Dusta! Manalah mungkin kalian bisa melawan. Lihatlah para serdadu, tak berbilang jumlahnya, seia dan setia setiap saat untuk memuntahkan peluru-pelurunya. Cuma belum waktunya kalian dihabisi. Masih perlu strategi, mengulur-ulur waktu, sampai kalian terlelap dalam kegembiraan. Setelah itu habislah seluruh kalian, tak bersisa. Juga cinta kalian pada tanah dan air kelahiran ini.<br /><br />“Bukankah hidup hanya menunda kematian1? Lebih tak berharga jika menyelesaikan hidup ini dengan sia-sia, tiada berharga. Maka itu, kami mesti berjuang untuk mempertahankan tanah kelahiran ini. Betapa pun kami mesti berkalang tanah. Sudah habis kesabaran kami ketika kalian datang kemari lalu membawa seluruh kekayaan kami. Yang tinggal di sini untuk kami cuma ampas, taik minyak, ladang-ladang yang kerontang…â€<br /><br />Adakah itu keadilan? Kami yang telah berabad-abad menjaga, menyuburkan, dan menyulingnya. Tetapi, hasilnya kalian bawa. Kalian yang bergelimang harta, kami yang berkalang luka.<br /><br />Ke mana dan kepada siapa kami mengadu? Sedang angin tak pernah mengirim kabar nestapa kami. Ke mana dan kepada siapa kami harus melabuhkan duka? Sedang pelabuhan tak membukakan pintunya? Ke mana dan kepada siapa kami akan menurunkan sauh? Sedang pantai tiada lagi.<br /><br />Ya!<br />Siapa yang pecahkan vas bunga<br />di pekarangan rumah kita<br />Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya2<br /><br />*<br />MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.<br /><br />Kami bayangkan, minggu-minggu di sini akan selalu tersenyum. Tertawa bagi kebahagiaan kami, bagi kedamaian kami, bagi kemerdekaan kami. Tetapi, yang terjadi, ketakutan demi ketakutan menerpa kami. Mau seperti selalu mengintip sela kami. Selangkangan kami tak henti basah. Airmata kami tak habis-habis mengalir.<br /><br />Suara dentuman itu. Suara peringatan itu. Suara ancaman itu. O! Telah membuat kami semakin ketakutan. Oh, tidak! Kami tak pernah takut, bahkan kepada singa yang buas sekali pun. Ketakutan kami hanya kepada Tuhan, pada amarah agama kami, jika kami mengabaikan anjuran jihad-Nya.<br /><br />Aku bayangkan tak lagi kudengar<br />Derap sepatu juga aum serdadu3<br /><br />Tetapi, mungkinkah itu? Para serdadu itu kini sudah membanjiri kota-kota kami, kampung-kampung kami, dusun-dusun kami, rumah-rumah penduduk kami. Mereka tak saja mengancam, menembaki, juga menggagahi perempuan-perempuan kami.<br /><br />Alangkah nistanya jika kami membiarkan kebiadaban itu. Alangkah terkutuknya sepanjang masa jika kami tak melawan. Maka kami angkat senjata pula. Kami acung-acungkan rencong-rencong kami dan menusukkan ke perut mereka.<br /><br />Perlawanan tak seimbang memang. Tetapi, apakah kami rela teraniaya selamanya? Mana yang lebih berharga menjadi orang terjajah sepanjang masa atau mati dalam arena perlawanan?<br /><br />Hidup hanya sekali. Darah akan tetap berwarna merah meski kami kalah. Maka berjihad menjadi ukuran perlawanan orang-orang teraniaya seperti kami. Apa kami akan selalu disetir, dikomandoi, diintimidasi oleh satu kekuatan yang zalim?<br /><br />Teringat kami pada perjuangan sang Muhammad. Ia begitu gigih, tak pernah mati strategi dan semangat menegakkan perdamaian. Apa kami harus lupa pada ghirah suci seperti itu? Tak. Tiada akan pernah.<br /><br />Ini tanah air kami. Ini kampung kelahiran kami. Tiada yang bisa mengusir kami dari tanah tumpah darah kelahiran kami. Sungai itu telah menampung air tuba kami. Tanah ini yang telah menanam ari-ari kami. Ranjang ini yang membiarkan basah oleh darah kelahiran kami. Ibu kami yang bersakit-sakit menjaga kelahiran kami.<br /><br />Wahai saudara kami. Kita bersaudara. Maka turunkan senjatamu. Kunci pelatuk senapanmu. Beningkan airmuka amarahmu. Mari kita berpelukan. Tetapi, biarkan kami menjaga tanah kelahiran kami. Pulanglah saudaraku ke tanah kelahiranmu, ke barak-barakmu, yakinlah kami bisa mengolah segala yang ada di kampung kami.<br /><br />“Bukankah kau tahu, bumi ini diciptakan bukan untuk menampung pertumpahan darah? Kita ada karena kita dipercaya sebagai khalifah bagi perdamaian semesta, rahmat bagi dunia dan akhirat?†katamu satu malam.<br /><br />Kami akan bakar pohon-pohon ganja. Kami tanam bom-bom kami di ladang-ladang tak bertuan. Tak akan ia meledakkan kota-kota yang riuh. Hotel-hotel yang gemuruh. Tiada. Sebab jangan kaumengira kami yang meledakkan bom di keramaian itu, di candi-candi itu, di tempat-tempat hiburan itu. Bukan. Kami punya adab yang mesti kami jaga sebagai kehormatan.<br /><br />Tetapi, selalu saja dan selalu saja, wajah-wajah kami yang tertera di media-media pemberitaan. Dalam sketsa-sketsa: rekayasa orang-orang yang membenci kami.<br /><br />Dusta apa ini yang tengah kalian sebarkan untuk kami? Fitnah apa yang tengah kalian rancang untuk mengubur karakter kami? Dan, memang, sebagaimana diingatkan Tuhan kami bahwa “kalian tak akan pernah bosan sampai kami mengikuti milah kalianâ€. Demikianlah, kalian coba berbagai cara untuk menghancurkan kami. Kemudian kami kalah, kami mengikuti kehendak kalian.<br /><br />Tetapi Cahaya kami tak akan pernah redup. Bulan-bintang akan selalu menebarkan sinar-Nya setiap malam. Matahari akan selalu terbit dari dalam jiwa kami, dan akan tenggelam di batin kalian.<br /><br />Maka, inilah perjuangan kami. Perlawanan kami. Pengorbanan kami. Jihad kami. Betapa pun di antara kami mesti ada yang syahid sebagai syuhada. Sebab, kami yakin, seribu kami akan terus berlahiran.<br /><br />Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.<br /><br />Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.<br /><br />Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.<br /><br />Seperti Muhammad yang menyatukan Timur-Barat-Selatan-Utara. Dari tanah Arab hingga ke Eropa dan Amerika: semesta.<br /><br />*<br /><br />JUMAT tersenyum. Padang yang terbentang. Kami tafakurkan jiwa kami, kami zikirkan seluruh hidup-mati kami. Dari sini kami harus memulai menegakkan kembali tiang-tiang keyakinan kami yang nyaris porak oleh dusta dan fitnah kalian.<br /><br />“Selamat berjuang,†katamu bersemangat.<br /><br />“Selamat berjihad,†katamu yang lain tak kalah ghirah-nya.</span><br /></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-68266893455992752112007-09-12T20:34:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.927-07:00Ketika mas Gagah Pergi<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><em>Oleh : Helvi Tyana Rosa</em><br /></div><br />Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!<br /><br />Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak <span class="caps">SMA</span>.<br /><br />Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. <span class="fullpost">Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.<br /><br />Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.<br /><br />Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.<br /><br />"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"<br /><br />"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"<br /><br />"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"<br /><br />Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.<br /><br />Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?<br /><br />"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.<br /><br />Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!<br /><br />Itulah Mas Gagah!<br /><br />Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…<br /><br />"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!<br /><br />"Assalaamu’alaikum!"seruku.<br /><br />Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.<br /><br />"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.<br /><br />"Matiin kasetnya!"kataku sewot.<br /><br />"Lho memangnya kenapa?"<br /><br />"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.<br /><br />"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"<br /><br />"Bodo!"<br /><br />"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."<br /><br />"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"<br /><br />"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"<br /><br />"Pokoknya kedengaran!"<br /><br />"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"<br /><br />"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.<br /><br />Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"<br /><br />"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung <span class="hilite">islami</span>. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.<br /><br />Oala.<br /><br />Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua <span class="caps">SMA</span>, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.<br /><br />Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"<br /><br />Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!<br /><br />Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.<br /><br />"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"<br /><br />"Lain gimana Ma?"<br /><br />"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"<br /><br />Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."<br /><br />Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."<br /><br />Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.<br /><br />Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"<br /><br />"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"<br /><br />"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"<br /><br />Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"<br /><br />Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"<br /><br />Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."<br /><br />Mas Gagah tersenyum.<br /><br />"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.<br /><br />"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"<br /><br />Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.<br /><br />Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.<br /><br />"Mau kemana Gita?"<br /><br />"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."<br /><br />"Ikut Mas aja yuk!"<br /><br />"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"<br /><br />Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.<br /><br />"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.<br />Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.<br /><br />"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.<br /><br />Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.<br />Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."<br /><br />Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!<br /><br />"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.<br /><br />"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.<br /><br />"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."<br /><br />Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.<br /><br />"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."<br /><br />Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.<br /><br />"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.<br /><br />"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"<br /><br />Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.<br /><br />"Mbak Ana?"<br /><br />"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.<br /><br />"Hidayah."<br /><br />"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"<br /><br />"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.<br /><br />‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.<br /><br />"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…<br /><br />"Cuma lagi baca!"<br /><br />"Buku apa?"<br /><br />"Tumben kamu pingin tahu?"<br /><br />"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.<br /><br />"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.<br />Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.<br /><br />"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.<br /><br />"Maaas…"<br /><br />"Apa Dik Manis?"<br /><br />"Gita akhwat bukan sih?"<br /><br />"Memangnya kenapa?"<br /><br />"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.<br /><br />Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.<br /><br />Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.<br /><br />"Mas kok nangis?"<br /><br />"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."<br /><br />Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…<br /><br />"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.<br /><br />"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.<br /><br />"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"<br /><br />"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.<br /><br />Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.<br /><br />Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.<br /><br />"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"<br /><br />Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus <span class="hilite">Islami</span> dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.<br />Aku nyengir kuda.<br /><br />Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.<br />"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.<br />"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.<br /><br />Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."<br /><br />Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.<br /><br />"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.<br /><br />"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.<br />Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.<br /><br />"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.<br /><br />"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.<br /><br />"Lho! " Mas Gagah bengong.<br /><br />Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan <span class="caps">FTUI</span> untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"<br /><br />Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.<br /><br />Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.<br />Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.<br /><br />Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.<br /><br />Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.<br />Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.<br /><br />"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.<br /><br />"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.<br /><br />"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.<br /><br />"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"<br /><br />"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "<br /><br />"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.<br /><br />Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.<br /><br />"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.<br />Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.<br /><br />Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.<br /><br />"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.<br /><br />Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.<br /><br />"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.<br /><br />Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."<br /><br />Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.<br /><br />"Kriiiinggg!" telpon berdering.<br /><br />Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"<br /><br />"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.<br /><br />"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.<br /><br />"Mas Gagaaaaahhhh<img alt="" src="http://islam.blogsome.com/category/cerpen-islami/%21" border="0" />" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.<br />Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.<br /><br />Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.<br />Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.<br /><br />" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.<br /><br />Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."<br /><br />Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.<br /><br />"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.<br /><br />Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.<br /><br />"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.<br /><br />Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang <span class="caps">ICU</span> kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."<br /><br />Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."<br /><br />"Gita…" suaraku serak menahan tangis.<br /><br />Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.<br /><br />"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.<br /><br />Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.<br />Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."<br /><br />Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.<br /><br />"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.<br /><br />"Gi..ta…"<br />Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.<br /><br />"Gita di sini, Mas…"<br />Perlahan kelopak matanya terbuka.<br /><br />"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.<br />Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.<br /><br />"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.<br /><br />Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang <span class="caps">ICU</span> memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.<br /><br />Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.<br /><br />Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.<br /><br />"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.<br /><br />Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.<br /><br /><br />Epilog:<br /><br />Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.<br /><br />Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.<br /><br />Setitik air mataku jatuh lagi.<br /><br />"Mas, Gita akhwat bukan sih?"<br /><br />"Ya, insya Allah akhwat!"<br /><br />"Yang bener?"<br /><br />"Iya, dik manis!"<br /><br />"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"<br /><br />"Kok nanya gitu sih?"<br /><br />"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"<br /><br />"Ganteng kan?"<br /><br />"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"<br /><br />"Ya always dong, jihad itu…"<br /><br />Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!<br /><br />Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,<br />Dan jadilah muslimah sejati<br />Agar Allah selalu besertamu.<br />Sun sayang,<br />Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com32tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-29571925313877546252007-09-12T20:33:00.004-07:002007-09-12T20:56:05.927-07:00Menanti Bangau Lewat<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">Source : Hokoriku-MOL<br /></div><br />Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, "Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi..." suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.<br /><br />"Alhamdulillah…, laki-laki atau perempuan Bu ?" Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.<br /><br />"Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…" Ibu tertawa bahagia. <span class="fullpost">Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.<br /><br />"Selamat ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit" janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.<br /><br />Setelah menutup telpon Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.<br /><br />"Koq melamun !…" Mas Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.<br /><br />"Mas, ibu tadi mengabari Dini sudah melahirkan, bayinya laki-laki" cerita Anis.<br /><br />"Alhamdulillah...Dila sudah punya adik sekarang" senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.<br /><br />Selepas Isya bersama, Mas Iqbal segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja. Dibantu temannya seorang notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.<br /><br />Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan cekatan sigap membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya. Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.<br /><br />Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya… Atas saran dari banyak orang Anis mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.<br /><br />"Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…" senyum Anis sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.<br /><br />Setahun berlalu. Ditengah kebahagiaan rumah tangganya ada cemas yang kian mengganggu Anis. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat Islam. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.<br /><br />Kadang Anis menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya "Anis...apa yang harus disedihkan, dengan atau tanpa anak rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…" goda Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya. Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihannya. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do'a dan berserah dirinya pada Allah. Kadang Anis heran kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.<br /><br />Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.<br /><br />Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain. Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do'a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.<br /><br />Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ditambah lagi berwudhu ditengah malam, melunturkan sebagian besar kemelut dalam dadanya. Setelah membangunkan suaminya, Anis shalat malam berdua. Di akhir shalat air mata Anis membasahi sajadahnya. "Rabbi..., ampunilah dosa-dosa kami, jangan beri kami cobaan yang tidak kuat kami menanggungnya. Beri kami kekuatan dalam menjalani semuanya. Perkenankan kami memiliki buah hati pewaris kami, penerus kami dalam menegakkan Dien-Mu. Hanya ridha-Mu yang kami cari. Sungguh tidak ada yang lain lagi...". Selesai shalat Anis terlelap. Dalam mimpinya ia bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.<br /><br />*****<br /><br />Suatu siang di kantornya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, "Mbak Anis, ada tamu yang mau bertemu".<br /><br />"Dari mana Fit ?" tanya Anis.<br /><br />"Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, mau menawarkan kerja sama".<br /><br />"Iya deh, saya kedepan sepuluh menit lagi" jawab Anis.<br /><br />Setelah bincang-bincang dengan tamunya akhirnya Anis menyepakati kerja sama menyantuni beberapa anak-anak yatim yang diasuh yayasan tersebut. Anis memang selalu menyisihkan rezkinya untuk mereka yang membutuhkan. Perusahaan mungil yang dikelolanya selalu berusaha menjalankan syariat Islam.<br /><br />Sejak itu Anis punya kegiatan baru, menyantuni dan mengasuh beberapa anak yatim bersama yayasan tersebut. Tidak banyak kegiatan sebenarnya, hanya laba perusahaan kecilnya yang tidak seberapa disisihkan sebagian untuk disalurkan sebagai beasiswa untuk beberapa anak-anak tersebut. Itupun setelah dimusyawarahkan dengan semua teman-teman dan disetujui bersama. Tapi banyak hikmah yang Anis dapatkan. Sesekali Anis jadi bertemu dan bersahabat dengan mereka. Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya sehingga tidak seberuntung yang lain, yang mendapat curahan perhatian dan kasih sayang berlimpah dari orang tua. Mereka memang kurang beruntung, tapi kesabaran dan ketegaran mereka membuat Anis malu menyadari dirinya yang rapuh, mudah mengeluh dan sedih. Anis jadi menyadari betapa sebenarnya karunia yang diberikan Allah padanya begitu banyak dan berlimpah. Kalaupun ada satu atau dua hal yang luput, itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang ia telah dapatkan. Anis jadi menata dirinya untuk lebih sabar dan banyak bersyukur. Dengan banyak bersyukur tentu Ia akan lebih banyak memberikan lagi nikmat-Nya.<br /><br />*****<br /><br />"Bu Anis, kuenya enak sekali..." puji Ina tulus. Mata polosnya bersinar senang. Ia memang anak yang manis, kelas 5 SD dan selalu ranking satu di kelasnya, ibunya hanya penjual gado-gado dengan tiga orang anak, sementara ayahnya sudah meninggal sejak Ina kelas satu. Minggu pagi cerah ini Anis memang mengundang beberapa anak asuhnya ke rumah beserta beberapa orang pengurus yayasan. Sejak kemarin ia dan Mas Iqbal pontang-panting menyiapkan semuanya. Sebenarnya bisa saja Anis pesan makanan, tapi entah kenapa ia ingin menyiapkan sendiri, untungnya Mas Iqbal setuju dan membantunya penuh.<br /><br />"Bu Anis, sup nya Farouk tumpah...." jerit Atikah nyaring.<br /><br />Anis sibuk melayani mereka, Mas Iqbal juga tak kalah repot. Sekarang Anis memang semakin dekat dengan mereka, ia berusaha memberikan kasih sayang dan perhatian atau bimbingan semampunya. Mereka banyak membuka mata dan hatinya. Anak-anak malang yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan.<br /><br />Selesai acara Anis kecapekan luar biasa, anak-anak itu terkadang manja dan mencari perhatiannya saja, tapi Anis senang. Tamu-tamu kecil itu menyemarakkan rumahnya.<br /><br />Keesokan paginya Anis bangun agak siang. Selesai shalat subuh dan menyiapkan keperluan Mas Iqbal, ia tertidur lagi. Suaminya berangkat kerja tanpa pamit, kasihan pada Anis yang sepertinya masih kelelahan. Anis sendiri tidak pergi kerja hari ini, ia sudah izin sebelumnya.<br /><br />Jam setengah delapan pagi Anis terbangun oleh dering telepon dari ibunya.<br /><br />"Anis, selamat ulang tahun ya…semoga semakin bertambah keimanannya, sehat, bahagia dan cepat mendapatkan momongan", ujar ibu mendo'akan.<br /><br />"Terima kasih ya, Bu" Anis tersadar bahwa hari ini usianya bertambah lagi. Sebenarnya ia tak pernah menganggap istimewa, tapi kalau ada yang ingat ya senang juga.<br /><br />"Masih sering sedih nggak?..." Ibu menggodanya. Selain Mas Iqbal memang ibu yang paling memahami perasaannya dan tentu saja yang paling sering menghibur dan mendo'akannya.<br /><br />"Ingat lho Nis, apa saja yang kita dapatkan itu sudah hasil seleksi dari sana dan itu adalah yang terbaik untuk kita. Kita harus ikhlas, sabar, dan senang menerimanya. Istri-istri Rasululloh pun ada yang tidak diberi momongan dan itu bukan dosa. Yang penting kita tak putus usaha dan berdo'a, bagaimana hasilnya biar Allah saja yang menentukan", ibu menasehati.<br /><br />"Iya Bu" jawab Anis hampir tak terdengar. Ia terharu ibu selalu memperhatikan dan menghiburnya.<br /><br />Setelah menutup telpon dari ibu Anis dikejutkan lagi oleh selembar surat di meja, yang ini ucapan selamat dari Mas Iqbal rupanya. Anis tersenyum membacanya tapi matanya akhirnya basah juga. Suaminya memang selalu sabar dan penuh perhatian, tak pernah sekalipun ia menyakiti hati Anis, kalaupun ada perbedaan pendapat selalu ia selesaikan dengan bijak. Tiba-tiba Anis merasakan lagi betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk bersedih, apalagi putus asa. Kalau memang sudah tiba waktunya dan baik untuknya, tentu harapan dan do'anya akan dikabulkan. Ia yakin tidak akan ada do'a dan usaha yang sia-sia. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak mungkin Ia mendzholimi hamba-Nya dan Ia yang akan mengabulkan do'a. Insya Allah mungkin esok hari. Ya, siapa tahu… (er)<br /><br />"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui." (Al Ankabuut, 64)</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-72660588909667265232007-09-12T20:33:00.003-07:002007-09-12T20:56:05.927-07:00Kisah Sepanjang Jalan<div style="text-align: justify;">Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.<br /><br />Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah<span class="fullpost"> sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.<br /><br />Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc<br /><br />Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.<br /><br />Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.<br /><br />Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.<br /><br />Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.<br /><br />Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.<br /><br />Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.<br /><br />Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.<br /><br />Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.<br /><br />Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.<br /><br />Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.<br /><br />Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....<br /><br />Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.<br /><br />Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.<br /><br />Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.<br /><br />Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...<br /><br />Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini. </span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-35747484009301917382007-09-12T20:33:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.927-07:00Menebar Kedamaian<div style="text-align: justify;">Baru kali ini selama 5 tahun perkawinannya, Astiti benar-benar tidak mengerti dengan tindakan Iwan suaminya. Iwan, seorang lelaki yang alim dan sholeh membuat keputusan untuk mengontrak rumah di daerah yang lingkungannya benar-benar tidak "bersih". Sejak dipindah tugas oleh kantornya di daerah ini, maka mau tidak mau kami harus mencari kontrakan lagi di daerah yang dekat dengan kantor suaminya. Untuk bertahan tinggal di tempat dulu, rasa-rasanya tidak mungkin lagi karena gaji suaminya akan ludes hanya untuk transport dan lagi jaraknya cukup jauh.<br />Sebenarnya rumah yang akan mereka <span class="fullpost">tempati nanti sangatlah ideal, dan lagi harga sewanya yang cukup murah untuk rumah se type ini, sepetak rumah ukuran 100 meter persegi ditambah pekarangan yang mengelilingi cukup luas. Tempat seperti ini tidak pernah dijumpainya pada "rumah-rumah" nya terdahulu.Tetapi hanya satu yang membuat Astiti tidak suka, yaitu lingkungan sekitarnya yang amat sangat tidak mendukung. Di ujung gang masuk terdapat warung temapt berkumpulnya pemuda-pemuda yang suka mabuk. Kalaulah sudah malam hari suara "genjrang-genjreng" irama musik sangat memekakkan telinga ditambah lagi lingkungan tetangga di daerah ini sangat tidak familiar menurut Astiti. Atau mungkin melihat penampilan Astiti yang lain dari kebanyakan wanita disini dengan menggunakan kerudung yang selalu menutup auratnya. Juga satu lagi yang membuat Astiti paling tidak suka adalah di gang sebelah terdapat sebuah rumah "bordil" sarang maksiyat. Kata orang-orang di sekitar sini rumah bordil tersebut tanpa ijin Pemda setempat alias beroperasi secara gelap tetapi tergolong besar. Tetapi Astiti tidak perduli, mau gelap kek terang benderang kek kalau yang namanya sarang maksiyat tetap saja berdosa, dan sampai saat ini Astiti tidak pernah dan tidak akan mau melihat atau melewati gang sebelah. Ihh Astiti bergidik... Naudzubillahi min dzalik.<br />"Ada apa dek..kok melamun terus sih...udah selesai belum membongkar kotaknya ?" Teguran mas Iwan membuyarkan lamunan Astiti. "Hhemmm...mana bisa beres sih mas dalam waktu singkat" jawab Astiti dengan ogah-ogahan. "Yaaa..mana bisa cepat selesai kalau sama ngelamun begitu...ada yang bisa di bantu dek..?" tanya Iwan ramah. "Banyak sih kalau mau bantu..... itu kotak-kotak di ruang tamu sama sekali belum aku bongkar, kotak yang sudah dibongkarpun belum sempat aku bereskan " Jawab Nastiti agak meninggi..entah karena letih atau hatinya kurang sreg tinggal di rumah baru ini. "Ya sudah sini biar mas bantu..pokoknya tanggung beres deh.." Iwan menyahut dengan sabarnya. Memang kalau Astiti sudah terlihat bersungut-sungut terus pertanda hatinya diliputi perasaan kesal dan kalau sudah begitu Iwan tidak akan menanggapi...percuma kalaupun ditanggapi pun nantinya akan meletuplah pertikaian-pertikaian kecil.<br />Walaupun sudah sepekan mereka boyongan ke rumah baru tersebut, tetapi Astiti masih malas membongkar kardus-kardus barang dan segera merapihkannya. Bahkan ada bebrapa kardus memang sengaja tidak di bongkar olehnya. Karena Astiti berharap kepindahan di rumah ini tidak akan lama. Dan ia berharap Iwan segera dipindah lagi tugas kantornya ataupun kalau tidak mereka menemukan rumah kontrakan lagi yang lebih indah lingkungannya.<br />Enggan pula Astiti untuk melakukan silaturahim dengan tetangga kanan kirinya. Pikirnya percuma saja diajak menuju kebajikanpun susah akan berhasil. Alhasil selama ini Astiti hanya mengurung diri dan anak-anaknya di dalam rumah saja. Pertama yang ia takutkan adalah banyaknya "virus-virus" yang akan menggerayangi anak-anaknya, apalagi Abdullah sudah berusia 3 tahun dan Ahmad 1 tahun akan mudah sekali meniru apa yang dilihat dan didengar Entah apa omongan para tetangga yang beredar Astiti tidak mau tahu. Bahkan Astiti pun melarang mbok Yem khadimat yang telah menemaninya semenjak ia anak-anak untuk tidak bergaul terlalu dekat dengan tetangga sekitar.<br />Semenjak Astiti kecil memang dilahirkan dalam lingkungan yang bersih, dan tidak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya tinggal di daerah seperti ini. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena Ayahnya termasuk pengajar pesantren. Kemudian ketika menginjakkan kakinya di bangku perguruan tinggi, teman-temannya banyak sekali orang-orang yang aktif dalam kajian keislaman dan Astitipun meleburkan diri dalam aktifitas tersebut. Bahkan setelah menikah dengan Iwan tempat tinggalnya tak jauh dari pusat pendidikan Islam yang besar sehingga lingkungan sekitarnya banyak sekali para keluarga Islami yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Jadi selama ini Astiti selalu tinggal di daerah yang bersih dan terisolasi dari virus yang merusak iman.<br />*******<br />Siang itu Astiti pulang dari belanja dan seperti biasanya ia naik mikrolet. Ketika turun dari mikrolet tiba-tiba terdengar celetukan orang dari dalam. "Ehh..nggak nyangka pake jilbab turunnya di warung mang Dirun.." Deg...Asititi terhenyak mendengar celetukan salah seorang penumpang di mikrolet. Ternyata warung mang Dirun tempat berkumpulnya para pemuda berandalan itu terkenal akan kejelekannya. Perasaan Astiti jadi tak menentu.Sesampai dirumah ia menangis menjadi-jadi. Semakin tak betahlah Astiti tinggal di daerah ini. Kesal juga ia tujukan kepada Iwan suaminya, mengapa begitu teganya memilihkan tempat tinggal di lingkungan ini untuk keluarganya. Malam hari sepulang Iwan pulang dari kantor, Astiti menguraikan perasaan yang menggumpal di dadanya. "Mas...kok begitu tega memilihkan tempat tinggal di daerah ini buat kita" tanya Astiti "Emangnya..kenapa to dek..dek..bukannya dimanapun di Bumi Allah itu sama" timpal Iwan " Lho bagaimana sih Mas Iwan ini, lha dekat tempat maksiyat kok ya di jadikan alternatif tempat tinggal...emang nggak ada tempat kontrakan lagi yang lebih baik.." "Ada sih dek tapi itu di perumahan elite seberang jalan, kalau dek Asti mau tinggal di sana gaji Mas nggak cukup..maaf ya dek" canda Iwan. "Mas Iwan sih enak, pergi pagi ke kantor pulang sudah menjelang maghrib, sedangakan aku... mas yang disini sepanjang hari sudah tidak betah melihat berbagai kemaksiyatan di depan mata" Astiti semakin kesal saja dengan Iwan yang masih bisa bercanda padahal ia sudah gondok sekali. "Sebenarnya sebelum Mas putuskan untuk memilih tempat tinggal disini, sudah putar kesana kemari mencari kontrakan. Ada yang di gang samping kiri itu rumahnya kecil sekali hanya ada satu kamar tetapi kontrakannya 2 kali lipat di sini. mas juga heran dek mengapa harga kontrakan rumah ini begitu murah.. Menurut pak RT, karena yang menempati rumah sebelum kita ditemukan bunuh diri dengan gantung di pohon mangga di pekarangan. Hemm apa itu yang membuat dek Asti takut tinggal disini..."tukas mas Iwan "Masya Allah mas...biarpun ada seratus demit, jin dan sebangsanya mengganggu kita ..Insya Allah aku nggak takut mas.." "Bener nih.." selidik mas Iwan. "Rasulullah kan bersabda apabila hendak mencari tempat tinggal, kita juga harus melihat tetangga kiri kanan alias kita juga harus memperhatikan lingkungannya.." timpal Astiti. "Lalu de Asti mau apa...mau pindah, atau mau tinggal di rumah bapak ..." tanya Iwan dengan sabarnya. Astiti terdiam seribu bahasa. "ya..memang idealnya rumah yang akan ditempati memang seperti demikian. Tetapi kalau kondisinya seperti ini bagaimana dek...Lagian Mas sudah membayar uang kontrakan selama setahun, sayang khan kalau kita sudah keburu pindah.."Iwan menjelaskan. Astiti tetap berdiam saja. "Sabar dulu ya dek...Insya Alloh ini merupakan ujian bagi kita. Dimanapun juga kita tinggal yang namanya ujian itu pasti ada dari Alloh. Nah itu artinya kita sebagai orang beriman karena Alloh mendatangkan ujian buat hambanya..." jelas Iwan, "Tinggal bagaimana kita bisa melaksanakan ujian ini atau tidak, artinya kita dapat tinggal di daerah ini tanpa kita teracuni, dan yang terpenting bagaimana kita dapat ber'amar ma'ruf nahi munkar terhadap tetangga.."<br />Kalau sudah begini Astiti sudah tidak dapat mengelak lagi argumen Iwan, karena yang dikatakannya memang ada benarnya. Tinggal bagaimana Astiti menterjemahkan kata sabar dalam kehidupannya sekarang ini. memang benar-benar harus sabar karena tidak terdengar suara adzan Duhur , Asar serta isya', sebagai gantinya terdengar nyanyian musik dangdut. Hanya terdengar adzan Maghribdi surau yang amat sangat kecil dan jarang dipenuhi jamaah.<br />******<br />Siang ini terjadi sebuah insiden kecil di dapur Astiti. Rupanya mbok Yem terburu-buru memasukkan minyak di dalam kompor dan minyak berceceran kemana-mana, sehingga ketika akan dipakai kompor tersebut meledak dan menimbulkan suara keras. Astiti yang baru saja menyelesaikan shalat duhur di kamar menjadi panik. Ia langsung menyambar Ahmad dan Abdullah yang sedang tertidur lelap. Mereka berdua merupakan kekayaan yang paling berharga buatnya di dunia ini. Dan segera memerintahkan mbok Yem segera pergi. Terlihat tangan mbok Yem sebelah kiri agak melepuh. mungkin sedikit terkena jilatan api. Keluar rumah Astiti langsung berteriak minta tolong, segeralah berdatangan para tetangga untuk menolongnya. Sedangkan dari arah warung mak dirun, para pemuda yang biasanya berkongkouw-kongkouw langsung masuk ke rumah Astiti, sekitar lima belasan orang pemuda masuk dan segera membantu memdamkan api yang menjilat dapur Astiti. Tampak semangat sekali mereka. Ada yang mengambil air di sumur, ada yang menyemprotkan air dari keran, ada yang mengambil pasir untuk disebarkan ke arah api.<br />Sedangkan Astiti bersama dua anaknya dan mbok Yem berada di rumah mbak Marni tetangga sebelahnya. Mbak Marni mengambilkan air putih untuk Astiti, dan mbak Lastri tetangganya pula membantu meredakan tangis Ahmad yan kaget melihat kejadian di rumah nya. "Bu Iwan...sabar ya bu...ini air putih ayo diminum dulu, ayo mbok Yem di minum juga " suruh mbak Marni. "Terima kasih ya mbak Marni" ucap Astiti lirih. Pada saat genting seperti ini Ia hanya pasrah kepada Allah saja. "Bu..kalau api belum bisa padam nanti bisa tidur di rumah saya saja, kasihan anak-anak" ajak mbak Marni. Astiti hanya bisa mengiyakan, di dalam hatinya hanya berdoa agar api tidak menjalar kemana-mana.<br />Suasana jalan di rumahnya, siang ini benar-benar ramai sekali. Tetangga-tetangga Astiti bahu membahu memadamkan api yang ada di rumah Astiti. Alhamdulillah tidak sampai setengah jam api berhasil di padamkan, berkat kerja keras para warga dan juga bantuan pemuda-pemuda itu yang berani memadamkan api sehingga jilatannya hanya sampai dapur saja. Itupun hanya daerah di sekitar kompor saja yang terkena, barang-barang lain di dapur dapat diselamatkan.<br />******<br />Kejadian siang itu, telah membuka hati Astiti. Ternyata para pemuda yang selama ini amat dibencinya, telah membantu keluarganya untuk memadamkan api. Ternyata mbak Marni tetangga sebelah rumah, yang bekerja pada malam hari, dan sempat membuat Astiti menjadi tak suka telah banyak membantunya. Ternyata mbak Lastri, mbak Mur, mbak Rini yang sering berdandan menor juga membantu Astiti dengan suka rela. Ternyata bu Dedeh, bu Jali, bu Anom yang sering terlihat oleh Astiti ngerumpi di mana-mana mambantunya pula....<br />Dari kejadian ini Astiti segera tersadar bahw sebenarnya mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang baik, tetapi mungkin tidak ada yang mengarahkan jadilah masyarakat seperti ini. Selama ini ternyata ber amar ma'ruf nahi munkar yang Astiti terima hanya sebatas konsep-konsep belaka dan belum pernah dipratekkan dalan kehidupan sehari-harinya.<br />Kemudian segera Astiti mendiskusikan dengan Iwan suaminya bagaimana cara-cara berdakwah di lingkungan seperti ini. Tentu saja Iwan senang sekali mendengar penuturan dan semangat Astiti. Akhirnya mereka berdua membagi tugas, stiti mencoba mendekati para ibu dan anak-anak sedangakan Iwan mencoba mendekati para pemudanya. Di sela-sela kesibukan yang menumpuk, mereka berdua mencoba mengimplementasikan konsep dakwah yang pernah dipelajari.<br />Pertama-tama yang dilakukan Astiti adalah mencoba mendekati anak-anak kecil. Astiti mengundang sekitar 30an anak -anak seusia 4 tahun sampai 7 tahun dengan alasan syukuran.Dibuatkan kantng-kantong kecil berisi permen dan biskuit. Permainan anak-anak yang meriah di pekarangan rumahnya yang cukup luas dibuatnya. Kalau sudah begini Astiti bersyukur sekali mempunyai pekarangan rumah yang cukup luas.Setelah capai bermain, anak-anak diajaknya berkumpul untuk dicoba mengetahui hafalan surat dan sedikit pengetahuan tentang agama. Cukup shock juga Astiti terhadap anak-anak seusia tersebut ternyata tidak hafal dengan surat Al Fatihah. Tetapi lagu-lagu dangdut mereka cukup fasih melantunkannya.<br />Sekarang kalau sore hari, anak-anak banyak yang bermain di pekarangan rumah Astiti. Sekarang mereka tidak takut terhadap sosok Astiti, yang menurut mereka dahulu terlihat amat galak. Astiti tersenyum sendiri. Lama-lama anak-anak yang suka bermain di pekarangan rumah diajak untuk shalat Maghrib berjamaah dengannya, tentu saja hal ini merupakan sesuati yang baru bagi anak-anak itu. Tetapi mereka menyambut dengan senang. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mengaji.<br />Semakin lama jumlah anak-anak yang sering menyemarakkan rumah Astiti bertambah. Kalau dulu hanya sekitar 10 orang, sekarang berjumlah sekitar 25an anak. Kadang Astiti semakin kewalahan karena banyaknya. Dan ia sekarang dipanggil ibu Haji oleh anak-anak itu, ia hanya meng amin kan mudah-mudahan terkabul cita-cita mulia ini.<br />Sambutan positif ternyata juga bergaung pada ibu anak-anak tadi. Ibu-ibu di lingkungan ini ada yang meminta tolong agar Astiti mengajarkan membaca Alquran. Tentu saja kesempatan emas ini tidak disia-siakan olehnya. Tersebutlah nama mbak Marni, mbak Lastri, mbak Mur, bu Dedeh, bu Anom dan ibu- ibu lainnya menyemarakkan rumah Astiti untuk belajar membaca Alqur'an dan juga di selingi oleh Astiti untuk mengajarkan Islam.<br />Iwanpun tak ketinggalan pula dalam mencoba beramar ma'ruf nahi munkar. Para pemuda yang sering berleha-leha di ujung jalan sering pula bertandang ke rumah.Mereka salut terhadap Iwan, karena Iwan yang berpendidikan tinggi mau bertutur sapa dengan mereka yang rata-rata pemuda putus sekolah dan pengangguran.<br />Sekarang pun jarang dijumpai para pemuda-pemuda itu ber mabuk-mabukan. Tetapi suara musik yang mereka nyanyikan kadang masih terdengar. Tetapi itupun pada hari Sabtu malam saja. Kini mereka dikoordinir oleh Iwan untuk mengerjakan suatu ketrampilan tertentu yang dapat menambah penghasilan. Jamaah di surau pun mulai ramai. Iwan berusaha menghidupkan aktifitas di surau tua itu. Sekarang suara adzan pun terdengar lima waktu berkumanadang.<br />Memang untuk merubah sesuatu secara frontal tidak semudah membalikkan tangan, tetapi butuh pengorbanan yang besar terutama kesabaran.Astiti dan Iwan berusaha untuk memutihkan daerah mereka yang dahulu hitam. Tentunya banyak juga halangan yang menimpa mereka. Tetapi mereka tetap optimis karena Allah lah yang menyertai mereka.<br />Ada lagi harapan dan cita-cita Astiti..yaitu mencoba memutihkan gang sebelah dengan lokalisasinya.Yaa tentunya cita-cita mulia ini Insya Allah akan ditegakkannya. Namun memang butuh waktu untuk itu semua. Allah akan bersama mereka...............<br />******</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-7943731321427491622007-09-12T20:32:00.005-07:002007-09-12T20:56:05.928-07:00Mengayam Kesabaran<div style="text-align: justify;">"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan pulasnya. Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali. "A..Aa..!" <span class="fullpost">Kuguncang-guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara yang ampuh. Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu mencuci tanganku. Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa kantuk yang masih tersisa lenyap dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa. Suamiku terbangun seketika dan menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu. "Assalamu'alaikum! Sudah mau jam 5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya masih ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar mandi.<br />Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran dan doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku. Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika aku memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak papa perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa, kok, "sahutku.<br />Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri secara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti. Maka kubilang pada dokter tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan saja...)" Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)" Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur. "Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!" Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan rasanya. Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan malam buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam di meja makan, malah beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih karena telah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati. "Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam keadaan bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.." Aa bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja. Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh lebih enak dari buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di dekat stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik. "Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah. "Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar hari ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha menghilangkan kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!" Aku mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa hilang di pintu stasiun.<br />Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tidak mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsiku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.<br />Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan.. Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan. ****<br />Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga, yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.<br />Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.<br />Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku atau Aa akan berguman. "lucunya.." "A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam diam. Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..<br />Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin masih tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang kudapat. Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa. "Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas. Dan.."Omedetou gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe melanjutkan. Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar Engkau yang telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan bertahmid dalam hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati juga kaca-kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih padaNya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji bagi Engkau...<br />Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."<br />Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua bulan, tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang pendidikan janin dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yang memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol" dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal aku khawatir juga, karena sampai sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya waktu dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.<br />Sampai saat itu...<br />Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain... "Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu, ya..?" Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya, sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"<br />Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang! Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia masih "hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih.Mengapa dia Kau panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.<br />Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak, aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi kenapa Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam dalam perutku? Seru bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan kutemukan diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan "Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang menandatangani formulir operasi buatku.<br />Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku. Tapi tidak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak ada lagi dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.<br />Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami shalat berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al Baqoroh dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: .... Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun... ...<br />(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ...)<br />Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku. Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya. Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.<br />Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan yang lebih berat lagi.(is95)<br />************<br />Keterangan: Aa * bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Jawa), atau Abang (untuk orang Betawi) Dede * bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah panggilan sayang buat istri) Miso * semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan garam Domou arigatou gozaimasu: terimakasih banyak .....san: cara orang Jepang memanggil lawan bicaranya</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-52317957950214940022007-09-12T20:32:00.003-07:002007-09-12T20:56:05.928-07:00Seindah Mentari Pagi<div style="text-align: justify;">Pagi itu di dapur....<br />" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan lamunanku.<br />" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.<br />" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.<br />" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.<br />" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu, tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap Asih sebagai anggota keluarga sendiri.<br /><br />Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur <span class="fullpost">aku berniat meneruskan tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri tunggalku menghampiriku di kamar.<br />" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.<br />" Nggak kog sayang, ada apa ? ".<br />" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama komputer ".<br />" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja. Ada apa sholihah... ? ".<br />" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".<br />" Ya,... tentang apa nak ? ".<br />" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".<br />" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".<br />" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya<br />" Iya deh insya Allah.... ".<br />" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya menatapku.<br />" Hhhmm.... iya insya Allah ".<br />" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan manjanya.<br />" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.<br />" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau... mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.<br />Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah berpikir ke arah sana.<br /><br />" Sarah,...subhanallah nak...", aku tak dapat meneruskan kata-kataku.<br />" Ummi kaget Sarah,... tapi sekaligus juga bangga ", kataku seraya memeluk Sarah yang masih tertunduk di hadapanku. " Alhamdulillah nak.... Insya Allah kalau nanti abi sudah pulang akan ummi diskusikan dengan abi. Nah,...mau ngomong begitu aja kog dari tadi pakai takut-takut segala sih sayang.. ? ", godaku.<br />Sarah masih menunduk sambil tersenyum.<br />" Sekarang masalahnya Sarah mau nikah sama siapa ?", tanyaku. "Atau Sarah pingin abi dan ummi yang carikan calonnya ? ".<br />" Mmhh... sebenarnya Sarah sudah punya calon ummi.... ", katanya perlahan.<br />" Heh... ?? Sarah sudah punya calon... kog abi dan ummi nggak tahu ? ".<br /><br />Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.<br />" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.<br />" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah, masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".<br />" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.<br />" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".<br />" Hhhmmm... begitu ? ".<br />" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin, teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin, ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".<br />" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".<br />" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....<br />" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah punya isteri ".<br />" Heh....", seruku dengan terkejut.<br /><br />Tanpa memperdulikan keterkejutanku Sarah kembali meneruskan kata-katanya.<br />" Ummi, ikhwan itu sudah nikah hampir 6 tahun, tapi sampai sekarang belum dikasih amanah oleh Allah, isterinya punya fisik yang lemah, sering sakit-sakitan. Sarah berpikir ummi,.... Sarah ingin bisa menolong keluarga itu untuk sama-sama berjihad di jalan Allah. Sarah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah tangga dan insya Allah nanti Sarah bisa melahirkan jundi-jundi yang bisa dididik sama-sama. Ummi ingat ya ummi,... Sarah insyaAllah mau melakukan ini semua hanya karena Allah, Sarah cuma mau mencari ridho Allah saja ummi.... Sarah sudah istikharoh berkali-kali dan Sarah makin hari makin mantap aja ".<br /><br />Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....<br /><br />" Ummi,.... ", panggil Sarah perlahan.<br />" Sarah,...sekarang ummi mau tanya ya nak... ".<br />" Bagaimana awal mulanya kog tiba-tiba Sarah ingin menikah dengan ikhwan itu ? ".<br />" Begini ummi,...Yasmin bilang kalau mbak Asma, nama isteri masnya itu, pernah bilang ke Yasmin bahwa mbak Asma ingin suaminya menikah lagi ".<br />" Hhmmm.... terus.... ".<br />" Soalnya mbak Asma tahu benar kalau suaminya sudah ingin punya jundi sementara mbak Asma sendiri sampai sekarang belum juga dikasih kesempatan oleh Allah untuk hamil. Kasihan mbak Asma ummi,...sudah fisiknya lemah, kesepian lagi. Sehabis Yasmin cerita begitu Sarah jadi kepikiran, Sarah ingin membantu keluarga itu ummi.... Sarah pingin bisa bantu-bantu mbak Asma, nemenin mbak Asma, insyaAllah nanti Sarah juga bisa melahirkan jundi yang bisa dididik sama-sama. Khan Ummi sendiri yang bilang kalau untuk menuju kebangkitan Islam memerlukan generasi yang berkualitas, insya Allah nanti akan lahir generasi-generasi robbani ."<br /><br />Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka. Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa. Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain. Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera makan. Tiba-tiba...<br /><br />" Assalamu'alaikum,...", suara Zakly kudengar dari teras depan.<br />" Wa'alaikumussalam,... loh kog sudah pulang ? ", tanyaku.<br />" Iya mi, dosennya nggak ada... lagi pula siang ini sudah nggak ada kuliah lagi kog ", jawab Zakly seraya mencium tanganku.<br />" Ayo makan sekalian,...ummi baru saja mulai ".<br />" Sebentar mi, cuci tangan dulu... ".<br /><br />Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.<br /><br />" Ummi,.... ummi kenapa sih...? ", tanya Zakly.<br />" Oohh...nggak,... Zakly bilang apa tadi temen Zakly kenapa ? ".<br />" Nah khan... ketahuan deh kalo ummi nggak dengerin Zakly ngomong ".<br />" Nggak,.. kenapa tadi.... ? ".<br />" Sejak tadi pagi Zakly perhatikan ummi hari ini agak lain deh... ".<br />" Ah masa sih,... itu khan perasaan Zakly saja.. ".<br />" Bener kog... tadi pagi di garasi mas Yazid saja tanya sama Zakly, kog ummi pagi ini agak diam ya... nggak secerewet biasanya ".<br />" Eh,...ghibah ih,...ngomongin umminya ", sahutku sambil tersenyum.<br />" Bener kog... ummi nggak sakit khan ?? ".<br />" Nggak ummi nggak apa-apa kog... ".<br />" Kalo nggak apa-apa kog ummi jadi agak lain ayo !", desak Zakly masih dengan ngototnya.<br />Sifat Zakly ini menurun dari abinya, yang nggak akan berhenti bertanya kalo belum mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan hatinya.<br />" Ummi...ummi cuma pingin abi cepet pulang, gitu aja.." sahutku perlahan.<br />" Ha.... ha.... ", meledak tawa Zakly.<br />" Lho kog ketawa sih ? ",tanyaku.<br />" Abis ummi lucu, kaya pengantin baru aja deh.... dikit-dikit kangen pingin ketemu abi ".<br />" Yah wajar dong.... namanya juga suami isteri ".<br />" Tapi ummi lucu deh... kita khan pura-pura nggak tahu aja, kalau sebenarnya di belakang kita ummi tuh kolokan banget sama abi... ", goda Zakly lagi.<br />" Hhhmmm.... kata siapa ? ", tanyaku tak mau kalah.<br />" Yah ummi...ngaku aja deh,...kalau ummi khan masih manja banget sama abi, ummi kita khan udah pada gede-gede, sudah ngerti ", kata Zakly masih sambil ketawa.<br />" Udah ah,... ketawa aja tersedak lho nanti maemnya.. ",sahutku.<br />" Mmmhh...ummi nggak mau ngakuin tuh..., sabar dong ummi insya Allah besok abi khan sudah pulang ", goda Zakly lagi.<br />" Udah,... cepat dihabisin maemnya Zakly... ".<br />" Iya nyonya besar.... ", kata Zakly sambil tersenyum-senyum menggoda.<br />" Ummi,...", panggil Zakly lagi.<br />" Apa lagi sholeh ?? ".<br />" Mmhh... Zakly nanti ingin kalau punya rumah tangga seperti rumah tangga abi dan ummi.... ".<br />" Kenapa memangnya... ? ".<br />" Sepertinya abi sama ummi tuh seneenng terus, nggak pernah Zakly lihat abi sama ummi ribut, meskipun sudah tua-tua tapi masih seperti pengantin baru saja ".<br />" Hhmmm... kalian khan nggak tau saja, pernah juga abi dan ummi berselisih, karena beda pendapat, itu wajar dalam rumah tangga ".<br />" Oya... kog Zakly nggak tahu.. ".<br />" Aduh anakku sholeh.... masa sih kalau abi sama ummi lagi nggak enakan harus lapor sama kalian, nggak khan ?".<br />" Iya.. ya.... ".<br />" Itu rahasia abi dan ummi, kita selesaikan berdua, diskusi, dibahas, saling menghargai pendapat lawan, cari jalan tengahnya ".<br />" Terus mi.... ".<br />" Ya sudah,...berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, dan saling mengalah. InsyaAllah keadaan cepat normal lagi, baikan lagi. Kunci yang penting Zakly,... kalau nanti Zakly sudah berkeluarga, jangan pernah kalian ribut di depan anak-anak, karena nggak baik buat perkembangan jiwa mereka. Selesaikan berdua ketika sudah sama-sama tenang sehabis sholat misalnya ".<br />" Hhmmm... itu makanya abi sama ummi tetap awet sampai sekarang yah ? ".<br />" Yah... alhamdulillah nak, abi dan ummi saling cinta meskipun dulu kita nggak pakai istilah pacaran ".<br />" Iya mi,... Zakly tahu itu....subhanallah....<br />"Iya,... Islam sudah bikin aturan yang benar dan baik tinggal tergantung kita mau ikut atau nggak ", kataku lebih lanjut. Sudah sekarang cepat habisin maemnya... ".<br />" Jazakillah ya ummi buat materinya siang ini.... ".<br />" Hhmm... waiyakallahu.. ".<br /><br />Dan tiba-tiba.... kring... dering suara telfon.<br />" Hallo,... ", angkat Yazid.<br />" 'Alaikumussalam,... oh abi nih... Iya bi,... bener nih nggak usah dijemput ?. Iya-iya....insya Allah.... 'alaikumussalam... ".<br />" Dari abi, Yazid ?? ", tanyaku.<br />" Iya,... seminar abi ternyata selesai hari ini, abi sekarang ada di airport sebentar lagi pulang ".<br />" Lho,... abi nggak minta dijemput ? ", tanyaku.<br />" Kata abi, abi mau naik taksi saja biar cepat, kalau nunggu dijemput kelamaan ".<br />" Insya Allah sebentar lagi abi pulang ". harapku.<br /><br />Selesai sholat isya'....<br /><br />" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ", tanyaku.<br />" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".<br />" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".<br />" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.<br />Dan benar, tak berapa lama kemudian....<br />" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.<br />" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.<br />Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi... kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.<br /><br />" Ummi,..ini nih pacar ummi udah datang...", seru Zakly.<br />" Zakly,...apa-apa an sih ya...", kataku sambil melotot.<br />" Alah.. ummi, tadi siang bilang kangen, pingin abi cepet pulang, sekarang malah berdiri disitu aja... ", goda Zakly lagi.<br />" He.. he.... memang tadi siang ummi kenapa Zakly ", tanya suamiku.<br />" Tadi siang nih bi.... ".<br />" Udah Zakly,... abi baru aja dateng,... cuci tangan dulu deh bi,.. terus kita maem ", potongku langsung.<br />" Iya bi,.. kita tadi udah laper nungguin ", kata Sarah.<br /><br />Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.<br /><br />" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.<br />" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".<br />" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.<br />" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".<br />" Trus.... ", potong Fadhil.<br />" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".<br />" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.<br />" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".<br />Langsung, tawa mereka memecah...<br />" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.<br />" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".<br />" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti biasanya ", sambung Yazid.<br />" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata Fadhil<br /><br />Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak aneh.<br />" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-dalam.<br />" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-anak meskipun mereka udah dewasa.<br />Mendadak tawa mereka memecah lagi....<br />" Lho,... kenapa sih... ?? ".<br />" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya remaja 17 tahunan ", kata Zakly.<br />" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.<br />" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.<br />" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ", kata Zakly.<br />" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku mengalihkan pembicaraan.<br /><br />Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.<br /><br />Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat, sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....<br />" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.<br />" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap mereka.<br />" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.<br />" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk menggodaku saja.<br />" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama ummi ", kata suamiku.<br />Tawa mereka memecah lagi...<br />" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.<br />" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.<br />" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku pada mereka.<br /><br />Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata, ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku. Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah nanti selepas shubuh...<br /><br />Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku, Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....<br /><br />" Mas,... mas masih ngantuk ? mau tidur lagi ? ".<br />" Nggak kog,... mas nggak ngantuk, kenapa de' ? ".<br />" Mmhhh... ada yang mau ade' omongin sama mas... ".<br />" Iya,.. tentang apa de' ? ", tanya suamiku seraya menarikku untuk duduk di hadapannya.<br />" Mmhh.. ini tentang Sarah mas,... ".<br />" Iya,.. ada apa memangnya sama Sarah ? ".<br /><br />Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau, karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-uneg di hatiku pada suamiku.<br /><br />" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku perlahan.<br />" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".<br />" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.<br />" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".<br /><br />Sampai sini air mataku mulai menetes...Astaghfirullah...Ampuni aku ya Allah,... aku terlalu melibatkan perasaan dan emosiku. Sarah hanyalah milik-Mu, dan Engkau yang akan menjaganya... " Ade',..ade' inget khan kalau rasa cinta kita terhadap keluarga, harta dan sebagainya tidak boleh melebihi rasa cinta kita terhadap Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya ? ",tanya suamiku.<br />Aku hanya mengangguk....<br />" Jadi insyaAllah kitapun akan mendapat ridho Allah, dari apa yang dilakukan Sarah nanti...., karena kita dengan ikhlas menyetujui Sarah menikah hanya karena kita juga sama-sama mencintai-Nya ".<br /><br />Kami sama-sama terdiam sesaat. Kutarik nafas panjang...<br />" Mas,...", panggilku lirih.<br />" Ya sayang... gimana ? ", tanya suamiku,<br />" Iya mas...ade' sudah tenang sekarang,...kalau tadi meskipun ade' setuju tapi tetap ada yang ganjal rasanya ".<br />" Kalau sekarang.. ? ", tanya suamiku.<br />" Ade' sekarang sudah ikhlas mas,... hati ade' sudah plong rasanya, ade' sadar ada Allah yang akan menjaga Sarah, Sarah kan cuma milik Allah ya mas ?? ".<br />" Nah,... gitu dong... insya Allah Sarah, Asma dan Farid bisa membentuk keluarga sakinah, yang bisa mencetak generasi rabbani, kita tinggal mendo'akan mereka saja de'...".<br />" Tapi mas,... ", kataku tertahan.<br />" Tapi kenapa lagi ? masih belum sreg juga ?<br />" Bukan begitu,... cuma mas kog kayanya begitu gampang memutuskan masalah ini, kayanya mas sudah tau tentang ini sebelumnya ", kataku penuh curiga.<br />" Mmmhhh... sebenernya sebelum ade' cerita tadi mas udah tau kog de'... ", kata suamiku.<br />" Hah.... ?? ", tanyaku heran.<br />" Mmmhh.. sebelum mas ke Jakarta Farid dateng ke kantor mas, sudah diskusi dengan mas... ".<br />" Lho.. ??? ".<br />" Iya,... Mas juga tahu siapa Farid itu, juga isterinya, tapi waktu itu mas sorenya udah buru-buru mau berangkat mas pikir nanti saja pulang dari Jakarta cerita ama ade', terus pas ade' lagi belanja sama Asih mas interlokal dari Jakarta, yang ada di rumah Sarah, mas tanya sama Sarah. Ternyata Sarah juga sudah tahu dari Yasmin, mungkin Asma sudah minta Yasmin bilang ke Sarah, begitu de' ", penjelasan suamiku.<br />" Lho,.. Sarah kog nggak bilang kemaren sama ade' kalo mas sebenarnya sudah ngomong sama Sarah duluan ?", tanyaku masih kebingungan.<br />" Iya,... mas bilang sama Sarah, supaya Sarah bilang sama ade' saja, tanya pendapat ade' gimana gitu... . Khan nggak enak kalau tahu-tahu mas udah langsung ngasih persetujuan duluan padahal ade' masih belum tahu apa-apa", kata suamiku lagi.<br /><br />Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk berunding terlebih dahulu.<br />" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.<br />" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".<br />" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal sebelumnya sama Farid ? ".<br />" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.<br />Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu. Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki bagaimana keluarga Farid dan Asma.<br />" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.<br />" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.<br />" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.<br />" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".<br />" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih gencar.<br />" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.<br />" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas... ", jelasku.<br />" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung suamiku masih tertawa.<br />" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk tidak ikut tersenyum.<br />" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.<br /><br />Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...<br />" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.<br />" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu kamar.<br />" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang ngetuk lagi, katanya membela diri.<br />" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.<br />" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.<br />" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.<br />" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar ", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.<br />" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.<br />" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium tangan kami satu-persatu.<br />" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium pipiku.<br />" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya. Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....<br />" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ", goda Zakly.<br />" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.<br />" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.<br />" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ", kata suamiku.<br />" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.<br />" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku mulai lagi dengan segala pesan-pesan.<br />" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ? ", kata Zakly.<br />" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.<br />" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.<br />" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.<br />" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.<br />" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".<br />" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.<br />" Wa'alaikumussalam...".<br /><br />Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....<br /><br />Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota<br />'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaama...<br />Amiin Ya Rabbal 'aalamiin....<br /><br /><br />24 DZULHIJJAH 1416 H<br />--by US--<br />( buat AS,... Jazakallahu khoiron katsiro<br />untuk dry cleaning-nya tiap hari :-) )</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-44374809867349044882007-09-12T20:32:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.928-07:00Selamat jalan The 'Champion'<div style="text-align: justify;">Wajah tirus Hani dengan kepala tak berambut sedikit bergerak. Mata cekung, dulu jenaka yang menyimpan banya keceriaan dan keoptimistisan, kini ia memandangku dan mengerjap dengan layu . Seakan-akan ada yang ingin diungkapkannya. Kuhampiri tubuh yang lemah itu, dan kugenggam tangannya.<br /><br />"Ada apa, Han..?" <span class="fullpost"><br /><br />Suara tilawah Al Quran Mama terhenti ketika menyadari ada sesuatu yang diminta Hani.<br /><br />"Kenapa, sayang..? Ada yang sakit?." Tanya mama dengan suara parau.<br /><br />Sudah sekian hari, Mama memang banyak menangis untuk Hani. Di tiap-tiap malamnnya, Mama mengucurkan air mata, memohon kepada Allah, untuk mau mendengar "bargaining" di dalam doa-doa Mama. Agar Allah mau mengulur waktu untuk Hani sampai beberapa waktu saja. Mulut Hani bergerak-gerak, kudekatkan telingaku pada wajahnya, agar dapat menangkap apa yang diungkapkannya.<br /><br />"Asy..ha..du alla..."<br /><br />Tiba-tiba aku menyadari "waktu itu" sudah dekat. Ku menoleh pada Mama, ia seperti mengerti. Lalu Mama bergegas menuju pintu, memanggil Papa, dan Aria, adik iparku. Dua orang laki-laki, yang akan kehilangan orang yang dicintai itu, segera masuk dan menanti apa yang terjadi kemudian. Kupakaikan kerudung putih pada kepala tanpa rambut yang melemah itu. Kulakukan ini karena pesan terakhir Hani, jika "saatnya" tiba ia tidak mau dalam keadaan "telanjang" menghadap Allah. Papa tampak ikhlash, begitu juga Aria. Lalu Aria menyerahkan Umar, keponakanku yang belum genap satu tahun usianya, kepadaku.<br /><br />"Tolong, Mbak..Biar saya yang menjaga dik Hani."<br /><br />Umar tetap tertidur pulas, walaupun posisi gendongan berpindah, dia tidak terbangun sedikit pun. Bocah kecil sebelas bulan ini tak menyadari, bahwa sebentar lagi, ibunya akan segera meninggalkannya. Dokter Ruslan bergegas masuk untuk melakukan tugasnya sebagai dokter.<br /><br />"Biarlah, dokter..Insya Allah Kami sudah ikhlash..". Suara tegar Papa berkata.<br /><br />Dokter Ruslan mengangguk seraya berkata,<br /><br />"Mudah-mudahan anak bapak diberi kemudahan oleh Allah.."<br /><br />Perlahan-lahan, Aria membantu Hani membacakan syahadah di telinga Hani. Kemudian mulut Hani bergerak-gerak dengan mudah. Dan genggaman tangannya tampak mulai melemah. Ada butiran air mata yang bergulir dari matanya yang terpejam.<br /><br />"Sakitkah adikku, sayang?", batinku dengan penglihatan kabur karena terhalang airmata. Aku menatap wajah Hani yang sedang bertarung melepas nyawa.<br /><br />Nafas Hani satu-satu, jaraknya makin lama makin panjang. Papa dan Mama membaca syahadah berkali-kali. Dan akhirnya nafas Hani pun terhenti...<br /><br />"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun..."<br /><br />*****<br /><br />Hanifah, adikku, Hani begitulah dia dipanggil. Umurnya berbeda 4 tahun dariku. Tapi Hani, perawakannya yang tinggi, lagaknya yang tomboy serta rambutnya yang berpotongan pendek, membuat orang-orang sering salah terka. Mereka mengira Hani, cowok, jika melihatnya sepintas dari belakang. Aku teringat, teman-teman cowok sekampus meledekku ketika aku mengajak Hani hadir ke Baksos Mesjid kampus.<br /><br />Mereka, yang relatif tahu aku adalah " Si jilbab galak", meledekku,<br /><br />"Wah kemajuan nih, Adelina...Ternyata berani juga mengajak cowoknya ke kampus.."<br /><br />Mendengar itu aku geli, tapi tidak demikian dengan Hani.<br /><br />"Siapa yang berani ganggu Mbak Adelina?". Tanya Hani berbalik sewot menghadapi teman-teman cowokku yang iseng tadi.<br /><br />Seketika mereka terpana, menyaksikan bahwa "cowok" Adelina adalah cewek manis yang tak kalah galak dari kakaknya.<br /><br />Itulah Hanifah. Siapa pun 5 tahun lalu, tak akan mengira dia akan memakai jilbab. Hani menikah di usia muda, bahkan mempunyai anak.<br /><br />Kami 3 bersaudara, Mas Ardi, aku, dan si bontot Hanifah. Karena pendidikan orang tuaku yang demokratis dan bijaksana, kami bersaudara sangat rukun dan saling sayang satu sama lain. Dan lebih dari itu, kami saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika Mas Ardi harus kuliah di Bandung, aku dan Hani menangis, karena kehilangan "bodyguard" yang selalu mengantar kami kemana-mana. Hani memaksaku, agar tak ikut-ikutan pilih universitas yang harus meninggalkan rumah seperti Mas Ardi.<br /><br />Setiap pulang, Mas Ardi selalu membawa banyak perubahan. Tahun pertama ketika aku SMA, Mas Ardi masih suka merokok di sela-sela menggambar tugas arsiteknya. Namun setelah itu, Mas Ardi lambat laun menghilangkan kebiasaan merokonya. Setiap pulang semesteran Mas Ardi banyak membawa majalah-majalah dan buku-buku Islam. Mas Ardi mulai mengajak kami, adik-adiknya, shalat berjamaah dan membaca Al Quran bersama di rumah. Alhamdulillah, pada saat itu aku berhasil masuk FE UI, sehingga tak perlu meninggalkan rumah seperti Mas Ardi. Setelah menjadi mahasiswi juga mungkin imbas yang kuat dari Mas Ardi, aku mulai mengenal Islam. Aku mulai mencari-cari untuk apa sebenarnya aku hidup. Dan, Alhamdulillah, aku menemukannya dalam aktivitas keislaman yang aku ikuti di kampus.<br /><br />Namun yang aku heran, imbas tersebut tak mengenai Hani sama sekali. Hani tetap saja tomboy, dan malas jika aku ajak pergi ke pengajian. Walaupun demikian, Hani adalah adik kebanggaanku. Di antara lagaknya yang tomboy dan sikapnya yang manja di rumah Hani adalah juara kelas di sekolahnya, dan kapten di grup basketnya. Sifatnya yang tak ingin kalah dari orang lain, dan serius ketika menekuni sesuatu, membuat dia bisa menjadi sukses dalam bidang yang disenanginya, seperti pelajaran atau basket.<br /><br />Aku masih ingat, ketika untuk pertama kalinya dia harus mendapat rangking ketiga di kelasnya. Hani menangis di kamar seharian. Tapi, yang ini juga sifat Hani yang membanggakan, Hani cepat bangkit dari keterpurukan. Dengan menyetel kaset grup Queen idolanya, yang berisikan lagu we are the champion, Hani membangunkan semangatnya sendiri, dan dia bisa ceria lagi keesokan harinya.<br /><br />Hingga pada suatu hari, Hani menemukan hidayah itu... Di balik kegagahan dan ketomboyannya, aku tahu ada sebongkah hati yang tulus dan lembut. Dan itu terbukti ketika aku mengikutsertakan Hani ke kegiatan baksos di kampus untuk ketiga kalinya. Kala itu dia kelas 3 SMA. Hani masih tetap dengan rambut cepak, kaus t-shirt putih, dan celana jeans hitam kebangsaannya. Di baksos itu kami memang mengumpulkan baju-baju bekas untuk kaum tak punya. Hani memang punya banyak baju yang sudah tak dipakainya. Tapi sayang, baju-bajunya selalu dikelompokkan untuk bocah laki-laki.<br /><br />Beberapa jilbab dan baju muslimah ku sisihkan khusus.<br /><br />"Untuk siapa, Mbak..?" . Tanya Hani<br /><br />"Ini untuk Mbok Siyem, yang jualan rokok di depan mesjid. Katanya anaknya yang SMP juga pakai jilbab.". Terangku<br /><br />"Oooo.."Hani membundarkan mulutnya.<br /><br />Baksos belum mulai ketika aku dan Hani tiba di depan mesjid kampus. Karena masih ada waktu aku bergegas menemui Mbok Siyem yang selalu mangkal di dekat masjid. Tapi aku terkejut ketika aku tak menemui Mbok Siyem seperti biasa. Hanya Ijah, anaknya, yang menunggui warung.<br /><br />"Lo, Mbok Siyem kemana..?"Tanyaku pada Ijah.<br /><br />Ijah, bocah kecil kelas dua SMP itu, menjawab,"Mbok sedang sakit. Dari kemarin muntah-muntah." Ijah tak tampak sedih, malah tampak biasa saja.<br /><br />"Ini Mbak bawakan baju buat Ijah, kemarin-kemarin si Mbok wanti-wanti meminta untuk membawakannya untukmu." Wajah Ijah yang tadi tampak biasa-biasa saja, kini tampak haru. Ijah menangis.<br /><br />"Mbok bilang, kalau Ijah sabar dan ikhlash dengan dua baju, pasti Allah akan memberikan lebih. Dan ternyata benar..." Katanya terisak, mengusap ingus yang keluar dengan jilbab coklatnya, yang ku ingat adalah pemberianku setahun lalu.<br /><br />Setelah baksos selesai, kami menjenguk Mbok Siyem, yang bukan kepalang terkejut dengan kedatangan kami. Waktu itu Mbok Siyem kelihatan sehat, tak seperti orang sakit. Walau beberapa hari setelah itu Mbok Siyem meninggal dunia..<br /><br />Peristiwa itu rupanya terpatri dalam di kalbu Hani. Sejak hari itu, Hani segera memakai kerudung. Tak ada yang menyuruh,tak ada yang meminta. Sehingga Mama melongo, melihat bontotnya menjadi feminin seketika. Lalu siapa yang sangka Hani menjadi akhwat seperti sekarang? Dulu dia memang senang basket, sampai poster Michael Jordan memenuhi tembok kamarnya. Dulu dia memang senang Queen, sampai tak ada lagu-lagunya yang tak dihapalnya. Tapi beberapa bulan setelah mengaji, Hani melepas semua poster-poster tersebut, dan mendepak kaset-kaset lagu hingar bingar itu. Walau aku tahu, Hani menangis semalaman untuk berpisah dengan segala hobi dan kesenangannya. Tapi itulah Hani, esok selalu disambutnya dengan penuh semangat menantang dan keoptimisan.<br /><br />Dan perkembangannya yang luar biasa setelah aktif mengaji, sering membuat aku dan Mas Ardi terharu. Sampai puncaknya pernikahan Hani 4 tahun lalu...Papa marah, Mama kesal, karena Hani dianggap mendahului aku dan Mas Ardi. Apalagi Hani masih 19 tahun dan masih tingkat dua...! Namun Alhamdulillah berkat diplomasiku dan Mas Ardi, bahwa kami rela didahului, akhirnya Hani melangsungkan pernikahannya.<br /><br />Hani, kehidupannya menggapai hidayah seperti berlari. Bahkan ketika Allah menentukan dia harus menderita leukimia di usia 21 tahun. Kegalauan keluarga kami untuk memberitahukan Hani atau tidak, bahwa sakit-sakit tulang yang sering Hani keluhkan bukanlah sakit biasa. Kesedihan kami yang luar biasa, karena mengetahui Hani tak akan lama bersama kami lagi, mengingat dokter sendiri berkata belum ada penyembuhan yang jitu untuk penyakit kanker yang satu ini.<br /><br />Sehingga akhirnya keluarga kami bertekad untuk mengungkapkan secara jujur penyakit Hani. Ini pun karena ada sebab yang luar biasa. Hani ternyata hamil 4 bulan waktu itu. Aria datang memberitakan kabar gembira yang timingnya buruk itu kepada keluarga kami. Kami tak tahu, apakah harus menyambut kabar ini dengan senang atau bersedih. Karena melahirkan anak adalah hal yang tak mungkin bagi Hani, karena akan memperlemah kondisi Hani. Namun, saat itu tak ada yang bisa menyetop Hani. Bahkan ketika kami memberitahukan bahwa hamil dan melahirkan kemungkinan besar akan mempertaruhkan nyawanya. Hani bersikeras untuk hamil dan melahirkan.<br /><br />"Mama juga waktu hamil kami bertiga tak pernah memikirkan keselamatan nyawa Mama sendiri bukan..? Ayolah, Ma.. Jangan larang Hani, tapi bantu Hani dengan doa, agar Hani diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah. Dan jika harus meninggal pun, Hani meninggal dalam keadaan syuhada bukan..? Tapi Ma, Pa, Hani ingin hidup, paling tidak sampai anak ini lahir.."<br /><br />Dan Allah memang Maha Besar dan Maha Pengasih. Semangat dan keoptimisan Hani memberi bekas yang dalam kepada orang di sekelilingnya. Sejak kehamilan Hani, Mama dan Papa menjadi lebih banyak beribadah. Mama memakai jilbab, banyak membaca Al Quran. Begitu pula Papa, setiap Senin dan Kamis tak ada yang terlewat dengan shaum, juga tahajud. Bahkan aku pun menikah ketika Hani sedang rawat intensif di rumah sakit. Hani selalu berkata, ingin melihatku<br />menjadi mempelai sebelum dia menutup mata.<br /><br />Dan Allah menjawab semua doa-doa dan harapan kami. Hani dapat melahirkan Umar dengan selamat, layaknya orang normal. Walau untuk itu Hani menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah sakit, dan kami selalu dibuat cemas akan keselamatan Hani sendiri.<br /><br />Ya, dua tahun Hani berperang melawan leukimia. Tapi tak pernah terungkap dalam ucapannya, bahwa dia menyesali nasibnya karena harus menderita penyakit ini. Bahkan dia kerap berujar,<br /><br />"Allah sayang kepada Hani, ya, Mbak...Sehingga Allah memberi batas waktu<br />yang jelas untuk Hani beraktifitas di dunia ini. Agar tak sia-sia..."<br /><br />Ah, Hani sayang....<br /><br />**************<br /><br />Pekuburan sudah sepi, gundukan tanah merah di depanku mulai dibasahi oleh gerimis kecil yang turun satu-persatu. Kulihat isyarat lambaian tangan Mas Ardi yang berada di rombongan Mama, Papa, serta keluarga Aria mengajakku untuk pulang. Bang Irsyad, suamiku memberikan tangannya.<br /><br />"Insya Allah Hani syahidah, De...Karena Hani begitu pasrah dan tawakal kepada Allah dengan penyakitnya."Hiburnya. Aku mengangguk.<br /><br />Di tanganku ada setumpuk amplop yang ditujukan pada Umar. Surat dari Ibunya. Aku teringat percakapan kami 5 bulanan lalu.<br /><br />"Ini sebagai hadiah buat Umar setiap umurnya bertambah satu tahun, Mbak... Aku persiapkan 15 surat, untuk Umar. Agar Umar selalu mendapat nasehat dariku walaupun aku sudah tak bisa menyaksikan Umar tumbuh sampai dia baligh dan mengerti. Aku titipkan pada Mbak Ade, ya..?". Hani menyerahkan tumpukan amplop itu padaku.<br />"Kenapa tak kau titipkan pada Aria, bukankah dia yang lebih berhak...?" Hani<br />tersenyum.<br /><br />"Mas Aria harus mencari pengganti Hani untuk mendidik Umar, bukan..? Tentu tidak bijak kalau Mas Aria mengingat Hani terus, dan melupakan hal yang satu itu". Katanya diluar dugaan. Lalu,<br /><br />"Mbak..., aku ingin Umar mempunyai sifat gabungan dari kita bertiga. Perhatian seperti Mas Ardi, tegas dan lembut seperti Mbak Ade, enerjik dan jenaka seperti ibunya..."<br /><br />"Laa..Aria bagaimana, dong..?"tanyaku menahan geli...<br /><br />"Iya ditambah ganteng dan shaleh seperti bapaknya.."tawanya jenaka.<br /><br />Mataku kembali basah. Di detik-detik terakhir kehidupannya, Hani tak pernah menampakkan keputus asaan. Dia tetap optimis, bahwa Allah memberikannya penyakit sebagai ujian, maka dia harus lulus, dan bertawakal untuk jadi pemenangnya. Ya...Juara itu telah pergi, Syuhadah itu telah pergi, pergi tanpa beban dan tanpa keputus asaan. Pergi meninggalkan sebongkah kesan dan bekas cinta yang mendalam.<br /><br />Selamat jalan the champion...</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-35072713549045510462007-09-12T20:31:00.004-07:002007-09-12T20:56:05.928-07:00Sarenade Malam<div style="text-align: justify;">“Ambilkan bulan, Bu....”<br /><br />Ia melantunkan lagu tersebut berkali-kali di telingaku. Kadang sampai aku merasa bosan mendengarnya, tapi ia tidak pernah lelah menghiburku. Kakakku tersayang satu-satunya, ia tidak pernah bosan menina-bobokanku dengan lagu tersebut.<br /><br />“Kak, kita tidur di sini sekarang?” tanyaku. <span class="fullpost">Ia tersenyum dan mengangguk. Rambut pendeknya terayun-ayun dan matanya bersinar.<br /><br />“Kita tidur di sini supaya bisa melihat bulan. Adek senang kan melihat bulan...?” tanyanya kemudian.<br /><br />“He-eh.” Jawabku pendek. Aku sangat mengantuk. Karenanya, aku segera merebahkan diriku di atas terpal plastik yang ia dapat dari sisa-sisa bangunan yang baru dipugar siang tadi. Aku menatap langit yang terbentang luas. Pendar-pendar perak cahaya bintang kadang tampak mengabur di mataku yang tersapu angin. Suara jangkrik dari balik rumput liar begitu dekat terdengar di telingku. Sesaat kemudian, angin kali berhembus. Aku menggigil kedinginan.<br /><br />“Dek, Adek kedinginan, ya...?” tanyanya sambil mengusap keningku. Aku mengangguk pelan. Aku ingin mengatakan padanya tidak apa-apa, tapi bibirku terasa kaku.<br /><br />“Pakai sarung saja, ya Dek....” Ia mengambil tas kecil yang selalu tergantung di bahunya, kemudian mengeluarkan sarung kotak-kotak berwarna merah pudar. Tidak lama kemudian, seluruh tubuh kecilku sudah terbungkus oleh sarung tersebut, sarung satu-satunya peninggalan emak sebelum meninggal.<br /><br />“Kak....” Aku mendesis. “Emak sekarang di mana ya?” Tanyaku.<br /><br />Ia terdiam mendengar pertanyaanku, mungkin bingung menjawabnya.<br /><br />“Emak sekarang ada di sana.” Jawabnya kemudian sambil menengadah menatap langit malam. “Adek lihat bintang-bintang itu...? Nah, bersama merekalah sekarang emak berada.” Lanjutnya.<br /><br />Aku ganti terdiam. Bayangan emak satu persatu berkelebat di benakku. Tiga bulan. Ya, tepat tiga bulan yang lalu emak meninggalkan kami berdua. Biasanya emak tidak pernah pergi lama-lama, paling hanya untuk berjualan di pasar. Tapi kali itu tidak. Kakakku bilang, walaupun emak tidur, tapi ia tidak akan pernah bangun lagi.<br /><br />Lalu semuanya berubah tiba-tiba. Para tetangga tiba-tiba saja datang dengan wajah sangar sambil berkata hal-hal yang tidak ku mengerti. Satu-satu mereka mengambil segala barang yang ada di dalam gubuk kami. Radio, kompor, panci, ember, bahkan hingga baju-baju tua ibu. Saat itu kakakku hanya menangis tersedu-sedu di sudut rumah sambil memelukku yang baru pulang bermain layang-layang.<br /><br />“Dek, kita harus pergi dari sini.” Begitu katanya.<br /><br />“Huaaaahhhmmm....” Aku menguap lebar-lebar. Rasanya mataku berat sekali.<br /><br />“Kak, tidur yuk, sudah malam.” Ajakku.<br /><br />Ia hanya tersenyum dan beringsut-ingsut mencoba merebahkan tubuhnya, tapi tiba-tiba...<br /><br />“Aduuuuh.” Ia mengaduh kecil saat punggungnya menyentuh tanah.<br /><br />“Kak, masih sakit punggungnya?” Tanyaku kaget. Terduduk aku memperhatikannya.<br /><br />“Enggak...” Ia menggeleng, “Enggak apa-apa kok. Sudah kita tidur saja, yuk.” Jawabnya menghibur.<br /><br />Dari sudut mataku, aku lihat matanya terpejam sambil meringis. Pasti sakit sekali pukulan orang itu siang tadi, pikirku. Aku mengeluh dalam hati. Ingatanku mengembara lagi.<br /><br />Siang tadi, ketika mencari barang-barang bekas, tanpa sengaja kami melewati rumah makan besar. Dari balik kaca, terlihat orang-orang yang sedang makan. Satu demi satu potongan ayam goreng masuk ke dalam mulut mereka, dan mereka tampak sangat menikmatinya. Namun, tidak tahu mengapa penjaga rumah makan itu tiba-tiba keluar dan marah-marah pada kami. Ia bahkan mendorongku keras-keras sampai aku terjerembab. Kakaku sangat marah melihat aku terjatuh. Ia menyerang orang itu dan menggigit lengannya keras-keras.<br /><br />“Aaaaaaah...anak gila!!” Teriaknya.<br /><br />Saat itu aku melihat tangan orang tersebut melayang ke punggung kakak yang segera tersungkur. Sesaat kami jadi tontonan orang yang lewat, hingga seorang laki-laki yang berpakaian rapi keluar dari rumah makan dan mengusir kami.<br /><br />“Orang itu jahat, ya Kak.” Kataku sedih. “Kalau aku sudah besar, ia akan aku pukul, supaya punggungnya juga merasa sakit!” Ujarku.<br /><br />“Adek...adek.” Ia menggumam. Matanya menatapku ramah. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa dibalik matanya tersembunyi bintang-bintang yang selalu bersinar terang.<br /><br />“Kalau Adek sudah besar, Adek harus jadi seperti matahari. Tidak pernah bosan memberi kebaikan pada siapa pun, bahkan kepada orang-orang yang jahat. Yang cahayanya membuat bulan menyinari malam. Adek pun harus dapat menerangi kegelapan. Adek harus jadi anak yang baik, sabar, dan kuat.” Katanya pelan sambil tersenyum.<br /><br />Aku tidak pernah mengira bahwa itu adalah saat terakhir ia berbicara panjang lebar kepadaku karena beberapa jam kemudian dalam lelapku, antara sadar dan tidak, aku mendengar tangis pelannya menahan sakit. Tangis yang perlahan-lahan lalu menghilang berganti dengan diam yang tenang. Baru ketika azan subuh terdengar aku terbangun dan mendapatinya tertidur dengan wajah yang pucat. Betapa takutnya aku ketika kulihat di sudut bibirnya terdapat jejak berwarna merah. Serentak aku berdiri dan mengguncang-guncang tubuhnya, tapi ia tidak bergerak sedikit pun. Sama seperti emak waktu itu.<br /><br />“Kak, Kakak...!” Aku menatap wajahnya , mungkin mata bintangnya akan bersinar lagi. Tapi Tidak. Mata itu tetap terkatup erat. Aku menggigil.<br /><br />Aku mundur ketika terdengar suara-suara ribut di depanku. Titik fajar sudah nampak. Sebentar lagi kali ini akan ramai dengan orang. Satu-dua bahkan telah datang dan menatap ke arahku yang beridiri bingung.<br /><br />“Hei, siapa itu?”<br /><br />Aku terkesiap. Langkahku menyurut.<br /><br />“Hei, tunggu...!”<br /><br />Aku berbalik dan berlari. Oh, entah kenapa. Aku merasa sangat takut. Mereka mungkin akan menangkap dan memukulku seperti yang mereka lakukan pada kakaku. Aku takut....!<br /><br />“Heeeii....!” Terdengar langkah-langkah berat di belakangku.<br /><br />Aku berlari tanpa arah menyusuri lorong-lorong kampung. Meninggalkan orang-orang yang semakin ramai berdatangan ke kali. Cepat, dan semakin cepat aku berusaha berlari agar mereka tidak sampai menangkapku.<br /><br />Langit mulai bersemburat jingga. Satu buah bintang besar bersinar. Oh, Ibu aku harus ke mana? Tanpa sadar aku melintasi jalan raya. Suasana subuh. Dan dari balik tikungan aku melihat sinar. Sinar terang. Seperti mata kakakku.<br /><br />“Kakak....!” Aku tertegun sesaat. Lalu tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku melayang dan terhempas keras.<br /><br />Sayup-sayup kudengar seseorang berkata, “Gila lu, nabrak orang!” Lalu kosong. Tidak terdengar apapun. Badanku terasa sangat sakit dan sulit digerakkan. Aku hanya terbaring diam. Sesaat kemudian sayup-sayup kudengar nyanyian jangkrik dari balik rumput liar yang kian pelan. Samar di langit kulihat dua buah bintang, salah satunya bersinar terang. Aku yakin mereka pastilah emak dan kakaku.<br /><br />Aku memejamkan mataku. Aku menangis kesepian.<br /><br />Buat adik-adikku<br />“generasi Indonesia yang tercabik-cabik di pinggir jalan”<br /><br />===============<br /><br />Vani Diana Puspasari</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-54489027093053571912007-09-12T20:31:00.003-07:002007-09-12T20:56:05.928-07:00Syukur<div style="text-align: justify;">"Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuuh...", terdengar ucapan salam suamiku dari beranda depan.<br />"Wa alaikum salam warohmatullahi wabarokatuuh", ku jawab salamnya dengan penuh lega.<br />Segera kusambut suamiku dengan senyum manis sembari membantu membawakan tas birunya yang lumayan berat. Sedari dua jam yang lalu, sudah kutunggu-tunggu kepulangannya. Padahal ini sudah seperti kebiasaan suamiku yang selalu pulang terlambat.<br />"Sudah makan Mas?", sergahku sambil tergopoh-gopoh membawakan tas birunya.<br />"Belum..", jawabnya singkat, <span class="fullpost">terlihat kesan lelah di wajahnya yang putih bersinar. Rasanya tidak bosan-bosannya kupandang wajah suamiku yang telah menikahiku lima tahun yang lalu.<br />"Lah kok bisa belum makan?, tidak beli makanan di jalan?", tanyaku penuh khawatir.<br />"Lebih enak masakan istri tersayang dong", begitu jawabnya seraya mencubit hidungku yang tidak terlalu mancung.<br />"Aduhh Masku satu ini, masak ngga makan seharian?, kutimpali sambil menahan nafas karena pencetan di hidungku.<br />"Makan roti sedikit beli di warung, tapi belum makan berat, jadinya sekarang lapar sekali".<br />"Ganti baju dulu dan kita langsung makan yuk Mas", pintaku.<br />Makanan di meja makan sudah siap sedari tadi untuk disantap. Tidak ada banyak macam makanan dan tidak mahal pula, hanya bakwan jagung dan sayur botok kesukaan suamiku. Sengaja kusiapkan makanan kesukaanya, rasanya sudah lama tidak memasak makanan seperti itu.<br />"Sejak jam berapa anak-anak tidur?", tanyanya sambil membetulkan sarungnya didepan kamar tidur.<br />"Fathimah jam sembilan, sedang yusuf dari jam delapan". Mas Arman memang tidak pernah lupa menanyakan jadwal tidur buah hati kami.<br />"Mmm", gumamnya sambil menuju ke kamar anak-anak untuk melihat buah hati kami yang tertidur lelap. Yusuf puteraku yan kedua baru berumur 20 bulan, mirip sekali wajahnya dengan suamiku. Sedang Fathimah puteri pertamaku sudah berumur 4.5 tahun, hanya hidungnya saja yang mirip denganku, sama tidak mancungnya, dan selebihnya mirip suamiku semuanya. "Ngga salah dong ia selalu menanyakan prototipenya.. he.he..", tawaku didalam hati.<br /><br />"Kemana saja tadi Mas?", pertanyaan yang tak pernah bosan dan sering kutanyakan kepada suamiku setiap hari. "Biasalah", begitu jawabannya yang tak kalah seringnya. Memang suamiku tergolong orang yang tertutup. Sebenarnya aku tahu jadwal kerja di universitasnya yang hanya sampai jam lima sore. Suamiku adalah dosen teknik kimia di universitas swasta dan sudah menginjak tiga tahun, semenjak berhasil memperoleh gelar masternya di negeri jepang. Tapi bisa dikatakan aku hanya sedikit mengetahui kegiatan lain mas Arman selain menjadi dosen di universitas swasta.<br /><br />"Dik, ayo kita tidur", ajak mas Arman. "Ehh.. Iya mas, jawabku gelagapan. Segera kubereskan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam dua belas malam, padahal rasanya kami baru saja bersantap malam dan sedikit berbincang-bincang. Ternyata waktu tidak mau diajak kompromi untuk sedikit memperlambat lajunya. Memang mas Arman sudah telat pulangnya, oleh karena itu waktunya semakin terasa sempit untuk berduaan ngobrol bersama.<br /><br />"Oh iya Dik, besok Insya Allah Mas akan keluar kota sampai hari Minggu", kata mas Arman sambil berusaha menarik selimutnya.<br />"Yaaa.... tapi besok Sabtu kan kita mau jalan-jalan....", ku berusaha mengingatkan mas Arman.<br />"Maaf Dik.. urusan ini lebih penting dan mendadak pemberitahuannya, Mas ngga bisa menolak". "Insya Allah diganti minggu depan yah", suamiku berusaha menghiburku. Tapi aku tahu, minggu depan waktu mas Arman belum tentu kosong .<br />"Urusan apa Mas?", tanyaku.<br />"Biasalah..", jawaban mas Arman seperti biasa.<br />Dan aku pun tak bisa menanyakan lebih jauh, bila sudah keluar kata "Biasa"nya mas Arman. Akhirnya pikiranku pun menerawang jauh dan bertanya-tanya. Kapan Mas Arman punya waktu luang untuk anak dan istrinya. Aku berusaha berkelit bahwa anak-anak membutuhkan waktu dari mas Arman. Tetapi sebenarnya diriku juga membutuhkan waktu darinya. Sudah lima tahun pernikahan kami. Tetapi rasanya aku tidak merasakan cukup banyak waktu bersamanya. "Ya Allah sabarkan lah hambaMu ini yang penuh dengan hawa nafsu ini, dan bersihkanlah hati ini dari kecintaan dunia... Waktu kebersamaan kami, ku ikhlaskan kepadaMu, dengan hanya mengharapkan RidhoMu... Amin Ya Rabbal Alamin", kututup mataku sambil berdoa.<br /><br />*****<br /><br />"Bu.., Ayah mana?..", tanya Fathimah putri sulungku sembari masuk ke kamar tidurku..<br />"Ooo.. Ayah ada urusan penting hari ini sehingga harus pergi sampai hari minggu. Tadi pagi sebelum Fathimah bangun, Ayah sudah harus pergi. Ini ada titipan kecupan dari Ayah!, cuuppp!!??"<br />"Yaaa.... kok Fathimah tidak dibangunkan Bu???, kan Fathimah pingin ketemu Ayah.. Hari ini berarti kita tidak jadi pergi dongg Bu?", Fathimah terus merengek.<br />"Iya.. maaf yah Fathimah... Anak sholeh harus sabar.. Insya Allah nanti akan diganti di lain waktu ya....", jawabku untuk menenangkannya.<br />"Ayo Fathimah mandi dulu yah..., biar badan Fathimah jadi bersih dan wangi. Kebersihan adalah sebagian dari apa Fathimah?", tanyaku untuk mengingatkannya.<br />"Iman.....", jawab Fathimah hampir berteriak.<br />"Alhamdulillah.. benar sekali jawabanmu..... Fathimah memang anak pintar!!!", ku puji jawabannya. Lalu ku siapkan keperluan mandinya dan mengantarnya ke kamar mandi. Dan dalam waktu singkat, anakku sudah keluar dari kamar mandi.<br />"Sudah selesai mandinya Fathimah?" Ayukkk sini pakai bajunya, malu kan terlihat auratnya", segera kuhantar ke kamar tidurnya dan membantu mengeringkan badannya.<br />"Alhamdulillah cantiknya anak Ayah dan Ibu... wangi lagi", kucium keningnya dan Fathimah pun tak sabar keluar main di halaman rumah.<br /><br />Tuuut... Tuuut... Tuuut... terdengar bunyi telepon di ruang tengah.<br />"Assalamu alaikum, di sini rumah keluarga Arman Suhandi".<br />"Wa alaikum salam, apakah Bapak Arman berada dirumah?", terdengar suara wanita dari kejauhan.<br />"Bapak sedang tidak ada di rumah, ini dari siapa yah?", tanya ku.<br />"Ini dari anak didiknya di kampus, ini dengan Ibu Arman?", tanyanya.<br />"Iya benar, ada pesan ?"<br />"Oh tidak ada Bu, biar nanti saya hubungi kembali, terima kasih Bu, wa salamu alaikum", teleponnya pun di tutup tanpa sempat ku menjawab salamnya.<br />Apa keperluan siswinya mas Arman?.. Hari libur begini ada urusan apa?.. Mengapa tergesa-gesa pula?..Apakah ada hubungannya dengan urusan penting mas Arman hari ini?... Hhmm..... aku menarik nafas sambil berusaha mengusir pikiran ku yang tidak-tidak. Aku baru teringat bahwa aku lupa menanyakan namanya. Seandainya ku tahu namanya, mungkin nanti aku bisa tanyakan ke mas Arman untuk lebih jelasnya. Yah... nanti akan aku tanyakan kepada mas Arman, jarang-jarang ada wanita yang menelepon ke rumah menanyakan suamiku, kecuali Ibu mertua ku atau kakak ipar perempuanku. Ahh... Mirna kamu jangan pikir yang bukan-bukan., kuberusaha mengalihkan pikiranku dengan bersiap-siap untuk memasak.<br /><br />*****<br /><br />"Duhhh panasnya hari ini", gumamku sambil mengusap keringatku. Padahal kipas angin sudah kunyalakan sedari tadi. Ternyata kurang cukup mengurangi keterikan matahari siang hari ini. Kusiapkan mesin jahit yang tersimpan di lemari. Hari ini aku akan menjahit baju Yusuf, baru saja selesai kubuat pola bajunya. Menjahit sangat membantuku mengisi waktu luang bila semua pekerjaan telah beres dan anak-anak sudah tertidur. Biasanya sambil menjahit kusambi dengan merenungi harapan ku terhadap pernikahanku yang telah berjalan lima tahun. Bisa dikatakan sudah tidak seharum lima tahu yang lalu. Dan waktu-waktu mas Arman tidak selonggar seperti di tahun-tahun pertama pernikahan kami. Apa yang paling kutakutkan adalah bila pernikahanku menjadi hambar. Dalam menghadapi rutinitas yang hampir-hampir saja mematikan komunikasi diantara kami, tentu dapat menimbulkan kebosanan. Dan ini yang paling menakutkan ku. Aku terus berusaha memperbaiki pelayanan terhadap suamiku. Ku cari variasi-variasi yang menyegarkan. Entah itu menu masakan ku, tata letak rumahku, penampilanku, penampilan anak-anak. Tapi satu hal yang paling sulit kami lakukan adalah jalan bersama keluarga. Waktu luang mas Arman tidak mengijinkan. Kalaupun ada sedikit waktu luang, digunakan mas Arman untuk istirahat di rumah. Rutinitas yang terus monoton, suatu saat dapat menimbulkan kebosananku, rasanya ingin sekali kami dapat berkumpul bersama dalam suasana yang lain dan menyegarkan. Akibatnya terkadang terselip pikiran yang bukan-bukan. Telepon kemaren hari mengingatkan ku, ku berusaha menepis supaya jangan sampai meracuniku kembali. Mana mungkin mas Arman berbuat yang tidak-tidak di belakang ku. Tapi memang tidak dapat kupungkiri, ada sedikit keresahanku terhadap kejadian kemaren hari. Lumrah bila aku merasa gelisah. Fithrah ku sebagai wanita, tentu tidak begitu saja mudah melupakan suara wanita yang menanyakan keberadaan suamiku.Adzan di masjid berkumandang menyadarkan ku. Astaghfirullah... pikiran ku melantur kemana-mana, tidak terasa sudah masuk waktu sholat ashar dan sebentar lagi anak-anak segera bangun dari tidur siangnya, berarti aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku.<br /><br />*****<br /><br />"Dik, ayoo siapkan anak-anak, kita pergi ke puncak!", ucap suamiku setelah menyelesaikan bacaan Qur'annya<br />"Benar Mas?", tanyaku tidak percaya.<br />"Iya benar, Dik, mumpung masih jam enam, biar ngga kena macet, kita berangkat pagi-pagi!".<br />"Memang Mas tidak ada acara hari ini?", tanyaku heran.<br />"Ngga ada, Alhamdulillah.. agak longgar waktu Mas untuk pekan ini".<br />Rasanya aku bersyukur atas nikmat yang sudah kudambakan akhir-akhir ini. Kami dapat rihlah bersama keluarga untuk menyegarkan rutinitas yang mulai membosankan. Dan tanpa bertanya lagi, segera aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal untuk perjalanan nanti. Alhamdulillah..... terima kasih ya Allah....<br /><br />*****<br /><br />"Wahhh enak sekali nasi timbel ini ya Bu", ucap suamiku di sela-sela kesibukannya melahap hidangan di restoran sekitar daerah cipanas. Memang dingin-dingin begini menambah kenikmatan nasi timbel yang kami makan hangat-hangat dengan sambal terasi, lalapan, ikan gurame goreng, ikan asin, sayur asam dan empal daging. Alhamdulillah nikmat sekali rasanya. Fathimah pun tak kalah lahapnya dan Yusuf dengan sigapnya membuka mulut setiap suapan yang aku berikan. Mungkin mereka kelaparan setelah seharian berlari-lari di taman cibodas bermain bola bersama mas Arman. Kami pun larut dalam acara makan bersama dengan tawa dan canda. Alhamdulillah ya Allah....<br /><br />"Mas.... kok belok ke sini?", tanyaku keheranan.<br />"Mas ada keperluan, sebentar aja kok", suamiku membelokkan mobil kami ke jalan sempit. Di kanan kiri masih ditumbuhi rerumputan dan pohon-pohon pisang liar. Sekitar lima belas menit kemudian, terlihat sebuah perumahan sederhana dengan penduduk yang sederhana pula. Dan mas Arman menurunkan kaca mobilnya.<br />"Assalamu alaikum", ucapnya terhadap sekumpulan anak muda yang sedang berkumpul di depan sebuah bangunan yang terlihat belum selesai pembangunannya.<br />"Wa alaikum salam Pak Arman", jawab mereka serempak.<br />"Wahhh ini keluarga Bapak?...", tanya salah seorang pemuda.<br />"Iya.. saya sengaja membawanya ke sini, ini istri saya dan dua anak saya".<br />"Assalamu alaikum", teriak Fathimah puteri kami.<br />"Wa alaikum salam, duhh pintar sekali puteri Bapak?, seperti ayahnya".<br />"Bagaimana dengan persiapan untuk acara syukuran dan peresmian besok?, sudah beres?.."<br />"Alhamdulillah.... sudah selesai Pak Arman".<br />"Semoga besok dapat segera diresmikan, supaya kalian dapat belajar dengan tenang".<br />"Iya Pak.... semoga acaranya berjalan dengan lancar..".<br />Aku menjadi bingung melihat hal ini. "Mas, tolong jelaskan, Ibu benar-benar bingung!??"<br />Mas Arman tersenyum, "Ini loh Bu, proyek Ayah selama tiga tahun ini".<br />"Pimpinan di universitas Ayah, mengamanahi untuk mendirikan sekolah di sekitar sini. Ayah yang bertanggung jawab atas pendirian sekolah untuk anak yang kurang mampu dan ternyata hampir semua anak yang putus sekolah tinggal di sekitar sini. Sayang jika mereka harus putus sekolah, karena dapat dikatakan pola pikir mereka masih bersih, maka alangkah baiknya jika ditambah dengan pola pikir yang islami. Nahhh, sekolah ini selain mengajarkan ilmu pengetahuan umum, juga menambahkan wawasan berpikir yang islami"<br />"Assalamu alaikum Pak dan Ibu Arman", tiba-tiba pembicaraan kami terputus oleh suara wanita yang rasanya kukenal.<br />"Wa alaikum salam", jawab kami berdua.<br />"Bu, ini Ummu Hafidz, dia mantan siswi di universitas Ayah dan sekarang bersama keluarganya pindah kesini untuk membantu operasional sekolah ini".<br />"Panggil saja Rima Bu, maaf karena saya pernah menelepon ke rumah Ibu dengan tergesa-gesa, kebetulan ada keperluan mendadak dengan Bapak, tapi Alhamdulillah ngga lama setelah saya telepon , Bapak telah sampai ke sini", ujarnya dengan rasa sungkan.<br />"OO itu dik Rima, ngga apa-apa kok dik, hanya saja saya sedikit khawatir, takut terjadi apa-apa", jawabku lega.<br />"Iya sudah, besok kita kemari lagi untuk menghadiri acara syukuran peresmian sekolah ini", suamiku mengajak ku pulang.<br />"Yukk dik Rima, kapan-kapan main ke rumah yah", ucapku mengundangnya.<br />"Insya Allah Bu, jika ada waktu, kami juga ingin silaturahmi sekeluarga ke rumah Ibu dan Bapak,"jawabnya.<br />"Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuuh....", kami pun berpamitan dan kembali ke mobil untuk segera pulang.<br />Tanpa terasa hari sudah kian sore, dan selama dalam perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya bersyukur. Ternyata kesibukan mas Arman adalah untuk menolong sesamanya. Rasanya segala kejenuhanku sungguh tidak beralasan, waktu yang sempit sekali pun harus kusyukuri, karena Allah telah mengamanahi mas Arman untuk membantu sesamanya, walaupun akibatnya waktu untuk kami menjadi sedemikian sempit.<br />Alhamdulillah sungguh rihlah kali ini sangat menyejukkan hati, semua pertanyaan yang menjadi pikiran ku terjawab sudah.<br />Ya Allah, ampuni hambaMu ini..... Maafkan Mirna ya Mas... selama ini aku hanya mengeluh, tanpa mensyukuri apa yang ada, bahkan sempat berpikiran yang tidak-tidak.... Astaghfirullah....<br />Dan senja pun kian memerah ketika kami memasuki tol jakarta. Rasanya aku siap masuki babak kehidupan yang baru dengan suasana hati yang baru dan segar. Semoga Allah memudahkan perjalanan hidup kami di dunia sehingga kami tetap dapat di kumpulkan bersama di kehidupan akhirat nanti... Amin...<br />(UA)</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-58462890763005384542007-09-12T20:31:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.928-07:00Tiba Saatnya<div style="text-align: justify;">Bukan Tami namanya kalau tidak bisa menyelesaikan liputannya dalam waktu singkat. Sesaat setelah menyimpan tulisannya di hard disk notebooknya, ia mematikan komputer seraya menghirup teh manis hangatnya. Sekarang tinggal menyerahkannya ke Mas Iqbal, redaktur liputan politik, bereslah tugasnya. Di luruskannya punggungnya yang kaku. Kemudian mengambil jaketnya yang tersampir di kursi. Diliriknya jam yang melingkari pergelangan tangannya, ah baru jam 10 malam, kemarin dia pulang hampir tengah malam. Kemarinnya lagi juga begitu.<br /><br />Tami menyapa beberapa temannya <span class="fullpost">yang masih asyik di depan komputer. Pasti mereka dikejar deadline tulisan juga pikirnya. Beberapa orang terlihat lelap dikursi, sementara layar monitornya masih menyala. Kalau sudah malam begini memang hanya tinggal beberapa orang saja yang masih ada di kantor. Biasanya para reporter yang dikejar deadline atau mereka yang memang tugasnya menyelesaikan proses naik cetak surat kabar agar sampai di tangan pembaca besok pagi. Bekerja sebagai wartawan memang tidak mudah, jam kerja yang tidak menentu, narasumber yang sulit dihubungi, semua membuat mereka kadang harus rela begadang. Tami juga sering begitu. Setelah pamit untuk pulang, ditekannya magnetic-card seraya menguap. Ah, penat juga rasanya. Didalam lift menuju lantai dasar sesaat Tami memejamkan matanya, lelah.<br /><br />Pak Madi, satpam kantor menyapanya ramah di pintu keluar. Pulang Mbak? Hati-hati di jalan...". Tami tersenyum sambil melambai. Pak Madi memang satpam tertua di kantornya dan sudah lama juga ia mengabdi di kantor tempat Tami bekerja. Bahkan sejak Tami belum bekerja di situ. Menurut teman-teman sejak perusahaan surat kabar ini didirikan hingga sekarang sudah menjadi perusahaan besar dengan oplag ratusan ribu eksemplar perhari dan tersebar diseluruh pelosok negeri. Itu sebabnya Pak Madi mengenal baik seluruh karyawan dikantor Tami.<br />Sesaat kemudian Tami sudah berada dalam Katana merahnya. Disusurinya jalan-jalan ibukota yang mulai lengang, sementara gerimis masih rinai sejak sore tadi. Ibu seperti biasa pasti belum tidur karena cemas menungguku pulang, pikir Tami. Ibu juga sering mengeluh, katanya pekerjaan wartawan sama saja dengan seniman, tidak punya ritme kerja yang jelas. Sering tidur malam dan bangun siang. Angin malam bertiup perlahan, sepotong bulan mengintip di langit gelap. Tami ingin segera sampai di kamar tidurnya. *****<br /><br />Rapat redaksi hari ini sungguh membosankan sekali. Tidak seperti biasanya Tami terduduk lesu di kursinya. Dia tidak berselera mengikuti debat redaksi kali ini. Mungkin Tami lelah, akhir-akhir ini kondisi politik tidak menentu, berbagai macam issue bermunculan, begitu banyak berita dan nara sumber yang harus dikejar tapi semua sering membingungkan, tidak jelas mana yang benar. Hari-hari ini Tami sering merasa terkecoh. Sebagai reporter bidang liputan politik jelas kondisi sekarang melelahkan sekali. Apalagi Tami tergolong reporter andalan di kantornya. Ia sudah mulai bekerja sejak masih kuliah. Itu sebabnya dia cukup terlatih dan berpengalaman. Belum lagi memang Tami punya banyak kelebihan, cerdas dan cekatan. Hasil liputannya selalu mengagumkan. Tulisan- tulisannya pun tak pernah membosankan dengan analisa yang dalam. Karena itu Tami cukup diperhitungkan oleh perusahaan. Masa depan cerah, begitu goda teman-temannya. Tapi Tami tidak peduli, yang penting ia menyukai bidang pekerjaannya. Apalagi perusahaan memberinya imbalan lebih dari cukup atau setidaknya sebandinglah dengan kerja kerasnya.<br /><br />Selesai rapat Tami kembali ke mejanya. Dia bersyukur karena Mas Iqbal tidak memberinya tugas liputan hari ini, itu berarti ada waktu luang sejenak karena beberapa tugas sudah diselesaikannya semalam. Sesaat dibukanya komputer di meja kerjanya. Ada beberapa email yang masuk, termasuk dari Nisa sahabatnya sejak di bangku kuliah. Tami membaca pesan singkat, "Tami yang sholihat..., pekerjaan seorang wanita harus dapat menunjang bertambahnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan hendaknya kita tetap memiliki ahlak yang baik dan mampu menjaga diri". Tami tertegun, lagi-lagi Nisa mengingatkannya.<br /><br />Sambil menikmati es jeruknya, Tami melepas kebosanan di kantin kantor. Di saat bukan jam makan seperti ini, kafe memang tidak begitu ramai. Ia bisa lebih tenang sambil memandang taman gedung yang asri. Sesaat email Nisa mengganggu pikirannya. Unik memang persahabatan mereka, sejak masih di universitas mereka sering jalan dan diskusi bersama, tapi Nisa berbeda, kerudung dan sikapnya membedakan ia dengan yang lainnya. Sampai sekarang pun mereka masih bersahabat meski tidak sering lagi bertemu. Nisa sekarang menjadi dosen di universitas mereka dulu. Dibandingkan Tami, dari segi penghasilan jelas Nisa tertinggal jauh. Tami sering heran kenapa Nisa tidak mencoba menawarkan ijazahnya ke perusahaan-perusahaan besar. Mereka sama-sama punya IPK yang tinggi, kemampuan bahasa asing yang baik, dan pengalaman organisasi yang segudang. Tentu tidak akan sulit juga buat Nisa mencapai lebih dari yang ia dapat sekarang. Nisa juga memang mahasiswi berprestasi dengan segala macam kelebihannya. Tapi setiap kali Tami menanyakan masalah ini pada Nisa, ia cuma tersenyum. "Aku ingin punya waktu lebih banyak buat Bang Hanif dan anak-anak..." begitu jawabnya. Nisa memang sudah menikah, bahkan sejak beberapa saat sebelum ia lulus kuliah. Sekarang sudah ada Ikhsan dan Urfi, buah hati mereka.<br /><br />Tami mengakui persahabatannya dengan Nisa banyak memberinya hikmah. Sering disaat Tami lalai Nisa mengingatkannya. Tidak jarang saat Tami berada ditengah kesibukannya mengejar berita ada sepotong pesan Nisa lewat radio panggilnya "Waktunya Shalat Dzhur, Tam...", atau lewat email dan pesan-pesan singkat lain yang masuk di perekam telepon genggamnya. Nisa memang tidak pernah bosan mengingatkan meski Tami sangat sibuk dan sulit sekali dihubungi. Nisa bilang sesama saudara memang harus saling mengingatkan dalam kebaikan, itulah esensi persaudaraan dalam Islam. Pantas saja Nisa selalu gencar mengingatkannya. Sejak dulu Nisa memang sangat menginginkan kebaikan buat orang lain, meski dia sendiri sering repot dibuatnya. Ah, Nisa terbuat dari apa sih hatimu..bisik Tami. *****<br /><br />Selasa siang di kantin kampus. Tami dan Nisa menikmati gado-gado favorit mereka berdua. Pedas- manis dengan harum perasan jeruk limau yang banyak. Dan tentu saja buatan Mbak Sum yang masih setia berjualan di kampus. Tidak putus obrolan mereka diselingi canda dan cerita nostalgia di bangku kuliah. Hari ini Tami memang mendapat tugas mewawancarai seorang tokoh pengamat politik yang juga pengajar di universitas mereka. Tentu saja kesempatan ini disambutnya dengan baik. Sekalian nostalgia di kampus dan bertemu teman-teman lama, Nisa terutama, pikir Tami. Kebetulan hari ini Nisa juga ada jadwal mengajar. Jadilah mereka janjian bertemu. Satu kesempatan langka ditengah kesibukan mereka masing-masing.<br /><br />"Kelihatannya kamu tambah sibuk sekarang Tam. Hati-hati lho jangan terlalu asyik berkarier. Kapan menyusul aku dan Bang Hanif?" Nisa tersenyum memandangnya. "Ah, aku kan baru 29, masih banyak yang ingin aku kejar", Tami berkelit sambil pura-pura asyik mengaduk es kelapa mudanya. Pertanyaan yang sering ditanyakan ibu juga, pikirnya. "Tami, manusia perlu berikhtiar dan berencana, meski pada akhirnya Allah juga yang menentukan semuanya. Kalau kita sudah berikhtiar tapi belum juga mendapatkan, itu lain lagi ceritanya. Aku tidak ingin kamu menyesal Tam..". Nisa masih bijak seperti dulu, bahkan rasanya tambah dewasa sekarang. "Iya deh, aku memang terlalu asyik dengan pekerjaan. Jangan bosen ingetin aku ya...". Tami menyerah. Nisa memang benar. Ibu juga sering khawatir. Apalagi sekarang Tami sering mendapat tugas liputan beberapa hari keluar kota atau bahkan ke luar negeri. Seperti minggu lalu. Kesibukan Tami semakin padat.<br /><br />Obrolan mereka siang itu semarak dengan berbagai topik. Termasuk tentang karier seperti yang sebenarnya sudah sering Nisa ceritakan. Tentang syarat-syarat wanita bekerja. Tentang keseimbangan antara pemenuhan hak keluarga dan pekerjaan. Tentang harus menghindari campur baur yang berlebihan. Tentang pakaian. Dan tentang pekerjaan yang harus sesuai dengan fitrah kewanitaan.<br />"Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa pekerjaan seorang jurnalis tidak baik dalam Islam. Tapi, please Tam..., semua ada aturan mainnya. Dien kita begitu sempurna mengatur semuanya. Jangan abaikan sinyal-sinyal itu. Untuk kebaikan kita juga", Nisa berbicara perlahan dan hati-hati sekali.<br /><br />Entah mengapa siang itu semua terasa lain di telinga Tami. Sepertinya suara Nisa lain dari biasanya. Atau apa karena sebelumnya Tami tidak pernah terlalu menggubrisnya. Wah, apa jadinya kalau aku tidak bersahabat dengan Nisa. Mungkin aku sudah semakin terseret dengan segala macam kesibukan kerja, pikir Tami. Makan siang bersama di kafe itu jadi semakin nikmat rasanya.<br /><br />Sementara suasana kampus masih seperti dulu. Selalu ramai, hidup dan meriah. Selalu ada wajah- wajah baru menggantikan yang lama. Datang dan pergi silih berganti. Ah, seperti juga kehidupan ini. Tidak ada yang abadi. Hanya Allah dan kehidupan kelak yang tidak akan pernah berubah. Kekal selamanya. Angin semilir menyentuh mereka. Matahari cerah di atas sana. Langit yang biru jernih berhias gumpalan-gumpalan awan putih yang menakjubkan. Indah. Seindah persahabatan mereka. "Allah lindungi kami dari cinta dunia, yang semakin menjauhkan kami dariMu, yang mengeraskan hati dan melupakan kami akan hari pertemuan dengan-Mu...".Doa Nisa di ujung shalat jamaah Dzhuhurnya bersama Tami. *****<br /><br />Adzan Isya sudah agak lama berlalu. Langit gelap. Hujan gerimis perlahan menjadi lebat. Tami bergegas meninggalkan sebuah gedung. Sejak siang tadi dia menunggu seorang tokoh masyarakat di sana, ada berita yang harus dia buat sehubungan dengan peran tokoh tersebut di masyarakat. Dengan kelihaiannya, akhirnya Tami bisa juga bertemu tokoh tersebut, meski harus berbelit-belit dan menunggu cukup lama. Itulah konsekuensi pekerjaan, tapi aku puas bisik Tami, ada beberapa pernyataan yang bisa menjadi berita besar. Sekarang harus segera kembali ke kantor. Berita ini harus segera dirampungkan.<br /><br />Tami berlari tergesa-gesa menuju tempat parkir. Halaman gedung sudah sepi dan agak gelap. Mungkin karena hujan dan suasana kota yang sedang tidak menentu. Orang-orang cenderung cepat pulang dan tidak keluar rumah jika tidak perlu benar. Ada cemas yang tiba-tiba menyelinap. Ah, kenapa tadi aku tidak pulang saja bareng teman-teman wartawan yang lain, sesal Tami. Mereka pulang lebih awal, tapi Tami bertahan, dia berharap masih bisa mendapatkan informasi tambahan. Tami bergidik, sesaat dia ingat berita-berita tentang kriminalitas ibukota yang meningkat, tentang preman-preman yang semakin nekat. Tapi aku harus pulang, keluhnya. Dia berlari menembus hujan. Tadi siang pelataran parkir gedung ini penuh mobil, karena tidak mau repot akhirnya Tami memutuskan parkir di sebelah gedung tersebut, sebuah bangunan besar yang sedang dikerjakan tapi agaknya terbengkalai tidak diteruskan, ditinggalkan separuh jalan. Puing-puing berserakan dimana- mana. Lagi-lagi Tami menyesal.<br /><br />Di bawah pohon besar, di sisi sebuah bedeng tempat berteduh pekerja bangunan yang sepertinya sudah lama ditinggalkan begitu saja, Tami memarkir mobilnya. Tadi siang masih ada beberapa mobil lain yang parkir di situ juga, tapi malam ini tinggal satu saja, Katana merah Tami. Sesampainya di sisi mobil di bawah pohon, Tami sedikit bernafas lega. Dikibas-kibaskannya air hujan yang membasahi rambutnya. Jeans nya pun agak basah juga. Sesaat dia mendengar suara tawa-tawa dari dalam bedeng, Tami bergidik lagi segera ia memasukan anak kunci ke pintu mobilnya. Tiba- tiba ada beberapa lelaki keluar dari bedeng itu. Penampilannya seperti preman saja. Tami kaget, anak kunci jatuh dari tangannya, Tami meraba-raba di tanah. Gugup dan gelap semakin menyulitkan ia menemukannya.<br /><br />"Cari apa Mbak ?",laki-laki itu mendekat. "Nggak...ggak...", Tami semakin gugup dan cemas. Perasaannya semakin tidak enak. "Jangan takut, kami mau bantuin koq", kata salah seorang diantara mereka diikuti tawa yang lain. Sekilas ada empat orang yang Tami lihat. Dua diantaranya berjalan limbung, mungkin karena pengaruh minuman keras. "Boleh juga..." Tami mendengar bisikan itu dari salah seorang diantara mereka. Ah, apa yang mereka inginkan, kamera Nikon besar yang aku pegang ini, atau ... Tami tersentak ketika salah seorang berusaha menyentuhnya. Seluruh tubuhnya lemas dan gemetaran, anak kunci belum juga ditemukan. "Apa-apain ini !",Tami berusaha menghardik dengan tegas. Tapi mereka semakin berani saja bahkan ada yang menarik tangannya, keras sekali. Tami berontak. Dengan segala kekuatan yang tersisa Tami menjerit minta tolong sekerasnya. Tapi Tami terlalu lemah, suaranya seperti ditelan puing-puing yang berserakan dan gemuruh hujan yang semakin deras. Tami terus meronta dan menjerit sekuatnya. Allah tolong saya..., jerita hatinya tak henti.<br /><br />Sesaat tarik menarik terjadi diantara mereka. Di saat tenaga Tami sudah semakin habis dan lemah, tiba-tiba ada suara yang menyentak "Hei..ada apa ini? Siapa kalian!", ada dua orang berlari menghampiri mereka. Antara sadar dan tidak Tami mengenali dari seragamnya, satpam gedung sebelah. Di belakang mereka terlihat berlari beberapa orang lagi. Keempat lelaki setengah mabuk itu langsung berhenti menarik Tami. Tami terjatuh lemas. Tidak ada sedikitpun sisa tenaga lagi yang ia miliki. Bajunya koyak dan basah kuyup, tapi ia masih sempat bersyukur "Allah...terima kasih, alhamdulillah". Setelah itu, Tami tidak ingat apa-apa lagi.<br /><br />Ketika sadar Tami sudah berada di suatu ruangan yang terang benderang. Ada beberapa orang di situ, termasuk seorang ibu yang sedang membersihkan lecet-lecet di lengannya. Tami tersentak ketika sadar dan ingat kejadian yang baru menimpanya. "Tenang Dik, sudah aman di sini..". Ibu itu mengusap rambutnya perlahan. Tami ingat ibunya di rumah, tangisnya tak terbendung lagi. Ibu itu memeluknya sambil menenangkan. Rupanya ia karyawati gedung yang kebetulan belum pulang kantor dan membantu merawatnya. "Sudahlah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, bersyukurlah kepada Allah karena Ia masih melindungi adik".Tami semakin terisak, pantaskah saya menerima pertolongan-Mu ya Allah..., shalat pun masih banyak yang saya tinggalkan. "Kalau ada yang sakit, mari saya antar ke dokter", ibu itu berkata lembut sambil menyodorkan segelas air putih. Tami menggeleng, meski kaki dan tangannya terasa memar-memar. Air putih itu memulihkan sedikit tenaganya. "Terima kasih, saya ingin pulang, Bu..."<br /><br />Setelah lukanya diolesi betadine dan istirahat secukupnya, Tami pulang sendirian. Sebenarnya ibu yang baik hati dan suaminya, yang ternyata sekantor itu, memaksa ingin mengantarnya pulang. Tapi hari sudah terlalu malam, pasti anak-anak mereka sudah menunggu di rumah, pikir Tami. Apalagi arah rumah mereka berlawanan. Tami juga sudah merasa kuat dan lebih enak. Sakit karena lecet dan memar di sekujur tubuhnya terhapus oleh rasa syukurnya yang dalam. Tidak henti Tami mengucapkan terima kasih pada semuanya. Tami merasa berhutang budi sekali.<br /><br />Malam semakin larut. Hujan sudah berganti terang. Namun sisa-sisa hujan masih menyisakan dinginnya. Bulan purnama yang tadi tertutup awan tebal, sekarang mulai berpendar-pendar. Jalan- jalan kota sudah semakin lengang meski dihiasi lampu-lampu jalan. Diperjalanan pulang, air mata menetes lagi di pangkuan Tami yang letih. Hatinya tak henti mengucap syukur kepada Allah. Mungkin benar kata Nisa, semua harus ada akhirnya... (er) </span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-62815679058663618492007-09-12T20:30:00.000-07:002007-09-12T20:56:05.928-07:00fraABOO’S LESSON<div style="text-align: justify;"><br /><div style="text-align: center;">by: Desti J Basuki<br /></div><br />“Did you remember to say the traveller’s du’a back there, son?” Aboo(1 asked. I just nodded. Through the windows, my eyes savoured the view. I could never get tired of watching the beautiful scenery of the Highlands of Kenya surrounding our city. We could go miles in the shadow of the green forests, then suddenly out in the open, passing a savanna. Sometimes I could vaguely smell the pleasant scent of eucalyptus plants, and sometimes see valleys stretching below us. Not far from Nairobi the capital, which was called ‘a place of cool waters’ in the old days, patches of tea plantation rolled out like carpet.<br /><br />Namalu, Uganda. That was our destination, <span class="fullpost">at least three days driving from Nairobi, where we started. It was my first time going on a long trip, and this particular one was no picnic.<br /><br />“I wonder if it’s gonna be there, Mzee(2,” Ali, Aboo’s assistant, suddenly spoke, “they promised one would meet us halfway between Namalu and the border.” Aboo just nodded slightly, then, sensing my confusion, he explained, “I asked for a tractor to accompany us, in case we get stuck in the mud or something. It’s in the contract.” I nodded, then again looked out to enjoy the view. But then a thought crossed my mind so I asked,<br />“Aboo, how bad is the journey in Uganda?”<br />“You mean besides the road blocks, the thick and sticky mud and puddles in the roads, the bandits, and the landmines? Well, there’s always civil war, you know.”<br /><br />I took a deep breath. Civil war. Yes, for it was 1981, and the civil war was the reason we headed out there; to deliver the aviation fuel Uganda needed for relief flights by an aid agency helping the refugees of war.<br /><br />Aboo swerved a little to avoid a puddle and, with his eyes still on the road, asked,<br />“Have you been saying du’a, Aboo(3?”<br />“Um .... nnno, Aboo. Which du’a?”<br />“We could sure use ayatul kursi right now.”<br /><br />I didn’t say anything, but started reciting the ayatul kursi in my heart. A flock of bright, pink flamingos flew in the sky. They were headed south from Lake Nakuru. I also caught a glimpse of a hippo, a bit further among the woods on the side of the road. There were quite a number of soda lakes around this region, a haven for hippos and many kinds of birds, especially flamingos, making it a paradise for birdwatchers. I turned my head left to look at Ali, and noticed that his lips were moving slightly. He, too, was saying du’as.<br /><br />After we passed Nakuru, I got drowsy from looking out, and from reciting more than a hundred of ayatul kursis. When we finally stopped for lunch and salah, I asked Aboo, “Shouldn’t we recite something longer later?”<br />“Like what? What do you have in mind?”<br />“Well, how about Yaseen?” I say, shrugging my shoulder a bit.<br />Yaseen was about the longest surah I’d memorized. It surely would keep me awake. A warm smile came on my father’s face.<br />“It’s good, but for me ayatul kursi will do.”<br />“Why?” Surely Aboo knew Yaseen by heart, too. And the longer the surah, should be the better, right?<br />Aboo smiled and said, “Because the ayah says, ‘All things in the heavens and on earth belong to Him’, and that means us included. On the road, that is what we always have to bear in mind, in order to give up our lives to Him and Him only. We can’t really rely on people, you know. But we can always rely on Allah, for He is always there, never sleeps, never feels tired, and like the ayah also says, knows everything about everything. ‘He’s the ruler of heavens and earth’, ain’t He? So, we should keep reciting the ayah to keep ourselves tawakkal. If I should recite a long surah like Yaseen, I’d probably concentrate more on the surah, what the next ayah will be, instead of trusting Him wholeheartedly.”<br /><br />Just then, we were stopped by a roadblock. Aboo and Ali went down to meet the policemen. I panicked, and found myself reciting the ayatul kursi furiously. I was scared we were going to meet some problems. Police corruption was not a strange thing, either in Kenya or Uganda, and I knew we had no money. But it was shameful for a big teenager like me to cry, so, scared as I was, I resorted to the ayah kursi. Fortunately, they soon came back, and not long after we resumed the journey.<br /><br />I realized then and there, how powerless I was. If police and corruption could scare me that much, I couldn’t imagine how much the landmines, robbers, or battles would affect me. I decided to keep reciting the ayatul kursi, and see how tawakkal I could get.<br /><br />Two days later, we passed the border. My heart throbbed from the sensation. Here I come, Uganda, the Pearl of Africa! People had been telling me how beautiful Uganda was, even more beautiful, though a bit less developed because of the war, than Kenya. Now, I could see it for myself.<br /><br />Cool, invigorating breeze welcomed us through the window, for it was right after Shubuh time. On my right side, Mount Elgon, an extinct volcano, towered 4000 m above us. With the help of the still rising sun, I could see caves doting its slopes. I had heard that elephants often went there, feeding on the salt found in the caves, which make Mt Elgon the only place in the world where elephants would go underground. But I guess it was too early for the day, for I could see no elephant in sight.<br /><br />Despite of the magnificent view, I could feel the tension rising. There were robbers in Kenya, but there were many more in Uganda. And we would continue to meet roadblocks, and the rain and puddles were so much worse, that we started needing the tractor, badly. We were also worried we might encounter a fight between the two warring groups. But for me, the scariest of all was the landmines. Every time we passed a mined area, Aboo would drive very quickly, many times passed the speed limit. His theory was, if we drove quickly enough, even if we went over a mine, we could escape the explosion. But with drums of kerosene loaded on our truck, it was a fat chance. The blast might catch on the kerosene, or, we might even get an accident from driving too fast, and get blown up anyway.<br /><br />All the dangers we had were so real, and still no tractor in sight, I did feel myself closer to God. Even the lush, rich green forest enshrouding us as we went around Mt Elgon, as beautiful as I had imagined, ceased to comfort me. One thing always followed directly after another that I found myself continuously reciting the ayah kursi, each time getting more sincere than before.<br /><br />Finally, we were only a few miles from Namalu, our destination. Right after I spotted a housing compound on Namalu suburb, Ali shouted, “There it is!! The tractor!” Sure enough, we saw a tractor going behind us.<br />“Well, what do you know, right in time...,” I said cynically.<br />“At least we have something,” Aboo calmly said.<br />“Yeah, now we’re saved!” Ali exclaimed, giving his own thigh a slap of joy.<br /><br />As soon as Ali said the word ‘saved’, KERR-SPLASH! Down went the truck into a deep puddle. Aboo put on the gas, but the truck didn’t budge. Ali got out to fetch the tractor to pull us out. Hours passed, with no improvement. Aboo then decided, “There’s no other way. We have to roll the drums one by one all the way to Namalu.”<br /><br />And there we were. Stranded, with a distance of only about five to ten minutes driving to our destination. But we couldn’t drive there, so we walked, rolling the drums one by one, all the way. They were all such huge drums, that it took all three of us plus the tractor driver to get each one out. And only after all the drums had been hauled to the ground, could the tractor pull the truck out. Even then, it was no easy task. The deep puddle made the truck keep slipping and swaying, many times almost roll to the ground. I had never had one day half as tiring as that particular day, and I could swear neither had Aboo nor Ali.<br /><br />That night, after prayer when we lay down in bed, relieved but exhausted, I told Aboo, “I guess that’s the irony of life. With all the danger we faced along the way, we were okay. And just as we almost arrived, calamity caught us unawares.”<br /><br />Aboo looked straight at me, his face sober, and said, “Istighfar, Aboo. You want to know the reason we got stuck? Because we relied on people and things. Remember along the way, we kept reciting the ayatul kursi? We were relying on Allah for help, so Allah helped us. But then, just because we saw the tractor, we forgot Allah and started relying on the tractor instead. And the tractor couldn’t pull us out! Even without the drums it was difficult. That was actually Allah’s way of showing us, what’s the price of relying on something other than He, the Greatest. Never, ever, fail to rely on Allah, and only Allah. To do otherwise will always be futile. Let that be a lesson for you, Aboo.”<br /><br />It was indeed a lesson, and wallahi, did we learn it the hard way....<br /><br /><br />(1 Aboo [‘AA-bow] = Father, in Somali, from Arabic Abu.<br /><br />(2 Mzee = an address of respect in Swahili (a common language in Kenya and the neighbouring countries), more or less like ‘Sheikh’ in Arabic, or probably ‘Sir’ in English.<br /><br />(3 Aboo = though literally means father, in East African countries, as well as South Asian and middle eastern countries, it is also used by a father to address his son/daughter, as a term of endearment.</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-42461875277370802912007-09-12T20:29:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.929-07:00Kau Hujani Aku Dengan Seribu Nikmat<div style="text-align: justify;">Jam 3 pagi, aku terjaga dari tidur nyenyakku. Kulihat Nida masih pulas di sampingku. Aku tak membangunkannya karena aku tahu Nida sedang berhalangan untuk shalat. Lalu aku beranjak dari tempat tidur dan kubuka pintu. Semua masih terlelap tidur, sepi. Kemudian aku berjalan ke halaman belakang, aku berwudhu dengan air dingin yang mengalir dari kran. Alhamdulillah Ya Allah Engkau masih memberiku nikmat berwudhu. Kulewatkan pagi itu dengan sujud2 panjangku. Aku begitu merindukan-Mu Wahai Kekasihku. Ampuni segala dosa2ku. Tenangnya hati ini saat bercengkerama dengan-Mu. Kutumpahkan segala keluh kesahku. Kuceritakan semua galau di hatiku. Kusyukuri atas nikmat dan karunia-Mu yang tiada terkira. Ya Allah, jika Engkau berkenan maka ijinkan hamba untuk segera menunaikan sunah Rasul, menggenapkan separo din. <span class="fullpost"><br /><br />"Mbak, ada teman Bang Arul yang minta dicariin istri." Suatu hari Nida berkata sambil menjatuhkan diri di kasur. Bang Arul adalah satu2nya kakak Nida yang telah menjadi guru di SMA Insan Kamil dan juga aktif menjadi pengurus Pesantren Al-Qalam letaknya tak jauh dari kampusku. Aku yang sedari tadi asik mengutak-atik data penelitian langsung memutar kursi dan menatapnya. "Trus?" Kataku. "Ya trus Mbak mau ga? Kalo Nida kan belum pengen nikah dulu jadi Nida tawarin aja ke Mbak." Nida memang teman sekamar sekaligus sahabat yang paling akrab denganku. Kuanggap dia seperti adikku.<br /><br />Aku mengenal Nida saat sama2 menjadi pengurus Dewan Kerja Masjid Al-Bahri. Saat itu kerudung Nida masih mini tapi sekarang sudah terjulur indah menutup auratnya. Alhamdulillah! Dia banyak bertanya padaku. Mesti ilmuku juga dangkal tapi aku selalu berbagi tentang apa yang aku tahu dengannya. Jika ada yang kami berdua tak mengerti maka kami akan menanyakannya pada murobbi yang memimpin liqo yang rutin diadakan setiap jumat ba'da dhuhur di aula masjid Al-Bahri. Kadang2 Nida juga bertanya pada Abangnya dan kemudian berbagi pengetahuan yang didapatnya denganku.<br /><br />Memang beberapa hari terakhir aku memikirkan tentang menikah tapi aku belum mengungkapkannya pada siapa pun dan sekarang aku sudah mendapatkan tawaran. Aku terdiam sejenak. Ada perasaan takut merasuk dalam kalbu. Ya ALLAH ampuni dosa2 hamba. Tiba2 kenangan pahit di masa lalu kembali berputar di otakku. "Mbak, kok malah bengong sih?" Nida berujar mengagetkanku. Kuhela nafas dan kujawab dengan sebuah senyuman dan anggukan. Aku ini memang bukan yang terbaik tapi aku akan terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Ya Rabbi…<br /><br />Nida mengulurkan sebuah amplop yang langsung kubuka. Di dalamnya terdapat CV dan sebuah foto. Segera kubaca dengan cermat. Namanya Muhammad Bin Sofyan. Saat ini sedang menyelesaikan study di Universitas Al-Azhar Kairo, jurusan Syariah Islamiyah. Di bawah kulihat ada tulisan "NB: afwan ukhti, jika tidak keberatan, saya ingin berdiskusi dengan ukhti melalui YM" dan di sampingnya terdapat sebuah ID YM yang aku yakin adalah miliknya. Rupanya Sofyan mengirimkan CV tersebut melalui email lewat Bang Arul dan Bang Arul berbaik hati mencetaknya untuk diberikan kepadaku.<br /><br />Hari itu juga, kukirimkan sebuah email jawaban untuk Sofyan dan mengabarkan bahwa aku menerima ajakannya untuk berdiskusi melalui YM 3 hari yang akan datang jam 10.00 WIB. Itu berarti jam 6.00 waktu Cairo. Tak lupa aku juga mengirimkan CV beserta fotoku. Bismillahirrahmaanirrahiim. Ya ALLAH jika sekiranya Engkau mengijinkan hamba untuk bertaaruf dengannya, lindungilah kami dari kemudharatan.<br /><br />Jantungku deg2an memikirkan apa yang harus kukatakan nanti jika berdialog dengan Sofyan. Haruskah aku menceritakan semuanya pada Sofyan? Bagaimana jika dia menghentikan proses taaruf ini sedangkan aku sudah terlanjur berterus terang padanya? Ya ALLAH, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyimpannya ataukah mengatakan sejujurnya? Duhai Kekasihku, ampuni aku.<br /><br />Istikharah kulakukan untuk memantapkan langkah. Sungguh aku ini lemah dan tak berpengetahuan. Hanya Engkau Wahai Pujaanku Yang Maha Tahu segala yang tersembunyi. Sekiranya dia baik bagi hamba dalam agama hamba dan dalam penghidupan hamba maka anugerahkanlah dia untuk hamba. Mudahkanlah jalan ini dan berikanlah keberkahan bagi hamba di dalamnya. Jadikanlah hamba orang yang rela atas anugerahmu.<br /><br />Seusai shalat dhuha, kutemui Sofyan melalui YM. "Assalamualaikum wr. wb." Sofyan lebih dulu menyapaku. "Waalaikumsalam wr. Wb. Khaifa haluka, akhi?" Kujawab salamnya. "Alhamdulillah bilkhair, wa anti?" dia balik bertanya. "Alhamdulillah ana toyib." Sedikit ketakutanku tiba2 meleleh. Ya ALLAH jika memang dia baik untukku maka mudahkan lisanku ini untuk menyampaikan apa yang harus diketahuinya. Aku telah menghabiskan malam2ku untuk meminta ampunan dan petunjuk-Mu Ya Rabb.<br /><br />Tiga puluh menit telah berlalu dan telah banyak yang kami diskusikan. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Inilah saatnya. Aku tidak mau menunda lagi. Biarlah jika dia mengurungkan niatnya untuk menikah denganku. Lebih baik sekarang dari pada nanti ketika sudah terlambat untuk mengakuinya. Bismillahirahmaanirrahiim. Huruf demi huruf kuketik menjadi kata yang merangkai kalimat2, menjelaskan tentang apa yang harus diketahuinya. Hati ini memang gundah tapi inilah yang harus kulakukan.<br /><br />Subhanallah! Sungguh Sofyan begitu besar hatinya. Dengan mantap dikatakannya bahwa dia bersedia menikahiku dan dia memintaku untuk segera mengabarkan berita itu kepada orang tuaku karena tiga minggu mendatang dia akan pulang ke tanah air dan meminangku. Alhamdulillah Ya ALLAH. Syukur tak henti2nya kuucapkan. Setelah begitu banyak dosa yang kulumurkan dalam diriku, Engkau masih menunjukkan kasih sayang-Mu. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi dan isakan kecilku terdengar membuat Nida yang sedari tadi asik membaca di tempat tidur menoleh dan bertanya, "Kenapa, Mbak?" Aku pun segera mendatangi dan memeluknya. "InsyaAllah aku akan menikah dengan Sofyan." Nida pun langsung mengucap hamdallah dan memberikan selamat untukku.<br /><br />Hanya 1 minggu setelah lamaran, aku dan Sofyan melangsungkan akad nikah dan walimatul 'ursy yang sederhana. Teman2 kampus banyak yang datang memberikan selamat meski mereka harus jauh2 datang dari Jakarta menuju rumahku yang ada di Solo. Mereka ikhlas merelakan uang yang tentu tidak sedikit untuk ongkos transportasi ke Solo. Untuk penginapan, Alhamdulillah masih ada rumah saudara yang cukup untuk menampung meski mereka harus tidur dengan tempat ala kadarnya.<br /><br />Aku benar2 bahagia. Aku sudah sah menjadi istri Bang Sofyan. Tak terkira syukur yang kupanjatkan pada Kekasihku Yang Abadi. Ya ALLAH, Engkau yang memiliki cinta, berikanlah cinta pada kami sehingga kami dapat memulai kehidupan baru ini dengan penuh cinta kepada-Mu. Berikanlah kepada kami keturunan yang sholeh yang menjadi pengikut orang2 mukmin.<br /><br />Benar2 mulia hati suamiku ini. Keikhlasannya menerimaku sungguh membuatku kagum. "ALLAH itu Maha Menerima Tobat hamba-Nya, De. Sebesar apapun itu, Allah akan mengampuni jika hambanya sungguh2 bertobat. Abang percaya Ade pun telah bertobat. Bagi Abang, yang penting sekarang Ade telah berubah menjadi lebih baik. Jadi janganlah bersedih, De! Maa wadda 'aka rabbuka wamaa qalaa. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu"<br /><br />Aku selalu ingat kata2 itu Bang. Kamu telah memberiku banyak hal. Kamu telah membimbingku untuk terus memperbaiki diri. Kamu benar2 suami yang berhati lembut. Tak pernah sekali pun kamu berkata kasar atau membentakku. Meski telah 3 tahun pernikahan dan ALLAH belum menitipkan anak untuk kita, kamu terus saja membesarkan hatiku dan kamu terus memberikan perhatianmu untukku. Alhamdulillah Bang, akhirnya ALLAH menitipkan jabang bayi di dalam kandunganku. Kamu sampai menitikkan air mata bahagia saat aku bilang bahwa aku hamil 2 bulan.<br /><br />Kamu selalu membacakan ayat2 dari Surat Cinta-Nya setiap ba'da maghrib. Setiap kali akan berangkat mengajar, kamu selalu berkata pada bayi dalam rahimku ini agar dia menjagaku selama kamu pergi. Pulang mengajar kamu pun mengecupnya dan menasehatinya agar kelak menjadi anak yang sholeh. Pagi buta saat kubilang aku ingin makan soto, kamu tahu aku lagi ngidam dan kamu langsung mengambil kunci motor dan memacunya untuk mencari soto kegemaranku. Hampir 1 jam kamu baru pulang dan dengan wajah sumringah kamu ulurkan soto yang sudah kamu pindahkan ke mangkok untukku. Dari mana kamu dapat soto di saat aku tahu pemilik warungnya pasti sedang lelap2nya tertidur? Kamu hanya tersenyum dan berkata, "Ada orang baik yang membantu kita atas ijin ALLAH."<br /><br />Kebiasaanmu setiap awal bulan adalah mengajakku ke toko buku. Membeli beberapa buah buku bertemakan Islam. Hobimu membeli buku sejak kamu masih SMA membuatmu bisa mendirikan sebuah perpustakaan mini yang sampai saat ini selalu ramai dikunjungi warga di kampung kita. Garasi kecil di samping rumah kamu sulap sedemikian rupa dan kamu tata apik buku2mu di dalam beberapa rak kayu. Prinsipmu adalah "Banyak membaca, banyak ilmu". "Tidak semua orang dapat rejeki untuk membeli buku, De. Jadi apa salahnya jika kita berbagi dengan mereka." Duh Abangku sayang, besarnya keinginanmu untuk selalu berbagi dengan sesama.<br /><br />Aku ingat saat kamu memintaku menunggu di kamar karena kamu akan memberikan kejutan untukku. Hampir dua jam aku menunggu dan terpaksa akhirnya aku keluar juga meski kamu melarangku untuk keluar karena aku mencium bau masakan gosong. Abangku yang baik, ternyata kamu ingin memasak untukku. Aku haru melihat kesungguhanmu, Bang, meski hasilnya tak seindah yang kamu bayangkan. Aku langsung menghambur memelukmu, meski bajumu berlepotan tak karuan. Aku menangis bahagia dalam dekapanmu. Baiknya kamu, Bang.<br /><br />Disela2 kesibukan di pesantren dan yayasan, kamu begitu memperhatikan aku. Kejutan2 selalu kamu berikan untukku. Seperti di saat hari ulang tahunku, kamu bangunkan aku di waktu subuh, kamu kecup keningku mesra, kamu berikan selamat untukku, kamu doakan untuk kebaikkanku,dan kamu berikan kado sebuah jilbab beserta kerudng yang kutahu harganya tidaklah murah. Duh suamiku, berapa lama kamu kumpulkan uangmu untuk membelikan kado ini? Mendapatimu yang penuh kasih dan tidak banyak menuntuk pun aku sudah sangat bersyukur, ditambah lagi dengan perhatian2mu, bagaimana aku tidak bersyukur menjadi istrimu?<br /><br />Setiap minggu kamu selalu mengajakku menghadiri pengajian di masjid At-Ta'awun. Sepulangnya dari sana kamu ajak aku mampir makan di warung sate ayam kegemaranmu ato ke warung soto kegemaranku. Abang, Ade jadi takut jika menyakiti hatimu. Afwan, Bang, aku pernah curiga padamu. Aku takut kamu bosan dengan pernikahan ini. Saat kamu sibuk dengan proyek pembangunan pondok pesantren As-Salam di Desa Babakan, sebuah pesantren modern dengan konsep pendekatan pada alam. Tiba2 waktu yang kamu berikan untukku berkurang dan kamu jarang bisa berjamaah isya denganku. Mau bercengkerama dan ngobrol santai denganmu pun sulit waktu itu. Tiba di rumah kamu sudah kecapekan dan pasti langsung tertidur pulas. Pagi2 selepas subuh pun kamu langsung berangkat. Aku tidak berani bertanya tentang kecurigaanku, Bang. Tapi akhirnya kamu menceritakan tentang proyek itu di saat Pondok Pesantren As-Salam telah berdiri dengan megahnya. Duhai Abang, maafkan prasangka burukku. Tak sepantasnya aku berpikiran buruk padamu. Ya ALLAH ampuni hambamu!<br /><br />Abang, aku kangen padamu. Hanya sebentar waktu yang diberikan ALLAH untuk kita bertemu. Hanya sebentar waktu yang kita lewatkan untuk bersama2 memuji keagungan-Nya. Aku kangen mentadabburi Quran bersamamu. Aku kangen mendengar nasehatmu setiap kali kamu hendak berangkat kerja. Aku kangen saat engkau menggodaku hingga aku tersipu malu.<br /><br />Kuingat lagi obrolan kita di YM. Engkau memang sempat tercenung sejenak di saat aku selesai mengungkapkannya padamu. Diri ini telah cacat. Tiada lagi yang indah dalam diriku. Telah hilang apa yang seharusnya masih ada padaku. Aku terjerumus di kelamnya masa lalu pergaulanku, 10 tahun yang lalu, tepatnya di saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Alhamdulillah ALLAH masih memberi waktu untukku menyesali semua itu. Dengan hati terbuka kuterima hidayah ALLAH di saat semester pertama aku kuliah, aku mulai mengulurkan jilbab dan kerudung untuk menutupi auratku. Iman ini pun mulai kubenahi dan kutata lagi.<br /><br />Abang, sakit mulai terasa. Sepertinya bayi dalam rahimku ini ingin segera melihat wajah ibunya. Meski sayang dia tak bisa melihat wajahmu, Bang. Doakan agar bayi kita selamat dan kelak menjadi anak sholeh yang selalu mendoakan kita. Aku bahagia, Bang. Ayah, bunda, Ummi, dan Abi ada di sini menemaniku. Begitu pun Nida dan tadi sempat kulihat Bang Arul di depan ruang bersalin.<br /><br />Aku ingat saat malam itu Bang Arul dan Nida mendatangi rumah kita. Mereka menangis dan tidak berkata apa2. Nida hanya memelukku erat. Aku bingung, Bang. Aku tau pasti ada sesuatu yang terjadi denganmu. Selepas Maghrib, kamu pamit ingin bersilaturahmi ke rumah Bang Arul. Perasaanku sudah tak enak kala itu. Aku ingin ikut bersamamu tapi kamu mencegahku. Kamu memintaku beristirahat untuk menjaga kandunganku. Sungguh ALLAH menyayangimu. Dia mempercepat waktumu untuk segera bertemu dengan-Nya. Aku menangis tapi aku ikhlas. Kamu tak peduli dengan nyawamu sendiri saat kamu berusaha menolong bayi yang terjebak kebakaran di dalam rumah tetangga Bang Arul. Meski bayi itu tak berhasil kamu selamatkan, kamu pun tak berbeda nasibnya tapi engkau meninggalkanku dengan cara yang mulia. Mudah2an ALLAH memberikan tempat yang mulia untukmu wahai suamiku yang berhati mulia.<br /><br />Abang, aku sudah siap melahirkan bayi ini. Akan kuberi nama Khairul Ihsan jika laki2 dan Miftahul Jannah jika perempuan, sesuai dengan keinginanmu dulu. Sakitku sungguh tak ada apa2nya dibandingkan dengan kenikmatan yang selama ini kurasa. Bayi ini adalah wujud cintamu yang dititipkan ALLAH untuk kita.<br /><br />Rasanya seperti diantara hidup dan mati, Bang. Kalo harus menyusulmu sekarang pun aku sudah siap dan ikhlas. Inilah jihad seorang wanita, Bang. Akhirnya aku melaluinya. Alhamdulillah Abang, bayi kita telah lahir dengan selamat. Laki2, sangat mirip denganmu, mudah2an hati dan kepribadiaannya pun tak berbeda denganmu.<br /><br />Sekarang Ihsan telah dewasa. Perawakan dan ketampanannya persis denganmu. Begitu pun dengan watak dan hatinya. Dia juga telah mendapatkan LC dari Al-Azhar dengan jurusan yang sama denganmu. Sebentar lagi dia akan menikah dengan Laila, seorang gadis yang InsyaAllah sholehah yang ditemuinya di Kairo. Doakanlah mereka, Bang. Mifta pun baru saja lulus SMA. Dia memilih mondok di pesantren As-Salam semenjak masih SMP. Alhamdulillah dia telah mengantongi beasiswa dari Universitas Malaya pada bidang kedokteran. InsyaAllah minggu depan kami akan mengantarnya ke Malaysia. Tunggu kami, Bang dan doakan kami agar istiqomah dan menyusulmu dalam keadaan khusnul khotimah. Kita akan bertemu di surga-Nya.<br /><br />"Ayo, Dek kita berangkat ke masjid! Ihsan sudah menunggu di luar. Keluarga Laila juga sudah tiba di masjid." Bang Arul tiba2 sudah berdiri di ambang pintu kamar, berkata lembut dan tersenyum padaku. Kutatap manik indah matanya dan kubalas senyumannya dengan senyum terindah yang kupunya. Kuberanjak dari keterdiamanku di depan jendela. Kuhampiri dia, kupeluk sejenak dan kukecup pipinya. "Ayo, Bang!" Kami pun berjalan bergandengan menuju halaman di mana anak sulungku sedang menantiku untuk mengantarkannya menuju lembaran hidup yang baru. Alhamdulillah Ya, ALLAH! Sungguh nikmat yang Kau berikan tiada terkira, meski beribu2 dosa yang pernah kulakukan tak terhitung seperti debu yang beterbangan. Tak kan cukup sisa umurku untuk bersyukur sebagai balasan atas segala apa yang telah Engkau anugerahkan padaku.<br /><br />"Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (At-Taubah:27)<br /><br /><br />Minggu, 26 Agustus 2007<br />Di Sragen, 03:54<br /><br />Yayapoenya</span></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-32455734199961901172007-09-12T20:28:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.929-07:00Menengok Tanah Impian“Huek, huek… huuk!†Akhirnya muntah juga. Perutku seperti diaduk-aduk. Bau busuk rasanya tak hilang-hilang dari hidungku.<br /><br />“Masya Allah, telurnya busuk. Nggak jadi deh orak-arik kangkungnya!†Aku bergumam kesal. Segera aku mengangkat wajan dan membawanya keluar. Mantan orak-arik kangkungku kubuang perlahan di tempat sampah. “Tapi ganti sayur apa?†tanyaku dalam hati. Tak lama aku mendapat ide.<br /><br />“Bu Is, minta kangkungnya, ya,†kataku pada tetangga paling dekat rumah.<br />“Ambil sajalah, Mbak.†Bu Is, tetangga baruku, menjawab dari dalam rumahnya.<br />Aku segera mengambil pisau dan wadah. Dengan gesit kupetik batang-batang kangkung di kebun belakang rumah Bu Is. Alhamdulillah, tidak perlu ke pasar untuk beli sayuran lagi. Satu genggam cukuplah untuk makan berdua. Aku cepat-cepat mencuci dan memasaknya.<br /><br />“Abi, tahu nggak?â€<br />“Apanya?†tanya suamiku sambil menyendok nasinya lambat-lambat. Begitulah dia, makannya lambat. Bahkan lebih lambat dariku. Padahal, aku ini kalau makan dari dulu sudah paling lambat dibanding teman-teman kosku.<br />“Ummi tadi masak sayurnya sampai dua ronde, lho! Gara-gara telurnya busuk. Telur yang dijual di sini banyak yang busuk ya, Bi?â€<br /><br />“Ya, memang begitu,†jawabnya ringan.<br />“Kalau di Jawa nggak ada yang sengaja jualan telur busuk. Tapi kata Bu Is, di sini lain.†Suaraku menggantung.<br />“Ummi jangan samakan Jawa dengan Timika sini. Kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri.†Pesan sponsor suamiku itu selalu kudengar kalau aku sudah cerita, tepatnya membandingkan, Jawa dengan Papua.<br /><br />Kesan pertama tinggal di sini memang tak menggoda. Sampah-sampah menumpuk di pinggir-pinggir jalan. Belum lagi ludah merah, bekas orang mengunyah buah pinang dan kapur sirih, ada di mana-mana, tak sedap dipandang. Dan pasarnya.... luar biasa beceknya.<br />Pengalaman belanja di pasar sempat pula membuatku takut belanja. “Kalau tak punya uang, tak usah beli!†teriak seorang pedagang saat aku berusaha menawar sebuah labu kuning kecil. Enam ribu, yang benar saja. Aku memilih pergi, tidak jadi membeli. Dengan uang belanja yang pas-pasan, aku harus berpikir keras untuk mendapatkan sayur dan lauk yang tepat. Di sini semua dijual dengan pembulatan sampai seribu. Tak ada recehan. Seperti supermarket tradisional saja, keterampilan menawar barangpun tidak terpakai di sini.<br /><br />“Saya saat awal-awal tinggal di sini, sempat stres, Mbak. Harga-harga barang sangat mahal. Jadi harus pinter mengaturnya!†cerita seorang tetanggaku<br />“Iya, uang lima ratus nggak laku. Pernah saya kumpulkan sampai satu kantong dan saya bawa pulang ke Jawa. Sampai digeledah petugas bandara karena dikira bawa emas,†cerita Bu Is yang suaminya pegawai di sebuah perusahaan asing penambang emas di Papua. Tapi, kebanyakan orang Indonesia tak tahu kalau Papua ada emasnya. Tahunya tambang timah. Kasihan betul negeriku ini…<br /><br />Aku memang baru beberapa hari tiba di Timika Tengah, di kota kecil yang padat. Suamiku sudah lebih lama tinggal di sini. Ia merantau dan berdagang di sini sejak lima tahun yang lalu.<br /><br />Sejak hari pertama, aku sadar untuk belajar banyak melapangkan dadaku. Bayangkan saja, saat melihat-lihat kota untuk pertama kalinya, ada pengendara sepeda motor yang meluncur tepat berhadapan dengan kami dari arah yang berlawanan, padahal kami berada di lajur kiri. Untung saja suamiku mengendarai sepeda motornya dengan pelan, sehingga tabrakan bisa dihindarkan.<br /><br />“Ya, di sini kita harus banyak mengalah. Bahkan, kalau sampai ada anjing yang tertabrak, kita langsung kena denda!†Begitu suamiku menerangkan “peraturan†di jalan. Karenanya, ia tak pernah berani ngebut. Di sini aku memang melihat orang-orang begitu menyayangi anjingnya.<br /><br />Papua. Tanah impianku ini memang tak seeksotik yang kubayangkan. Bayangan tumpukan sampah dan rumput liar yang mengisi tanah-tanah kosong, jelas bukan gambaran yang eksotik. Dulu, sebelum menikah, aku punya obsesi untuk tinggal di pulau ini. Sebuah kesadaran akan perluasan dakwah menumbuhkan semangat itu. Aku begitu bersemangat mendengar ceramah seorang ustadz tentang dakwah di Indonesia Timur. Aku lantas merasa terpanggil.<br />Tidak terbayangkan bahwa Allah memberiku peluang itu. Sebuah tawaran untuk menikah dari seorang ikhwan di Papua aku terima beberapa bulan lalu. Saat itu hatiku begitu takjub. Allah hampir memenuhi obsesiku. Dengan cara inikah aku sampai ke Papua, ya Allah? Akhirnya dengan dukungan teman-teman dan orangtua, aku menerima lamaran itu. Dengan proses cepat, aku menikah secara sederhana. Dan Papua telah menungguku.<br /><br />“Huek, huek!†Insiden telur busuk itu seolah tak bisa kulenyapkan dari pikiranku. Aku jadi mudah mual dan muntah-muntah. Bahkan, aku jadi sulit makan beberapa hari ini. Perutkupun terasa sakit sekali. Rasanya aku belum pernah merasakan sakit perut lebih dari ini. Keringat dingin mulai menetes di keningku. Badanku panas dingin.<br /><br />Aku meninggalkan piring-piring yang belum kucuci. Segera aku masuk kamar, lalu mengoleskan minyak tawon di beberapa bagian tubuhku. Sambil menahan sakit, aku hanya tiduran sambil menunggu suamiku pulang.<br />“Makanya, kalau disuruh makan itu nurut. Begini akibatnya, malaria. Di sini tidak baik membiarkan perut kosong. Rawan penyakit!†Ceramah suamiku saat mengendarai motor pulang dari klinik. “Masih untung malaria tertiana, kalau tropicana bisa-bisa bahaya. Ada teman yang kena syaraf sampai jadi gila, lho!â€<br /><br />“Abi jangan bikin takut gitu, ah.†Aku menyodok pinggangnya.<br />“Eh, bener, di sini banyak yang begitu. Sudahlah, pokoknya besok Ummi harus banyak makan. Abi tidak mau melihat Ummi sakit!â€<br />“Tapi Ummi nggak bisa! Bau telur busuk itu masih teringat terus. Atau, Ummi nggak masak dulu? Ganti Abi yang masak, ya?†He-he-he, akhirnya keluar juga manjaku.<br /><br />Begitulah, dalam beberapa hari suamiku mengerjakan tugas domestik. Badanku masih lemah. Obat malaria yang sangat pahit itu juga mengurangi nafsu makanku. Cuma roti dan susu yang bisa selamat kucerna. Makanan lain masih termuntahkan.<br /><br />Konon, wabah malaria adalah sapaan hangat bagi pendatang di pulau ini. Pokoknya bukan orang Papua kalau belum kenalan dengan malaria. Makan kina seperti makan permen saja bagi orang Papua. Padahal, rasanya pahit sekali.<br />Setelah pulih, aku sangat ingin jalan-jalan.<br /><br />“Sudah kuat? Nanti sakit lagi,†ujar suamiku.<br />“Buat refreshing lah, Bi.â€<br />“Risiko nggak ditanggung, lho!â€<br />“Ya, pokoknya keluar. Ke mana saja deh. Cari matoa juga boleh,†pintaku penuh semangat.<br /><br />Beberapa kali aku sempat melihat orang menjual matoa di pasar. Sekarang lagi musim matoa, buah asli Papua. Bentuknya lonjong, sedikit lebih besar dari telur puyuh, dan rasanya mirip kelengkeng. Harganya relatif murah dibanding buah lainnya.<br /><br />“Apa kerja mereka, Bi?†tanyaku saat melihat beberapa penduduk asli yang asyik mengobrol di pinggir jalan yang kami lewati.<br /><br />“Nggak tahu, ya. Masih banyak yang berladang dan hanya mengambil hasil hutan. Tapi, ada yang kerja di proyek bangunan.â€<br /><br />“Iya, kelihatannya mereka kuat-kuat. Yang perempuan juga. Ummi pernah lihat perempuan yang bekerja di proyek dekat apotek itu.â€<br /><br />“Abi, apa mereka baik pada kita?†Hatiku ragu. Aku melihat sorot mata tidak bersahabat saat kami melintasi mereka.<br /><br />“Ya, sulit dikatakan. Mereka itu keras dan suka berkelahi. Kalau sedang marah, apalagi dengan pendatang, mereka tidak peduli orang mana, asal bukan dari kalangan mereka, ya jadi sasaran. Bagi mereka pendatang, ya pendatang.â€<br /><br />“Bahaya kalau gitu.â€<br />“Makanya, tidak aman pergi sendirian, apalagi perempuan.â€<br />Tak lama kulihat botol-botol minuman keras berceceran di jalan. Mabuk-mabukan agaknya sudah jadi kebiasaan di sini. Di pasar, aku juga sering melihat orang mabuk.<br /><br />Suamiku juga menjelaskan praktek pelacuran yang sudah lazim di sini. “Di dekat jalan tadi itu banyak rumah-rumah buat ‘begituan’,†tambah suamiku. Ah, pantas saja Papua punya angka penderita AIDS yang begitu tinggi.<br /><br />“Ke mana nih? Sudah sore,†tegur suamiku.<br />“Ke dekat bandara saja. Pasti enak jalan-jalan sore begini.â€<br />Suamiku mengarahkan sepeda motornya keluar dari jalan raya, menyusuri jalan pinggir kota menuju bandara. Ada sebuah sungai yang cukup besar mengalir di tepinya. Airnya cukup jernih tapi gelap, sepertinya berlumpur dan banyak ganggangnya. Aku jadi ingat ikan air tawar yang aku beli di pasar kemarin. Kotor dan berlumut sehingga aku harus bekerja keras membersihkan sisiknya.<br />“Kok dingin, ya? Rasanya aneh, bikin tidak enak badan.â€<br /><br />“Makanya, sebenarnya Abi tak ingin mengajak Ummi ke luar. Cuaca di sini beda. Maunya jalan-jalan, eh malah dapat penyakit nanti. Tapi, biar Ummi merasakan sendiri, daripada ngambek,†kata suamiku datar.<br /><br />Suara serangga hutan yang berisik membuatku merasa tidak nyaman. Nyamuk-nyamuk hutan terasa berseliweran di sekitarku. Pohon-pohon besar dan rimbun membuat suasana gelap. Aku jadi ingin segera pulang. Tanpa banyak berdebat, suamiku menuruti keinginanku.<br /><br />Kini aku tercenung, Terpikir kembali obsesiku untuk berdakwah di sini. Namun sekarang aku dihadapkan pada kondisi sesungguhnya. Orang-orang berperangai keras. Para pendatang yang matrealistis dengan tingkat moral yang memprihatinkan. Daerah transmigrasi yang kurang diminati karena kondisi jalan yang demikian buruk. Lingkungan yang rawan penyakit.<br /><br />Lalu, bagaimana caraku berdakwah?<br />Hatiku jengah. Aku teringat buku-bukuku yang tersusun rapi di rak. Bayangan materi dakwah yang kupelajari tiba-tiba hadir. Aku menarik napas perlahan. Bergunakah semua itu di sini? Dengan apa kuketuk hati mereka untuk dekat pada Allah? Hatiku sibuk berdialog.<br /><br />Setelah sampai di rumah, aku lebih banyak diam. Berpikir. Hingga jauh malam aku sulit tidur. Sementara suara gitar dan nyanyian parau berbahasa aneh membuatku terasa berada di negeri asing.<br /><br />“Apakah di tempat seperti ini, akan lahir anak-anakku nanti? Akan tumbuh seperti apa mereka?†Aku mencoba mengais harap. Aku teringat saat suatu siang kulihat kaki-kaki kecil berjalan tanpa sepatu dan bangunan sekolah yang tidak terawat. Wajah pendidikan yang meresahkan hati. Ada banyak yang mesti disiapkan. Dan aku mesti ambil bagian.Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-5658649090721390002007-09-12T20:27:00.000-07:002007-09-12T20:56:05.929-07:00Mas ! Aku Mencintaimu...<div style="text-align: justify;"><b>Hudzaifah.org</b> - <i>"Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."</i> (QS. At-Tahrim: 6)<br /><br />Kuterima lagi hadiah doa dari masku. Walau Mas �Alwan memiliki kekurangan, tetapi kelebihannya jauh lebih banyak. Dia setia, ganteng, cerdas, bertanggung jawab, berjiwa pemimpin, jago diplomasi, berkarisma, dll. Hmm�, engkau memang tepat menjadi calonku�.<br /><br />Telah kucalonkan engkau dalam daftar Da�wah Fardiyahku, agar menjadi seorang ikhwan. Ikhwan yang akan turut mengokohkan barisan da�wah. Akhlak dasarmu sudah baik, tinggal sedikit dipoles, maka Insya Allah engkau akan menjadi jauh lebih ganteng dengan keikhwananmu ^ _ ^. Amiin. Bangsa Arab dulu juga seperti itu kan Mas, mereka memiliki akhlak-akhlak dasar yang baik; pemurah, menghormati tamu, setia pada kabilahnya, pemberani, dan lain-lain. Hanya saja akhlak-akhlak baik Bangsa Arab itu belum sempurna karena dilandasi keinginan untuk dipuji dan fanatisme buta. Hingga diutuslah sang nabi akhir zaman yang bersabda, <i>�Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.�</i><br /><br />Aku siapkan agenda Da�wah Fardiyahku untukmu ya. Dari evaluasiku, di tahun pertama, engkau sedikit sulit dijinakkan (lho�.memangnya?). Afwan ya Mas, kalau istilahnya begitu. Karena kalau kata orang-orang, aku dan engkau bagaikan manusia dari Timur dan dari Barat. Hal itu sering membuat kita ada dalam kondisi perang dingin dan engkau sering membuatku berlinang air mata. Perbedaan Timur dan Barat itu sungguh kentara, tak ubahnya dua peradaban yang saling berbenturan. Karena engkau suka berkiblat ke millah (cara hidup) dan fikrah (pemikiran) Barat. Afwan, ketika itu pemahaman fiqh da�wahku masih kurang baik, sehingga aku langsung main marah saja kalau melihatmu melakukan hal-hal yang dilarang agama. Dan� nah ya�, aku juga masih ingat ketika aku pertama kali hijrah dan berjilbab, engkau menyeletuk, �Waduh�, kayak orang padang pasir!� Aku sedih mendengarnya, tapi biarlah� ini namanya generasi ghuraba, Mas��<br /><br />Tahun kedua, da�wahku mulai smooth ya. Maklum, adikmu ini baru paham fiqh da�wah. Ternyata �., dalam berda�wah kita harus lemah lembut dalam menyuruh dan melarang, mengerti apa yang harus dilakukan dan adil terhadap apa yang harus dilarang. Berda�wah itu harus bertahap, karena pemahaman setiap manusia berbeda-beda. Dan tentu saja, tugas kita hanyalah menyampaikan sedangkan hidayah itu dari Allah saja. <i>�Kamu tidak akan bisa memberi hidayah pada yang engkau cintai�</i>. Tambahan lagi, kesabaran adalah yang utama. Karena tanpanya, kita akan isti�jal (terburu-buru) inginkan hasil. Padahal Allah tidak menilai hasil, Dia menilai proses. Maafkan aku, Mas� Aku akan mulai mencoba memahami dirimu.<br /><br />Aku termangu menerima hadiah doamu�. Mmm� engkau masih ingat, tidak ya� Di minggu pagi yang cerah, aku duduk di ruang tengah dan engkau keluar dari kamarmu, hendak mencuci mobil di garasi. Tapi aku tertegun melihat penampilanmu. Wah�, ndak salah nih, gumamku kala itu�. �Mas, kok pake celana pendek, kan ndak boleh tuh�..� Engkau senyum-senyum mendengar teguranku� �Hehehe�, iya nih kalau ketahuan sama anak rohis di kampusku, pasti aku juga dimarahi�hehehe,� jawabmu sambil tetap ngeloyor pergi ke garasi. Aku jadi mengernyitkan kening�. Hmm� sudah tahu tidak boleh, tapi kok masih dipakai juga yah (?).<br /><br />Di lain waktu, engkau kerap menggodaku, �Enaak nih Pizza Hut!�, ujarmu sambil mengunyah sepotong pizza yang engkau tahu aku tidak menyukainya. �Itu kan ndak boleh, diboikot�, makan darah orang Palestina lho, Mas�.�, jawabku. �Hehehe, biarin�nyam..nyam�, katamu. Tapi di lain waktu, ketika aku membaca Al Qur�an di keremangan malam, tiba-tiba engkau bangun dari tidurmu dan berbaik hati menyalakan lampu, menerangiku membaca kitab-Nya. Syukron�<br /><br />Tahun ketiga, sudah ada dialog antara kita. Dan kalau di evaluasi, engkau hari ini sudah jauh berbeda dari 2 tahun yang lalu. Paling tidak, engkau tak lagi anti Islam, sudah rajin shalat, mulai menyadari perjuangan muslim di Palestina dan bertanya tentang Islam. �Dek�, kenapa sih anak rohis di kampus itu, kecil-kecil dah pada nikah?� Aku sedikit terkejut dengan pertanyaanmu. ��Oh..itu karena begini dan begitu�..�, jawabku. Di lain waktu engkau bertanya lagi, �Dek, memangnya manfaat Shalat Dhuha itu, apa?� �Oh�. Itu karena begini dan begitu�.. ,� jawabku. Engkau mengangguk-anggukkan kepala. Dan yang membuatku bersyukur adalah ketika engkau mendukung dan memberikan suaramu untuk partai Islam yang bersih dan peduli. Aku hanya bisa mengucap hamdalah. (Duh� ya Rabbi.., sakit���.).<br /><br />Dan, aku masih termangu menerima hadiah doa darimu�. Sifatmu yang keras, membuat aku teringat akan Umar bin Khattab yang juga keras, tapi lembut hatinya. Mungkin seperti itulah aku mengibaratkanmu. Keras di luarnya saja, tapi sesungguhnya hatimu lembut. Buktinya, engkau menangis kala mbak kita dalam proses ijab qabul. Dan bukankah dulu Umar benci Islam? Apatah lagi engkau tidak separah jahiliyahnya Umar, yang sampai mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Sungguh� aku yakin, engkau bisa berubah, sebagaimana keyakinanku dalam mentarbiyah para mad�u di kampus, karena memang fitrah manusia adalah Islam.<br /><br />Hm�, dalam 3 tahun Da�wah Fardiyah, engkau belum juga menjadi ikhwan, belum �mengaji�, belum berda�wah. Tetapi aku tak akan putus asa, karena engkau masku�., karena aku sangat merindukan mempunyai mas yang ikhwan�. Aku ingin kita sekeluarga selamat di dunia dan di akhirat. Sekali lagi, aku tetap yakin, manusia bisa berubah�<br /><br />Hadiah doa darimu membuat aku ingin terus berfikir� Mas�, sekarang engkau sedang apa ya? Jangan sering pulang malam�, nanti sakit. Apakah sekarang engkau sudah menikah? Sudah punya anak? Apakah.. dan apak..a�. Aduuh� sakit�. Ya Rabbi�., sungguh dahsyat sakitnya kematian kala kecelakaan itu�. Kala ruh berpisah dengan jasad. Dan Illahi Rabbi.., walau sang maut menjemput bertahun-tahun lalu, tetapi sakitnya hingga detik ini masih kurasa�. Ya Allah, aku masih dapat mengingat saat ibu, ayah, mbak dan masku menangisi aku yang terbujur kaku�, mengantarku ke tempat peristirahatan� Ya Rabbi�, kala itu langit mendung, bunga-bunga ditaburkan di atas tempatku� Sungguh kehidupan di dunia seperti sehari saja�., atau kurang dari itu dan sungguh tak ada apa-apanya dibandingkan akhirat yang kekal. Akankah aku dapat bertemu lagi dengan keluargaku�<br /><br />(Merenung) Ya Rabbi�, hingga kini, aku tidak tahu apakah masku sudah menjadi seorang ikhwan�, yang menjadi bagian dari barisan da�wah untuk meninggikan kalimah-Mu. Apakah kami dapat bertemu dalam naungan-Mu� Kurindu persaudaraan abadi, yang bukan hanya karena ikatan darah, tetapi akidah. Ibu.., ayah�., mbak�, mas�. Aku mencintai kalian semua. Dan untukmu Mas �Alwan, �Mas, aku mencintaimu karena Allah�� Semoga kita dipertemukan kembali dalam naungan-Nya. Jazakallah Mas, atas hadiah-hadiah doamu selama ini, doa yang besarnya sebesar gunung, yang engkau kirimkan untukku setiap hari, di setiap shalat malammu�. Aku mendengarnya� []</div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-91424205804156522962007-09-12T20:26:00.004-07:002007-09-12T20:56:05.929-07:00Aku ingin Mencintaimu Dengan Sederhana<div style="text-align: justify;">"De'... de'... Selamat Ulang Tahun..." bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku. "Hmm..." aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.<br /><br />Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma memandangku.<br /><br />Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me... Happy Birthday to Me.... Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resort di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.<br /><br />"De... Ade kenapa?" tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.<br /><br />Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap di mataku.. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.<br /><br />"Selamat ulang tahun ya De'..." bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini... tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.<br />Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur.. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.<br /><br />"Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng... Nggak bagus ya de?" ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.<br /><br />Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.<br /><br />"Jelek ya de'? Maaf ya de'... aku nggak bisa ngasih apa-apa.... Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de'..." desahnya.<br /><br />Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi... mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku pertanyakan.<br /><br />"A' lihat aku...," pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu. "Tahu nggak... kamu ngasih aku banyaaaak banget," bisikku di antara isakan. "Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya.. Kamu ngasih aku dede'," senyumku sambil mengelus perutku. "Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama...." bisikku dalam cekat.<br /><br />Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. "Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang," isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di pelukanku.<br /><br />Rabbana... mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas . Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... .<br /><br />Oleh; Ust Anismata</div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-27776639410510324682007-09-12T20:26:00.003-07:002007-09-12T20:56:05.929-07:00Kesabaranmu Ibu<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">Oleh: Azzahra<br /></div><br /><b>Hudzaifah.org - </b>Awalnya aku malu mempunyai ibu sepertinya. Warna kulit yang gelap dan wajah yang pas-pasan. Ibu sangat berbeda dengan ayah, kulit yang putih, tubuh yang gagah dan wajah yang lumayan tampan menurutku. Aku tak mengerti kenapa ayah memilih ibu sebagai pendamping hidupnya. Aku tidak menyalahi takdir-Nya, cuman aku heran dengan semua ini. Ayahku berasal dari kota sedangkan ibu sebagai anak desa yang tidak mempunyai apa-apa. Pendidikannya pun hanya tamatan Sekolah Dasar saja. Setiap aku bertanya kepada ayah kenapa dulu memilih ibu, beliau berkata, �Itu sudah takdir, mungkin ini yang terbaik untuk kita semua.�<br /><br />Ayah memiliki usaha yang lumayan sukses di kota, setiap seminggu sekali ayah pulang untuk menjenguk kami di desa, bahkan selalu membelikan apa saja yang kami minta, sehingga kami makin bangga pada beliau. Aku anak ke empat dari lima bersaudara. Kehidupan keluargaku tergolong paling kaya di desa. Ketika masih banyak rumah yang terbuat dari bilik, maka rumah kami sudah terbuat dari tembok. Bahkan pertama kali ada televisi, keluarga kamilah pelopor adanya televisi di desa. Aku masih ingat pertama kali ada di rumahku, semua orang berduyun-duyun kerumah untuk menonton televisi bersama-sama. Sampai-sampai ayah menyediakan tempat untuk warga yang ingin nonton televisi.<br /><br />Kemewahan materi tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Itulah yang akhirnya aku rasakan. Ketika itu aku masih SMA, disinilah ketabahan ibu semakin terlihat di mataku. Bagaimana tidak, ayah menikah lagi dengan seorang gadis yang berasal dari kota. �Dia sangat cantik dibandingkan denganmu Sum, dia namanya Ayuni�, kata salah satu pamanku yang ikut bekerja dengan ayah kepada ibu ketika bertanya tentang istri baru ayah. Secara tidak sengaja aku mendengar perbincangan mereka. Apa yang ibu katakan sangat mengagumkan, �Dari dulu aku sudah siap jika ini terjadi mas, mungkin ini cobaan supaya aku semakin tabah.� Tapi waktu itu aku masih tidak terlalu mengerti kenapa ibu berkata seperti itu. Banyak orang khususnya perempuan di desaku yang tidak ingin dimadu, bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka lebih baik bercerai dari pada harus dimadu walaupun sudah mempunyai anak.<br /><br />Keluargaku menjadi pembicaraan di desa khususnya di kalangan ibu-ibu. �Pantas saja Sumiati dimadu, mungkin saja wanita itu lebih cantik dibandingkan dia. Kalau aku seperti itu, aku langsung minta cerai demi harga diri.� Hatiku perih mendengar perkataan seperti itu. Mereka tidak tahu betapa cantik dan baiknya hati ibu Ingin rasanya aku menampar orang yang berkata seperti itu, namun aku masih punya perasaan. Aku langsung berlari kerumah mencari penyejuk hati dan aku melihat ibu sedang bersujud diatas sajadahnya...<br /><br />***<br /><br />Ayah mulai jarang pulang, yang tadinya seminggu sekali sekarang sebulan bahkan pernah dua bulan tidak pulang. Tetapi ayah tetap mengirimkan uang untuk kami semua, bahkan jumlahnya lebih dari cukup. Kebanggaan pada ayah mulai berkurang tapi aku masih tetap menghormatinya. Kekagumanku pada ibu semakin bertambah, ibu selalu terlihat tabah dalam menghadapi cobaan. Itu terlihat di wajahnya yang teduh. �Kini aku bangga padamu Bu, aku juga tidak malu lagi mempunyai ibu sepertimu. Aku ingin perlihatkan pada dunia bahwa engkau adalah ibuku agar semua tahu betapa indahnya akhlakmu,� batinku berkata. Setiap kali adikku menanyakan tentang ayah, ibu pun menceritakan yang sebenarnya tanpa menjelekan sedikit pun tentang ayah. Satu lagi poin untuk mengagumimu yaitu kejujuran.<br /><br />Bulan berganti tahun, kami sudah mulai besar, bahkan kakakku sudah menikah semua, tinggal aku dan adik yang tinggal bersama ibu. Kerutan di wajah ibu pun sudah mulai terlihat. Kini aku sudah memasuki bangku kuliah dan berada di semester dua. Aku di terima di perguruan tinggi negeri dan ambil jurusan manajemen sesuai dengan cita-citaku. Aku tinggal di kota, sebulan sekali pulang ke desa untuk melepas rinduku pada keluarga. Ibu membuka warung di depan rumah untuk menghidupi kami karena hampir satu tahun ayah tidak mengirimkan uang. Untuk membantu ibu, aku berjualan pakaian yang di tawarkan pada teman-teman disamping kesibukan kuliah. Hasilnya pun lumayan untuk meringankan beban ibu.<br /><br />Ayah terserang stroke dan harus di rawat dirumah sakit sedangkan usahanya kini sudah bangkrut. Istri mudanya kabur entah kemana bersama anak hasil perkawinannya dengan ayah. Kini ibu yang selalu berada di samping ayah. Dengan kesabarannya, ibu merawat ayah dengan ikhlas. ketika ayah membutuhkan sesuatu, ibu selalu siap siaga untuk membantunya. Tanpa berbicara pun, sudah terlihat ada rasa penyesalan di wajah ayah. Kini ku tahu betapa mulianya hatimu ibu. Apakah aku sanggup seperti itu?<br /><br />***<br /><br />Kini aku sudah mempunyai dua anak, Muhammad Fahri dan Zakiya Azzahra namanya. Aku menikah dengan seorang lelaki yang amat sholeh menurutku. Dia yang selalu membimbingku dalam segala hal terutama dalam masalah agama. Dia merupakan figur seorang ayah yang baik untuk anak-anak. Jika kesabaranku sedang di coba dengan kenakalan anak-anak, maka dia selalu mengingatkan untuk selalu menahan amarah. Oh ya.. yang sangat mengagumkan, kini aku sudah memakai penutup aurat, ini juga atas hidayahNya yang sangat tak terhingga selain bimbingan suami.<br /><br />Aku teringat ketika meminta izin untuk menikah pada orang tua terutama pada ibu. Bukan berapa gaji calon suamiku yang ditanyakan, tetapi yang pertama kali di tanya oleh ibu adalah apakah solatnya sudah benar atau belum. Awalnya aku tak mengerti tentang itu. Ibu menjelaskan bahwa orang yang tidak pernah meninggalkan solat dalam keadaan apapun itulah yang seharusnya aku cari Insya Allah akhlaknya juga akan baik karena dia merasa Allah selalu mengawasinya. Pendapat yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Jawaban yang sangat luar biasa yang terucap dari seorang yang hanya tamatan sekolah dasar.<br /><br />Kenangan-kenangan manis bersamamu akan selalu aku ingat bu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu dan meluaskan kuburanmu begitupun dengan ayah. Ibu meninggal seminggu setelah ayah tiada, ketika itu ibu berada di sampingku. Sebelum meninggal ada pesan yang masih teringat di benakku. �Jaga adikmu baik-baik, dan yang paling penting jangan pernah kau tinggalkan Allah karena Allah akan meninggalkanmu.� Sebelum meneruskan kata-katanya, ibu mengucapkan dua kalimah sahadat dan orang yang sangat aku hormati pun menghembuskan napas terakhirnya�<br /><br />Ibu telah tiada tetapi jasa-jasanya akan selalu teringat dalam kalbuku. Engkau mengajarkan aku tentang sebuah kesabaran. Engkau adalah sosok ibu yang terbaik di mataku meski engkau bukan ibu kandungku� []</div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-68680013448799534972007-09-12T20:26:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.929-07:00Kisah Cinta Dari Mesjid Kampus<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">Oleh : Ayat Al Akrash (0719)<br /></div><br /><b>Hudzaifah.org</b> - <b>Tahun 2040</b><br /><br />Seorang kakek-kakek duduk di sebuah sekret rohis kampus. Sekret itu berukuran 3x3 meter. Kecil, tapi sangat nyaman. Lantainya dialasi karpet coklat. Ada lemari file, kaca besar di sampingnya. Buku-buku Islam tersusun rapi di hadapan kakek itu duduk. Jendela terbuka lebar. Terdengar kicauan dari burung yang ada di dalam sangkar.<br /><br />Kerut-kerut di wajahnya sangat kentara. Rambutnya sudah memutih. Ia termenung. Kepalanya tertunduk. Ia tengah memandangi sebuah album foto. Tak jauh darinya, ada setumpuk album foto lainnya. Lama sekali ia memandangi album foto itu.<br /><br />Seorang mahasiswa berbaju koko, masuk ke sekret dan sebelum duduk di sebelahnya, ia mengucap salam, sambil mengulurkan tangannya, mencium tangan kakek itu dan mencium pipi kiri dan kanan. “Wa’alaikumsalam Wr Wb,” jawab sang kakek. Untuk beberapa saat mereka saling terdiam. Kakek itu masih asyik menatapi foto-foto tersebut. Membuka-buka halamannya. “Saya suka melihat foto-foto ini, dan saya tak kan pernah bosan melihatnya,” ujar kakek itu memecah kesunyian. Matanya terlihat sayu dan memendam kerinduan yang mendalam. Mahasiswa itu terlihat tak mengerti, tapi kemudian ia berujar, “Ya, Pak saya pernah melihat foto-foto itu, sepertinya orang-orang di dalam foto itu sangat kompak ya.” Mahasiswa itu mendekat dan ikut melihat foto-foto itu. “Lihatlah ikhwan-ikhwan ini, mereka semua sangat kompak,” kata kakek itu sambil menunjuk sebuah foto dan tiba-tiba wajah kakek itu terlihat sumringah. “Tahukah kamu,… untuk mewujudkan ikhwan-ikhwan yang kompak seperti ini, ada pengorbanan dari para senior-senior kami dahulu dan juga dari teman-teman kami sendiri,” kakek itu menjelaskan. Mahasiswa itu kemudian bertanya “Bapak sendiri yang mana?” “Saya…, yang ini… Bersama teman-teman saya dulu…,” ujar kakek itu sambil menunjuk ke sebuah foto ikhwan yang memakai ikat kepala putih dan slayer biru saat mukhayyam di gunung.<br /><br />Tiba-tiba pintu sekret terbuka dan ada enam orang ikhwan berbaju koko, memasuki sekret sambil tertawa riang dan bercerita panjang lebar. Begitu melihat kakek itu, mereka segera mengucap salam, dan bersalaman.<br />“Acaranya baru dimulai 10 menit lagi, Pak,” ujar seorang ikhwan berbaju biru.<br />“Eh, teman-teman, ini tadi beliau sedang cerita… Ternyata ada foto beliau ketika masih seusia kita, lho” ujar mahasiswa tadi.<br />“Wah, yang bener yah…,” seru seorang dari mereka. Mereka berebutan untuk melihat album foto dan mengelilingi kakek itu. Terlihatlah foto-foto para aktivis kampus angkatan 1996. Ikhwan dan akhwatnya terlihat sangat kompak. Puluhan akhwat berjilbab rapi berdiri di belakang para ikhwan yang duduk berjongkok sambil memegang spanduk acara. Dan banyak lagi foto-foto yang serupa. Meski sudah 46 tahun yang lalu, namun foto-foto itu masih terjaga baik. Ya.., karena kakek itu menyimpannya…<br /><br />Seorang mahasiswa memasuk sekret dan berkata, “Pak, acaranya sudah dimulai.” Mereka semua lalu keluar bersama-sama menuju tempat acara. Kakek itu berjalan menyusuri sepanjang koridor kampus menuju ruangan seminar. Dengan berjalan lambat-lambat, didampingi para mahasiswa. Sepanjang jalan ia disapa oleh setiap mahasiswa yang berpapasan dengannya. Meski kampus swasta, tetapi terlihat lebih mirip pesantren karena hampir semua mahasiswa dan mahasiswinya berjilbab dan mahasiswanya berbaju koko. Kakek itu hadir sebagai pembicara di sebuah seminar bertema, “Menyikapi Kemenangan Da’wah” yang disambut takbir ribuan peserta ikhwan dan akhwat di kampus itu. Kampus yang telah futuh.<br /><br />Acara dibuka dengan tilawah dan diawali dengan tampilnya tim nasyid. Ketika tiba saatnya pada materi inti, sang moderator membacakan biodata pembicara. Setelah dipersilahkan untuk menyampaikan materi, kakek itu membukanya dengan basmallah. Ia sempat terdiam sesaat. Dipandanginya aula besar yang berisi ribuan mahasiswa dan mahasiswi. Matanya berkaca-kaca. Ia terkenang akan kenangan masa lalu. Pandangannya nanar.<br /><br /><b>(Ruangan itu berubah ke tahun 1996)</b><br /><br />Di tempat yang sama. Ruangan itu lenggang.<br />Terdengar suara, “Nanti kita mengadakan seminarnya di ruang ini saja, karena sound systemnya di sini bagus,” ujar Bram kepada teman-temannya. Beberapa teman yang berada di dekatnya mengangguk tanda setuju.<br />“Tapi, apa tidak terlalu besar ya, Bram … karena pesertanya dikhawatirkan sedikit,” ujar seorang mahasiswi bernama Laras, yang rambutnya diikat ekor kuda.<br />“Saya pikir, tidak Laras.. Tema seminar kali ini cukup menarik, insya Allah anak-anak mahasiswa baru banyak yang datang, kok.”<br /><br />Bram bersama tiga temannya berjalan bersama menuju sekret. Di sepanjang jalan menuju kampus, para mahasiswa laki-laki dan perempuan terlihat bercampur baur. Yang mahasiswinya merokok dan mahasiswanya memakai anting. Bahkan ada yang tak malu-malu berpelukan di koridor kampus.<br /><br />Bram, mahasiswa semester tiga, fakultas ekonomi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Rambutnya lurus dibelah tengah, kulitnya sawo matang, postur tubuhnya sedang, badannya tegap, dan jago bela diri Tae Kwon Do. Ia suka memakai celana bahan dan kemeja lengan panjang. Sehingga tampak sekali keikhwanannya. Suaranya yang lembut namun tegas, membuatnya disegani, sehingga ia didaulat menjadi ketua rohis untuk masa periode itu.<br /><br /><b>Krisis Regenerasi dan Optimisme Bram</b><br />Suatu hari, Bang Didit dan Bram membuat janji untuk bertemu di sekret pada pukul 10.00. Di tengah kesunyian sekret, Didit yang notabene adalah DP (Dewan Pembina) senior rohis angkatan ’94, berkata kepada Bram. “Dek, kondisi angkatan ‘96 seperti ini. Abang sedikit pesimis.” Bram tertunduk. Ia baru saja diangkat menjadi ketua dari organisasi rohis yang kualitas anggotanya, sangat jauh dari harapan, karena mereka masih belum memiliki sikap teguh pendirian dan masih sedikit jiwa berkorbannya untuk dakwah. Pun masih gemar ber-ikhktilat. Namun jauh di lubuk hatinya, Bram tetap optimis, bahwa bila Allah menghendaki, manusia pasti bisa berubah, pasti bisa….<br /><br />“Di akhwat juga tidak ada, dek….” tambah Bang Didit, ingin menekankan bahwa hanya Bram yang bisa menjadi motor penggerak dalam organisasi rohis itu. Bram berfikir keras. Amanah berat di pundaknya. Iya…, memang kondisi di kampus ini sangatlah berbeda dibanding SMU-nya yang ada di daerah. Dulu di SMU, aktivis bertumpuk dan suasananya sudah sangat islami. Tapi kini, tugas yang akan diembannya sangat berat, yang sampai-sampai para DP pun, sudah di ambang pesimisme. Di lubuk hatinya, Bram memegang teguh janji Allah, <i>intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum.</i> Ayat itu selalu menyemangati dirinya untuk tetap optimis berada di jalan ini. Karena hidayah Allah, siapa yang tahu? Teman-teman pasti bisa berubah….<br /><br /><b>Andre, Aktivis Da’wah Sekolah (ADS)</b><br />Saat tengah duduk-duduk di depan sekret rohis, Bram melihat seorang mahasiswa yang tampaknya seperti ikhwan, menuju tempat wudhu. Dan instingnya seakan memperkuat hal itu. “Assalaamu’alaikum,” kata Bram.<br />“Wa’alaikumsalam wr wb,” jawab pemuda berjanggut tipis dan tampan itu.<br />“Em…, antum Ikhwan, ya?” tembak Bram to the point.<br />“Saya…… JT,” jawabnya mantap.<br />“O…. Maaf ya, Assalaaamu’alaikum” ujar Bram malu-malu dan segera ngeloyor pergi kembali ke sekret. Saat Bram berbalik beberapa langkah, pemuda itu memanggilnya. “Eh.., akhi… tunggu, maksud saya … JT itu Jamaah Tarbiyah,” ujarnya sambil tersenyum ramah.<br />“Ooo…. Alhamdulillah….,” senyum Bram pun mengembang.<br /><br />Mahasiswa itu bernama Andre, mahasiswa tingkat II yang ternyata ADS juga di SMU-nya. Bram sangat senang mendengar itu. Bram mengajak Andre untuk berkomitmen di jalan dakwah. Bram menjelaskan kondisi rohis kampus yang memprihatinkan. Andre mahasiswa yang cerdas, perawakannya sedang, rambutnya ikal dan kulitnya putih dengan pipi yang kemerah-merahan. Andre mengangguk, “Maka marilah kita berjanji setia untuk berjuang di jalan-Nya,” ujar Andre menyambut ajakan Bram. Bram tersenyum. Dan mereka berjanji setia untuk senantiasa di jalan Allah. Sejak itu mereka senantiasa selalu bersama dan ikatan cinta diantara mereka sangatlah kuat.<br /><br /><b>Zaid, Sang Jurnalis</b><br />Usai shalat Zuhur, sebelum jamaah bubar, Bram segera maju ke depan, mengambil mic dan memberi kultum di masjid kampus. Ia memulainya dengan basmalah dan membacakan firman Allah SWT QS. Saba’: 46-50. Dengan semangat yang membara, kata-kata yang lugas dan tegas, lidah yang lancar, ia berkata, “Kepada para pemuda yang merindukan lahirnya kejayaan, kepada umat yang tengah kebingungan di persimpangan jalan. Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya, yang telah menggoreskan catatan membanggakan di lembar sejarah umat manusia. Kepada setiap muslim yang yakin akan masa depan dirinya sebagai pemimpin dunia dan peraih kebahagiaan di kampung akhirat… “ Para jamaah yang semula hendak bubar, demi mendengar seruan Bram yang menggetarkan jiwa itu, spontan segera menoleh ke arah Bram dan mereka kembali duduk di tempatnya dikarenakan gaya bicara Bram yang sangat menarik.<br /><br />Bram melanjutkan, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga-rumah tangga kaum muslimin menuju terbangunnya rumah tangga yang islami. Setelah itu, kita akan menempa bangsa kita menjadi bangsa yang muslim, yang tertegak di dalamnya kehidupan masyarakat yang islami. Kita akan meniti langkah-langkah yang sudah pasti, dari awal hingga akhir perjalanan. Kita akan mencapai sasaran yang digariskan Allah bagi kita, bukan yang kita paksakan untuk diri kita. Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,” seru Bram. “ Kita pun akan mengetahui bahwa sesungguhnya memisahkan agama dari politik itu bukan dari ajaran Islam. Pemisahan itu tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang jujur dalam beragama dan paham akan ruh ajarannya. Sesungguhnya agama ini adalah agama, ibadah, dan tanah air, …..”<br /><br />Andre memperhatikan para jamaah. Dan ada beberapa jamaah yang terlihat sangat antusias dengan seruan Bram. Andre mendekati seorang pemuda. Setelah mengucapkan salam, mereka berkenalan. “Saya Andre.” Pemuda itu membalas senyum Andre dan berkata,<br />“Saya Zaid.”<br />“Zaid, nama yang bagus sekali seperti sahabat yang menjadi sekretaris nabi.<br />“Iya, engkau benar,” jawab Zaid.<br />“Bagaimana menurutmu tentang orang di depan itu?” tanya Andre.<br />“Em.., bagus sekali dan saya tertarik untuk menuliskannya di koran saya,” jawab Zaid.<br />Andre mengerutkan keningnya.<br />“Anda jurnalis?”<br />“Ya, saya jurnalis di koran kampus.”<br />Sesaat Andre baru sadar, bahwa Zaid mengenggam pena dan membawa sebuah note book kecil di tangannya. Setelah mengobrol panjang lebar, Bram berkata,<br />“Emm…Kalau begitu bagaimana kalau engkau mengaji bersama-samaku.”<br />“Mengaji?”<br />“Ya, kita akan mengaji dan mengkaji lebih dalam lagi apa yang dikatakan mahasiswa itu.”<br />“Ya… Tentu.., “ jawab Zaid setelah berpikir beberapa saat.<br /><br /><b>Mahasiswa Baru</b><br />Ospek untuk menyambut mahasiswa baru angkatan ’97 digelar di kampus tersebut. Pakaian mereka putih dan hitam. Dengan rambut diikat pita tiga, ratusan mahasiswa baru telah berkumpul di lapangan. Suasana sangat ramai. Para aktivis dari BEM dan Himpunan berjaket almamater telah bersiap-siap. Dan para aktivis rohis tengah mempersiapkan tempat shalat untuk shalat Zuhur.<br /><br />Di bawah panas terik matahari, ratusan Mahasiswa Baru duduk di lapangan dan mendengarkan instruksi dari para senior, tak jarang kata-kata kotor keluar dari mulut mereka. Bram jengah mendengarnya. Sudah mahasiswa tapi intelektualitsnya justru minus, pikirnya.<br /><br />Semua mahasiswa baru, dikumpulkan di lapangan kampus. “Siapa yang tidak bawa atribut lengkap, cepat maju ke depan dalam hitungan tiga! Kalau tidak, terima sendiri akibatnya!” seru sang senior berjaket almamater biru. Ia mulai menghitung. Beberapa junior maju ke depan. Bram berjaket almamater dan memandangi para mahasiswa baru untuk berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru, berjilbab putih. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu…. Itu.. seperti.. seperti…. Sita! Sita sudah berjilbab…? Bram terdiam dan pikirannya melayang dengan kejadian setahun lalu.<br /><br />Saat itu.. ketika ia masih kelas 3 SMU….<br /><br />“Saya tidak bisa meneruskan hubungan kita, dek… Kita akhiri sampai di sini saja…..,” ujar Bram pada seorang adik kelas yang tak lain adalah kekasihnya, “Tapi.., kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja, Bang…” jawab Sita dengan memandang lekat-lekat wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu. Air mata Sita sudah tak terbendung lagi. “Maafkan saya, dek… tetapi saya bukanlah Bram yang dulu lagi. Saya sudah memikirkan ini masak-masak, saya ingin berubah…”<br /><br />Sita dan Bram duduk berdua di pinggir lapangan basket SMU. Mereka saling terdiam beberapa saat dan memandangi pintu gerbang SMU mereka yang sudah mulai sepi. Langit berwarna merah. Rambut lurus Bram tertiup angin yang sepoi-sepoi. Azan maghrib sebentar lagi berkumandang. “Apa yang membuat abang berubah? Padahal dua hari lalu, abang katakan bahwa kita akan selalu bersama, apakah engkau sudah melupakan kata-kata abang sendiri…,” Suara Sita terdengar parau.<br /><br />Sesungguhnya jauh di lubuk hati Bram, sangatlah berat melepas Sita. Tapi.. ., ada yang jauh lebih ia cintai dari wanita yang berambut sebahu itu… Mengatakan perpisahan inipun sangat sulit baginya. Tapi.. tapi.. ia harus bisa karena ada yang lebih ia harapkan dari Sita, yaitu… ampunan dan rahmat Allah. Ia tak dapat memungkiri bahwa hatinya gelisah luar biasa bila berdekatan dengan Sita, seakan dosa yang terus menggunung tinggi.<br /><br />Azan Maghrib berkumandang. Bram tersigap, ia bangkit dari duduknya dan berkata, “Sudah azan, saya mau shalat. Shalat yuk.., dek…,” ajak Bram. Sita memandang Bram dengan tatapan penuh keheranan…dan bertanya-tanya dalam hati.. sejak kapan Bram shalat? Bukankah ia sendiri yang sering mengatakan tak suka dengan anak-anak rohis…… “Abang saja yang shalat, Sita nanti aja,” jawab Sita enggan. Bram dan Sita saling berpandangan, lama sekali. Seakan banyak isi hati yang terucapkan lewat tatapan mata mereka. Hati Bram bergemuruh. Qomat berkumandang dari masjid sekolah. Bram menundukkan pandangannya, dan berkata, “Saya shalat…” Ia membawa tas ranselnya dan menuju masjid sekolahnya. Sita tertunduk dan air mata mengalir di pipinya yang kemerah-merahan.<br /><br />Usai shalat Maghrib, Bram termenung sesaat… Hatinya sedih luar biasa, ia tahu, pasti Sita saat ini sedang menangis. Apakah ia harus menemui Sita lagi dan menenangkannya, seperti yang selama ini ia lakukan. ‘”Aku di sini untukmu.” Kata –kata itulah yang sering ia ucapkan bila Sita bersedih. Tetapi kini.. apakah ia harus menemuinya dan mengatakannya lagi.. Ah.., tidak.. Aku sudah bertekad, aku harus berubah! Harus!. Ya Allah.., istiqomahkanlah aku di jalan-Mu. Bram memanjatkan doa dengan hati bersungguh-sungguh. Tak terasa ia menitikan air mata. Ikatan yang sudah terjalin sejak mereka SMP, harus pupus di tengah jalan. Biarlah… biarlah .. kita menangis saat ini Sita, daripada kita menangis di akhirat nanti. Bram lebih memilih jalan untuk menjauhi apa yang namanya pacaran. Dan ia berkomitmen untuk selalu berada di jalan para nabi ini….<br /><br />Bram menyenandungkan syair nasyid Izzatul Islam<br /><i>Selamat tinggal wahai dunia duka dan</i><br /><i> selamat datang wahai dunia iman</i><br /><i>Burung yang patah sayapnya tak akan mati karena lukanya</i><br /><i>Wahai hatiku yang sedih perangainya</i><br /><i>Sungguh kesedihan itu teah meninggalkan diriku</i><br /><i>Kan terbang aku ke dunia cinta</i><br /><i>Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman</i><br /><i>Gelarku adalah muslim dan itu cukup bagiku</i><br /><i>Dibawah naungan agama aku hidup</i><br /><i>Untuk menebus keislamanku yang nyaris sirna</i><br /><br />**<br /><br />“Assalaamu’alaikum, Bram… Nanti tempat wudhunya gimana?” tanya teman rohisnya, Andre. Kehadiran Andre membuyarkan lamunan Bram, “Oh.. eh.. Wa’alaikumsalam, itu sudah disiapkan, jadi nanti yang mahasiswanya wudhu di dekat gedung K,” jawab Bram mantap. Andre mengangguk dan meninggalkan Bram usai mendapat jawaban itu. Bram beristighfar dan segera kembali mempersiapkan atribut shalat, seperti spanduknya dan lain-lain. Bram bergumam, <i>intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum</i><br /><br />Bram duduk di masjid usai shalat Zuhur. Ia dan teman-temannya bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Ia memandangi orang-orang yang shalat. Dan dari kejauhan ia melihat seorang mahasiswa baru yang tengah duduk. Bram menghampirinya dan mengucapkan salam. Mahasiswa baru berambut plontos itu menjawab salam sambil tersenyum ramah. “Sudah shalat?” tanya Bram padanya. “Sudah, Bang… lagi nunggu temen, dia belum selesai,” jawabnya sedikit malu-malu. Bram lalu berkenalan lebih jauh dengan mahasiswa yang ternyata benama Andi itu. Bram berkata, “Nanti kapan-kapan kamu main ke sekret rohis aja.” “Ke sekret? Ngapain Bang,” tanya Andi heran. “Ya maen aja, belum penah ke sekret rohis, kan?” Bram kembali mengajak. Dan kali ini Andi mengiyakan dan berjanji akan mengunjungi sekret rohis. Andi berpamitan setelah temannya usai shalat. Mereka berlari menuju kelas.<br /><br /><b>Bram Bersama Teman-Teman</b><br />Selama kepengurusannya, Bram melakukan gebrakan-gebrakan da’wah. Dan ia memprioritaskan da’wah di atas segalanya. Totalitas Perjuangan. Ia persembahkan untuk meninggikan kalimatullah. Bram, Andre dan Zaid bekerjasama untuk berda’wah kepada para mahasiswa baru, pun kepada teman-teman mereka sendiri.<br /><br />Bram mencarikan ustadz agar mereka dapat mengkaji Islam bersama. Ini akan menjadi menthoring pertama dalam organisasi ini. Sejak itu, mereka bertiga mengadakan pertemuan mingguan bersama seorang ustadz.<br /><br />Saat kuliah, Bram, Andre dan Zaid ada di kelas yang bersebelahan. Mereka dapat dengan mudah berkoordinasi bila ada teman-teman Da’wah Fardiyah. Semuanya mereka rencanakan dengan baik. Hingga akhirnya terekrutlah beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi, untuk semakin mengokohkan barisan da’wah.<br /><br /><b>Perpustakaan Masjid</b><br />Bram memasuki masjid dan melihat banyak sekali buku-buku Islam yang tak terawat. “Buku-buku adalah sumber ilmu,” ujar Bram ketika mengajak Andre untuk mendata buku-buku tersebut. Jumlah buku Islam itu ada 500 buku. Mereka berdua mencatat nama buku, pengarangnya, dan penerbitnya. Lalu membuat nomor-nomor buku, kemudian menempelkannya di setiap buku. Selama sebulan lebih Bram dan Andre melakukan itu. Bram bersyukur karena ada Andre yang bersedia membantunya. “Kapan nih selesai bukunya, kok ngga’ selesai-selesai,” ujar seorang anggota rohis saat memasuki sekret. Ia hanya membaca beberapa buku, dan kemudian meletakkannya. “Makanya, bantuin dong, biar cepet selesai,” ujar Andre sedikit kesal. Karena Andre tahu, Bram yang paling banyak berperan dalam mengurusi buku-buku itu, dan ia tidak rela bila orang hanya bicara saja tanpa membantu. Bram hanya terdiam mendengar itu. Berapa banyak orang yang sanggup bicara, tetapi sedikit yang mengerjakannya. Dan berapa banyak orang yang mau mengerjakannya, tetapi mau serius dan berkorban untuk melakukannya.<br /><br />Setelah satu bulan, pendataan buku-buku itu pun selesai. Bram dan Andre meletakkannya di perpustakaan masjid. Mereka segera membuat kartu perpustakaan, sehingga para mahasiswa dapat meminjamnya. Dan dapat beredarlah fikrah kita.<br /><br /><b>Pengorbanan</b><br />Bram, Andre dan Zaid terkejut sesaat, tetapi kemudian memberikan selamat kepada Laras, karena ia baru saja berjilbab. Laras tersipu-sipu, dan dari lubuk hatinya, Laras yakin bahwa inilah jalan yang lurus, jalan yang benar, jalan yang Dia ridhoi. Dengan jilbab ini, Laras berjanji untuk senantiasa di jalan ini…<br /><br />Sekret rohis itu dikunjungi oleh mahasiswa dan mahasiswi. Di sekret akhwat, sangatlah ramai oleh canda tawa para mahasiswi, sampai-sampai suara mereka terdengar di sekret ikhwan. Andre kerap kali mengetuk jendela akhwat, agar tidak terlalu berisik. Bila sudah demikian, para akhwat dan mahasiswi yang ada di dalam hanya tersenyum tertahan. Andre hanya geleng-geleng kepala.<br /><br />Dan di sekret ikhwan pun tak jauh berbeda. Bahkan mereka bermain bola di dalam sekret. Andre hanya geleng-geleng kepala (lagi). Tetapi Bram memang tidak mencegah hal itu dan membiarkannya karena anggota yang baru bergabung tidak bisa dipaksa langsung berubah total.<br /><br />Di dalam sekret itu, diadakan jadwal kultum harian. Setiap orang mendapat giliran. Laras membuat jadwal di akhwat, dan Andre membuat jadwal di ikhwan. Tilawah dan kajian, juga menjad agenda mingguan.<br /><br />Kala maghrib menjelang, ketika tak ada seorangpun di lingkungan sekret. Bram masuk ke sekretnya. Dan ia membereskan sekret yang berantakan. Hampir setiap hari ia melakukan itu, karena pengkondisian sekret bagi Bram sangat penting. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Bagaimana mungkin hidayah Allah akan turun bila tempat ini berantakan…, gumam Bram. Untuk saat ini, ia belum bisa meminta teman-temannya untuk melakukan tugas ini, karena banyak yang menolak. Dan Bram memaklumi hal ini. Ia menyapu lantai, merapihkan buku-buku, membuang sampah-sampah, dan memasang mading ataupun menempel tausiah-tausiah di sekret.<br /><br /><b>Menghadapi Kristenisasi</b><br />Sita bergabung dengan rohis kampus. Namun Sita yang sekarang, bukanlah Sita yang dulu, karena kini ia telah berjilbab rapi dan ia sudah membuang jauh-jauh kenangannya bersama Bram. ‘Ya Allah, aku ada di sini karena Engkau. Semoga Engkau luruskan niat-niat kami di jalan-Mu,” doa Sita di setiap shalat malamnya.<br /><br />“Aduh, gimana yah, temen gue ada yang mau keluar dari Islam,” kata Anita, teman sekelas Sita, suatu hari. “Hah? yang bener?” seru Sita. Sewaktu di SMU ia juga pernah menemui kristenisasi di SMU-nya. “Iya, tapi Sita jangan bilang siapa-siapa ya, rahasia,” ujar Anita yang celana jinsnya robek-robek di bagian lututnya. Anita berkata itu dengan mimik serius dan rokok mengepul dari mulutnya. Sita hanya mengangguk-angguk.<br /><br />Pakai jilbab, mau murtad? Tubuh Sita seakan limbung mendengar itu. Haruskah ia kehilangan lagi saudara muslim lagi. Sewaktu di SMU ia pernah menghadapi hal yang sama, pemurtadan dan saat itu teman SMU-nya murtad karena diiming-imingi harta. Sita segera membuka-buka kembali buku kristologinya. Ia membenahi jilbab putihnya. Argumen-argumen apa yang harus ia sampaikan kepada seseorang yang mau murtad. Ia mencatat semuanya dalam selembar kertas dan esok paginya, ia sudah siap dengan argumennya.<br /><br />Namun Sita tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia menceritakan hal itu kepada orang yang ia percaya, yang notabene pasti tak mengenal Anita. Hal ini terdengar di telinga Bram, ketua rohis, bahwa ada kristenisasi di kampus.<br /><br />Saat rapat rohis, Bram berkata, “Kita mendapat laporan dari atas, bahwa di kampus kita terjadi kristenisasi.” Sita tertunduk dalam mendengarnya. “Sebaiknya hal seperti ini tidak disembunyikan, karena bila sampai terjadi pemurtadan, dapat mencoreng wajah da’wah kita di kampus ini,” tambah Bram dengan tegas. Bram masih menunggu ikhwah yang sebenarnya mengetahui hal ini. Sitapun akhirnya angkat bicara, “Ya, sebaiknya kita mencari kristolog untuk membantu akhwat ini, karena kabarnya, dia mendapat ancaman juga dari kekasihnya yang Kristen, akh…” Hm.., Bram akhirnya tahu siapa orangnya.<br />“Ya, sebaiknya begitu…,” jawab Bram.<br /><br />Para ikhwah mempersiapkan agenda bersama agar mahasiswi tersebut tidak murtad. Lima akhwat, diantaranya Sita dan Laras, melakukan aksi detektif. Mereka ingin mengetahui dahulu wajah sang mahasiswi yang berkudung gaul tersebut. Kejar-kejaran dari belakang. Bersembunyi kala ia menoleh. Sesekali para akhwat tersenyum bersama. Setelah mahasiswi itu berhasil diidentifikasikan, akhirnya Sita menjadi duta untuk melakukan dialog dengannya.<br /><br />Bram terus memantau perkembangannya dari hari ke hari. Dan dari Anita, Sita mengetahui bahwa mahasiswi tersebut membatalkan niatnya untuk berpindah agama akibat bujukan pemuda Kristen tersebut, karena agama adalah yang paling utama. Allahu Akbar! Misi detektif akhwat selesai.<br /><br /><b>Riska, Namanya</b><br />Pagi hari. Di ruang kelas. Para mahasiswa tengah menunggu datangnya dosen Pengantar Akuntansi 2. Bram segera masuk ruang kelas. Dan duduk di baris kedua. Ia membuka buku Akuntansinya dan melihat-lihat lembaran buku merah tersebut. Ia tak memperhatikan bahwa sedari tadi ada mahasiswi yang mengamati dirinya. Bram menoleh ke arah kanannya dan melihat mahasiswi manis, bercelana jins, baju jungkis dan berambut keriting tengah menatapnya. Bram segera melemparkan senyumnya. Mahasiswi itu membalas senyumnya. “Kamu anak rohis ya?” tanya mahasiswi itu. “Iya, saya Bram,” jawab Bram memperkenalkan diri. “Riska, “katanya balas memperkenalkan diri. “Saya dari dulu pengen ikut rohis nih, tapi bisa ngga’ ya?” ujar Riska. “O… tentu aja bisa. Kamu maen aja ke sekret rohis,” jawab Bram. Tiba-tiba dosen masuk dan menghentikan obrolan Bram dan Riska. Kuliah berlangsung selama 2 jam.<br /><br />Usai kuliah, Bram mengajak Riska untuk berkunjung ke sekret rohis. Bram memperkenalkan Riska kepada beberapa akhwat rohis. Di dalam sekret, Riska melihat-lihat sekeliling sekret yang isinya begitu banyak buku-buku Islam.<br />“Sejak kapan kamu pakai jilbab?” tanya Riska pada Sita.<br />“Emm…, kelas 3 SMU, Mbak.”<br />“Wah, baru pakai ya?”<br />“Iya”<br />“Dulu dapat halangan ngga’ dari orangtua?” tanya Riska lagi.<br />“Iya, dulu mintanya susah sekali. Tapi dengan berusaha, akhirnya orang tua mengizinkan,” jawab Sita.<br />Riska mengangguk-anggukkan kepala. Mereka kemudian membicarakan banyak hal, mulai dari keluarga sampai seputar wanita. Riska mengakui bahwa wawasan Islam Sita sangat baik.<br /><br /><b>Pers Kampus</b><br />Zaid, semenjak bergabung dengan rohis, ia menggunakan kemampuan menulisnya untuk meninggikan kalimatullah. Tulisannya menghiasi media cetak kampus. Ia mampu menciptakan tulisan-tulisan yang universal, yang dapat diterima oleh kalangan dosen maupun mahasiswa. Sehingga Al Haq dapat tersampaikan. Dan ia kerap kali meliput kegiatan-kegiatan rohis dan memasukkannya ke koran kampus. Dengan ini, perlahan tapi pasti, terciptalah opini publik yang Islami lingkungan kampus tersebut.<br /><br />Tidak hanya itu, kemampuannya itu ia teruskan kepada teman-teman dan junior-juniornya. Misinya dalam jangka panjang adalah membentuk pers kampus. Bram pun turut men-support keberadaan pers Islam ini. Hingga terbentuklah satu divisi baru, yaitu Divisi Jurnalis. Yang bertugas mem-blow up kegiatan-kegiatan rohis dan menggalang opini publik.<br /><br />Bram Membangkitkan Semangat Teman-Teman<br />Sekret ikhwan dan akhwat terpisah. Letaknya ada di belakang masjid kampus itu. Para aktivis ini tengah mempersiapkan acara sebagai follow up dari penyambutan mahasiswa baru. Mereka melakukan rapat. Hanya ada 8 orang, yaitu Zaid, Bram, Andre, Andi, Riska, Laras, Sita dan Riska. Tak jarang mereka harus pulang malam untuk melakukan rapat-rapat. Bahkan kuliah bagi mereka adalah nomor dua. Yang utama adalah da’wah. Namun meskipun demikian, mereka semua tetap berprestasi dalam kuliahnya, dengan IPK minimal 3. Karena mereka memiliki motto, “Ikhwah sejati harus ber-IPK minimal 3!”<br /><br />Bram selalu menjadi motor setiap event-event keislaman di kampus. Ia senantiasa memotivasi teman-temannya untuk tetap istiqomah di jalan ini. Dan di dalam sebuah organisisi, bukannya tanpa masalah, tetapi Bram dan teman-temannya berusaha memiimalisirnya, karena ukhuwah yang utama.<br /><br />**<br />Roy Bergabung dengan Rohis<br />Di kosnya, Bram memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Langit terang oleh cahaya bulan purnama… Lama sekali ia menatap langit… Terbayang di matanya… akhlak para mahasiswa di kampusnya yang merosot. Semua itu berkelebat dahsyat di pikirannya.<br /><br />Saat itulah, teman satu kosnya yang sedang menonton TV, menekan channel berita Metro TV, “Korban kembali jatuh di Palestina, bom bunuh diri dilakukan oleh Wafa Idris, wanita Palestina yang membawa bom. Tiga orang tentara Israel tewas dan puluhan lainnya luka-luka.” Bram segera berlari menuju TV mendengar berita itu. ketika melihat TV…, Innalillah… sampai seorang wanita yang harus maju untuk berperang, kata Bram. Mata Bram berkaca-kaca menyaksikan suasana di Palestina. Terlihat, Ambulance menolong korban luka-luka orang-orag Israel. “Eh…, kenapa loe..?” tanya Roy, teman satu kosnya. “Roy …, Kamu tahu…., Palestina itu tempat apa?” tanya Bram pada Roy yang tengah menghisap sepuntung rokok. “Palestina kan di Arab sana,” jawabnya cuek. Bram menggeleng, “Di Palestina ada Masjid Al Aqsha, itu adalah kiblat pertama kita dan sekarang diinjak-injak oleh zionis Israel, sudah sejak tahun 1948, sejak perjanjian Balfour,” ujar Bram dengan serius. Roy mengangguk-angguk, terbengong-bengong…”Ooh… begitchu yah..”<br /><br />Bram terbangun dari tidurnya. Ia termenung sejenak. Dilihatnya, pukul 02.00 dini hari. Ia mengambil air wudhu dan shalat malam. Dalam shalat malamnya, ia membaca surat Al Anfal, lama sekali… Roy yang kamarnya ada di sebelah Bram, tengah sibuk membuat program web site. Di depan internetnya ia meng-up load postnuke dari situs. Jari-jarinya bergerak cepat. Sesekali ia membuka situs porno, dan terkekeh sendiri. Rokok di tangan kirinya dan ada Majalah porno pula di tangan kanannya. Roy keluar dari kamarnya saat mendengar suara orang menangis terisak-isak. Roy keluar dari kamarnya dengan kaos oblong dan rambut yang berdiri dan acak-acakan.<br /><br />Ia melihat ke dalam kamar yang pintunya terbuka sedikit. Bram sedang shalat. Kepala Roy tertunduk… Dan ia masuk kembali ke kamarnya. Di dalam kamarnya, ia memandangi majalah pornonya, dan dilemparnya majalah itu ke lantai. Ditutupnya semua situs yang ia browse sedari tadi. Ia mengambil sebuah buku yang sudah berdebu, Al Qur’an. Roy teringat kata-kata Bram…”Di Palestina ad Masjid Al Aqsha, itu tempat qiblat pertama kita…” terngiang-ngiang kata-kata itu. Dan terbayang pula senyum manis Andre saat ia sering mengajaknya untuk shalat ke masjid dan biasanya Roy menolaknya mentah-mentah, tetapi Bram senantiasa bersabar mengajaknya. Dibersihkannya Al Qur’an itu dari debu dengan tangannya. Dibukanya pada surat mana saja… Dan yang terbuka olehnya adalah Surat Ar Rahman “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Roy membacanya.. indah sekali ayat ini….<br /><br />Bram bangun di pagi hari. Dan bersiap-siap untuk shalat Subuh di masjid. Bram terkejut ketika Roy mengikutinya dari belakang… Dengan malu-malu, Roy berkata, ‘‘Kenapa? Gue mau ke masjid juga, tidak boleh?”<br />“Eh.. boleh.. tentu saja boleh…,: Bram cepat-cepat membuang keterkejutannya itu dan mereka melangkah bersama menuju masjid di dekat kosan mereka.<br /><br />Usai shalat, Bram membuka buku kecil berwarna hijau. “Itu apa? Gue liat loe sering bawa buku itu,” tanya Roy. ‘‘Ini… Ini namanya Al Ma’tsurat, zikirnya Rasulullah SAW yang dibaca setiap pagi dan petang,” jelas Bram.<br />“Gitu yah? Boleh ngga’ gue baca,” tanya Roy lagi.<br />“Boleh, kita baca bareng-bareng aja ya. Nih…” ujar Bram menyerahkan buku itu.<br />“Loh, terus loe baca pake apa?”<br />“Insya Allah saya sudah hafal…,” kata Bram.<br />“Oooo….” Roy mengangguk-angguk. Mereka membacanya bersama-sama hingga matahari menampakkan cahayanya.<br /><br />Di dalam kamarnya, Roy memandangi ruangannya yang berantakan seperti kapal pecah. Ia terdiam sesaat dan dengan segera membersihkan dan membereskan kamarnya. Sapu, lap pel, ada di tangannya. Ia mencopot semua poster-poster band kesayangannya. Buku-buku porno ia kumpulkan. Seketika, kamarnya bersih dan mengkilat hingga ke kaca-kaca jendela. Ia keluar dari kamar dan diluar ia menyalakan api… dilemparnya semua buku porno itu ke dalam api. Roy tersenyum penuh kemenangan.<br /><br />Roy menyisir rapi rambutnya yang lurus dan dibelah tengah. Ia melepas anting yang setia ad di telinga kananya. Ia merapikan janggutnya dan memakai wangi-wangian. Penampilannya menjadi lebih rapi.<br /><br /><br /><b>SEMINAR AKBAR, KEMENANGAN</b><br />Andre yang notabene adalah Ketua Departemen Syi’ar, menjadi Ketua pula dalam acara seminar yang akan digelar. Ia membentuk struktur panitia. Acara ini tergolong besar, karena akan melibatkan dosen dan mahasiswa. Target pencapaian adalah 500 peserta. Itu berarti peserta akan memenuhi ruang auditorium di kampus tersebut.<br /><br />Zaid, yang ahli dalam membuat tulisan, membuat sebuah artikel yang sangat bagus akan pentingnya seminar ini. Ia memasukkannya dalam koran kampus yang memang independen, sehingga ia tak mendapatkan halangan yang berarti.<br /><br />Roy pun memanfaatkan keahliannya dalam dunia maya dengan menjaring massa melalui dunia cyber. Ia menggunakan email, mailis, situs, Yahoo Messenger dan Friendster untuk menyebarkan berita ini. Dan tulisan-tulisan Zaid ia muat dalam setiap pesannya dalam internet.<br /><br />Bram, yang memiliki karisma dalam dirinya, mengajak para dosen untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Ia menggunakan cara-cara yang ahsan dan menawan hati.<br /><br />Sita, Laras dan Riska menjalankan amanahnya mengajak para muslimah untuk hadir dalam seminar. Mereka kerap mempublikasikannya dalam kajian keputrian yang setiap minggunya dihadiri oleh tak kurang dari 50 muslimah, di setiap Jum’at.<br /><br />Dalam mempersiapkan kegiatan ini, tak jarang, Andre dan teman-temannya harus pulang malam untuk mengadakan rapat-rapat. Dan di siang hari, mereka aktif mencari sponsor demi terselenggaranya kegiatan. Lelah. Inilah yang dirasakan Andre dan jajaran kepanitiaanya.<br /><br />“Kamu kenapa?” Bram seakan menangkap kegalauan hati saudaranya yang tengah termenung di sekret rohis. Ia memperhatikan bahwa Andre sedikit melemah semangat dakwahnya. Andre hanya terdiam. “Ingat…, disana.. di Pelestina.., saudara-saudara kita tengah berjuang. Apa yang kita lakukan di sini, belumlah seberapa dibandingkan mereka,” ujar Bram sambil menatap dalam kepada Andre. Andre merasa malu, karena Bram mengetahui kegalauan hatinya. Dan ucapan Bram itu seakan menjadi air sejuk di tengah kegersangan hatinya.<br /><br />Hari H pun akhirnya datang. Andre melakukan briefing kepada panitia, saat pagi hari. Tiket telah terjual habis, bahkan masih ada yang ingin memesan tiket. Dan diperkirakan ruangan akan melebihi kapasitas. “Semoga Allah selalu meluruskan niat-niat kita saat menapaki jalannya. Hadir di sini semata-mata karena Allah,” ujar Andre untuk memotivasi panitia. Seluruh sie melaporkan tugasnya. Cek dan ricek.<br /><br />Ticketing di depan ruangan seminar telah bersiap-siap. Semua anggota rohis memakai jaket almamater. Mereka bak tentara-tentara Allah yang bersiap-siap di posnya masing-masing. Acara ini mendapat sambutan yang sangat baik dari para dosen, pun mahasiswa. Para mahasiswa berbondong-bondong tertarik untuk mengikuti program menthoring yang diselenggarakan oleh rohis.<br /><br /><b>Kesolidan Antar Departemen</b><br />Bram dan Andre telah menyiapkan 20 menthor. Menthoring diadakan untuk mendidik seorang muslim agar akidahnya bersih, akhlaknya solid, ibadahnya benar, pikirannya intelek, tubuhnya kuat, mampu memanfaatkan waktu, dan bermanfaat bagi orang lain. Dari seminar itu, paling tidak, terbentuklah 20 kelompok menthoring, yang masing-masing kelompok, ada 8 orang. Itu berarti ada 160 orang yang terekrut melalui seminar tersebut.<br /><br />Karena kesolidan Departemen Pengembangan Sumber Daya Muslim (DPSDM) dan Departemen Syi’ar, maka proses rekruitmen dan pembinaan berjalan lancar. Bram, Roy, Zaid dan Andre hanya bisa mengucap hamdalah akan kemenangan ini.<br /><br /><b>Berbondong-Bondong Berjilbab</b><br />Sita tengah sibuk mendata barang-barang di sekret. Pintu sekret terbuka dan… Sita melihat rok panjang berwarna hitam. Ia mendongak ke atas dan terlihatlah wajah Riska yang sedang tersenyum malu-malu dengan jilbab putihnya. Untuk sesaat Sita terperangah, dan kemudian cepat-cepat tersadar dan memberikan selamat kepadanya. Sita memeluk Riska erat sekali. Alhamdulillah… ujarnya.<br /><br />Semenjak itu, bagaikan kartu domino. Mahasiswi yang lainpun berjilbab. Selama sebulan, sudah ada 20 orang yang berjilbab. Bahkan sampai muncul istilah ditengah-tengah mereka bahwa ada “Taubat massal.”<br /><br />Suasana sekret akhwat kian ramai dihiasi canda tawa para akhwat. Tak jarang mereka melakukan aksi smack down, antar mereka. Mereka semua bersama-sama membantu gerak da’wah. Dan Andre senantiasa mengetuk jendela akhwat agar tidak terlalu berisik. Hi..hi..hi… para akhwat bukannya diam, tetapi semakin ramai. Andre hanya geleng-geleng kepala. Dan Bram tersenyum melihat sikap Andre.<br /><br /><b>Persiapan Dauroh</b><br />Rohis mengadakan dauroh (pelatihan) yang merupakan alur terakhir dari organisasi tersebut. Bram, Andre, Zaid dan Roy melakukan survey di daerah Gunung Bunder. Mereka berempat memakai ikat kepala putih dan membawa ransel besar. Persiapan untuk naik gunung.<br /><br />Mereka telah mempersiapkan dauroh ini selama satu bulan lebih. Waktu, tenaga, pikiran dan juga uang, mereka korbankan demi terselenggaranya kegiatan dauroh tersebut. Jalur-jalur yang akan dilalui peserta, mereka beri tanda. Namun tak terasa, malam telah menjelang. Dan sesuatu yang aneh terjadi, mereka tak bisa menemukan jalan pulang. Padahal seharusnya jalan yang dilalui tidaklah terlalu sulit. Mereka kembali menyusuri jalan. Hawa dingin dan malam yang pekat. Hanya berbekal dua senter.<br /><br />Pukul 22.00. Mereka kemudian sadar bahwa sedari tadi hanya berputar-putar di satu tempat. Bram berkata, “Sepertinya ini sudah bukan dunia manusia lagi, sebaiknya kita membaca ayat kursi.” Andre, Roy dan Zaid mengiyakan. Dan sepanjang perjalanan, mereka membaca ayat kursi. Dengan doa, zikir dan tawakal, mereka akhirnya dapat turun gunung dengan selamat. Allahu Akbar!<br /><br />Dauroh ini diikuti oleh 160 orang peserta. Mukhayyam selama 3 hari 2 malam. Tenda-tenda dibangun sendiri oleh peserta. Ikhwan dan akhwat berlomba mendirikan tenda masing-masing. Dauroh ini diisi dengan out bond, ceramah dan aneka games. Mendaki gunung. Dan yel-yel kelompok yang semakin menyemarakkan suasana.<br /><br />Usai kegiatan, mereka semua berfoto bersama dengan pakaian penuh lumpur. Wajah puluhan ikhwan terlihat sangat gembira, dengan ikat kepala putih dan slayer biru. Para ikhwan berfoto sendiri dan berbaris rapi. Dan puluhan akhwatpun berfoto sendiri di tempat lainnya. Jilbab-jilbab mereka yang rapi, berkibar tertiup angin gunung. Mereka semua terlihat sangat kompak. Andre mengabadikan event itu dengan kameranya.<br /><br /><b>Bram Menikah</b><br />Bram bercerita pada Andre bahwa ia akan menggenapkan setengah diennya dan Insya Allah dalam waktu dekat. Andre turut bahagia mendengar penuturan saudaranya itu. Namun Bram sendiri belum tahu siapa orangnya, karena ia percaya sepenuhnya kepada pilihan ustadznya. Mendengar itu, Andre percaya bahwa Allah akan memberi yang terbaik untuk Bram.<br /><br />Seminggu kemudian Bram mendapat sebuah amplop dari ustadznya. Dengan hati berdebar, namun tetap tenang, ia membuka biodata sang akhwat. Bram termangu membaca nama calonnya itu… Sita Anggraini… Ya Rabbi… Sungguh tak akan lari gunung di kejar, gumam Bram.<br />Di tempat lain…, Sita juga menerima amplop dari murabbiyahnya dengan perasaan tenang. Ketika ia membuka dan membaca nama calonnya…. Bram Adhiyaksa…, Sita setengah berbisik menyebut nama itu. Ya Rabbi…<br />Proses ta’aruf (perkenalan) Bram dan Sita berlangsung singkat. Bram datang meminang ke rumah Sita. Pernikahan berlangsung sederhana dan menggunakan hijab yang berupa tanaman-tanaman. Puluhan aktivis rohis datang pada acara yang sangat bersejarah dalam kehidupan manusia itu. Lagu-lagu nasyid diputar saat itu. Bram yang gemar dengan nasyid Izzis dan Shoutul Harakah terpaksa harus menggantinya dengan nasyid yang slow, karena tak mungkin di hari perhikahannya ia memutar nasyid genderang perang.<br /><b>Keluarga Pejuang</b><br />“Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS. 9:24).<br /><br />Suatu hari Bram merasa gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada Sita, "Dek…, kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam dakwah. Apa pantas sesudah dakwah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan dakwah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya, tapi kita pun cinta Allah". Bram pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari.<br /><br />Aksi 12 Mei<br /><i>Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan</i><br /><i>Kepada rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan</i><br /><i>Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan,</i><br /><i>Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia</i><br /><i>Wahai kalian yang rindu kemenangan</i><br /><i>Wahai kalian yang turun ke jalan</i><br /><i>Demi mempersembahkan jiwa dan raga</i><br /><i>Untuk negeri tercinta</i><br /><br />Rasulullah SAW bersabda, “Allah akan menaungi pemuda yang berani mengatakan yang haq di depan penguasa yang zalim.” Berlandaskan hadits ini, aksi-aksi mahasiswa marak di berbagai daerah di tanah air.<br /><br />Dan Aksi 12 Mei. Aktivis rohis yang bergabung, berjumlah dua ratus orang lebih. Bram ikut memimpin gerakan mahasiswa untuk merobohkan rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Bram dan aktivis rohis lainnya, mendesain sebuah aksi turun ke jalan, untuk kali yang pertama. Namun tak disangka, aparat bersikap repsesif. Mahasiswa berlari ke dalam kampus menyelamatkan diri dari tembakan aparat. Bram yang berada di depan terkena tembakan peluru di perutnya. Seorang Satgas dari Senat berhasil menariknya ke dalam kampus sebelum sempat dipukuli oleh aparat. Dan yang terjadi selanjutnya mirip dengan perjuangan intifadah rakyat Palestina. Dimana mahasiswa berusaha mempertahankan diri dengan melemparkan batu, botol aqua dan apa saja yang bisa dipungut di jalan kepada aparat yang bersenjata api.<br /><br />Balasan yang 'sangat amat baik sekali' dari aparat keamanan. Tiap kali terdengar letusan senapan yang keras dan menggetarkan kaca-kaca di Gedung M, massa mahasiswa spontan berteriak 'Allahu Akbar'. Mahasiswa yang tidak kuat menahan emosi berteriak-teriak istighfar<br />dan mengutuk perbuatan aparat bermoral binatang. Karena bantuan alat-alat medis yang kurang, korban dibawa ke Gedung I.<br /><br />Inna Lillahi Wa Ina Lillahi Roji'un, mahasiwa yang sedang berbaring ini sudah tidak bernyawa. “Tidak ada nafasnya!” seru seorang rekan ketika tidak merasakan aliran nafas dari hidungnya. Tidak kuat menahan emosi yang sedang terjadi, beberapa mahasiswa beristighfar menyebut nama Allah Swt, dan lainnya menyerukan untuk mengadakan pembalasan, sebagian lagi berusaha menahan emosi rekannya. "Tidak ada gunanya dilawan", "Jangan ada korban lagi", semuanya mundur, rekan kita sudah ada yang meninggal, Mundur semua!” jerit beberapa rekan mahasiwa. Mahasiswa-mahasiwa yang berada di barisan depan terus melempari petugas dan berteriak-teriak histeris. Kabar kematian rekan mahasiswa tampaknya malah membakar emosi mahasiswa barisan depan tersebut.<br /><br /><b>Bram Meninggal</b><br />Bram dalam kondisi kritis. Darah mengalir deras. Teman-teman segera membawanya ke rumah sakit. “Bram…. Bram….,” panggil Andre dengan wajah sangat cemas. Bram melihat wajah Andre, semula jelas… namun pandangannya kabur dan semuanya menjadi gelap.<br /><br />Sudah satu bulan Bram ada di rumah sakit. Banyak aktivis yang menjenguknya. Dan pada minggu ke enam, Bram sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Namun sejak penembakan itu, Bram tak bisa lagi berjalan seperti biasa. Karena pukulan keras di kepalanya dari aparat, membuatnya sering pusing. Pun tembakan di perutnya, meninggalkan luka yang membekas dan terkadang sangat sakit ia rasakan. Namun meskipun demikian, Bram masih mengontrol jalannya aktivitas da’wah di kampus melalui HPnya. Terkadang para ikhwah bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan dalam da’wah. Ataupun sekedar ber-sms untuk bertanya tentang Islam. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi Andre.<br /><br />Suatu hari, ada rapat mendesak yang membutuhkan kehadiran Bram. Walau sang isteri sudah berusaha mencegahnya, namun Bram tetap bersikeras. Ia dijemput Andre. Dan mereka bersama-sama menuju tempat syuro. Syuro itu berlangsung satu hari penuh.<br /><br />Pukul 02.00, Bram tiba di depan rumah. Ternyata sang isteri tercinta telah menantinya. Bram duduk di kursi tamu, melepas kepenatan. Sita berjongkok di hadapan Bram dan membukakan kaos kakinya. “Wah…, Mama .. baik sekali,” ujar Bram dengan nada lembut. Sita terdiam. Ia menyunggingkan senyum. Entah mengapa, hari ini perasaan Sita tidak enak. Ia ingin selau berada di dekat suaminya. “Air panasnya sudah siap, Bang…,” Sita mengambilkan handuk. Bram terduduk di kursi sambil memegang agenda syuro. Ia segera membersihkan diri malam itu.<br /><br />Saat subuh menjelang. Suhu badan Bram sangat tinggi, ia menggigau. Sita panik, tetapi ia tetap berusaha berfikir jernih. Ia segera menghubungi abang kandungnya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Mereka lantas bersama-sama membawa Bram pergi ke rumah sakit.<br /><br />Semua ikhwah menjenguknya. Sudah seminggu Bram ada di rumah sakit. Sita senantiasa membacakan Al Qur’an di samping Bram. Sakitnya kian memburuk.<br /><br />**<br /><br />Suatu malam…. Bram memanggil Sita… dan memberi isyarat agar Sita mendekat. Sita segera mendekatkan telinganya di dekat wajah Bram. Ia berwasiat, “Dek… jaga diri baik-baik. Dirikan shalat. Jaga anak kita nanti, didik ia menjadi mujahid di jalan Allah,” ujar Bram. Sita yang kandungannya telah berusia delapan bulan, sudah tak terbendung lagi air matanya. Ia menangis terisak-isak. Demi mendengar isakan tangis Sita, Andre terbangun dari tidurnya dan mendekati Bram. Beberapa ikhwan yang tengah menunggu di luar kamar pasien, juga terbangun. Bram menghadapi sakaratul maut. Sita dan Andre membimbing Bram agar mengucapkan “Laa illaha ilallah…”, namun lidah Bram yang setiap harinya memang tak lepas dari zikir, dapat dengan lancar mengucapkannya. “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un….” Andre mengucapkannya dengan nada tertahan, ketika tubuh Bram sudah lemas dan terbujur kaku.<br /><br />Semua ikhwan yang menyaksikan hal itu, terdiam. Kepala mereka tertunduk…<br /><br />Sepeninggal Bram, semua yang dirintisnya membuahkan hasil. Demi mendengar kisah kegigihannya dalam menegakkan Islam, telah membangkitkan militansi puluhan aktivis lainnya. Dan dari puluhan aktivis ini, lahirlah mujahid-mujahid baru. Regenerasi terus berlanjut. Mewariskan nilai-nilai keislaman yang telah Bram tanamkan di dalam diri teman-temannya. Pun bagi Andre, Bram adalah sosok teladan yang selau memberi motivasi kepada dirinya. <i>intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum.</i><br /><br /><b>(Tahun 2040)</b><br /><br /><b>Penutup</b><br />Kakek itu masih menatap tajam para mahasiswa dan mahasiswi yang ada di hadapannya. Ia berkata, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,” ujarnya.<br /><br />Kakek itu mengucapkan panjang lebar tentang arti kemenangan da’wah. Dan tibalah saat sesi tanya jawab. Sang moderator berkata, “Ya, telah kita dengarkan tausiah-tausiah dari syeikh kita, Syeikh Andre. Seperti kita ketahui bersama, beliau juga pernah kuliah di kampus ini dan menjadi salah satu pelopor bangkitnya Islam di kampus kita tercinta. Maka jangan sia-siakan kesempatan ini untuk bertanya.” Beberapa orang dengan serentak, berebutan dan mengangkat tangan untuk bertanya.<br /><br />Usai acara, Andre bersiap-siap shalat berjamaah di masjid kampus bersama-sama dengan para mahasiswa. Ia memandangi perpustakaan yang dulu pernah ia dan Bram susun. Terlintas kembali kenangan itu, saat Bram berkata kepadanya, “Buku- buku adalah sumber ilmu.”<br /><br />Andre kemudian menjadi imam pada shalat Zuhur itu. Ia membaca surat Muhammad… dengan khusyuk… dan ketika sampai pada ayat <i>intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum.</i>, Andre terisak… Ia mengenal betul bahwa ayat inilah yang menjadi gerak juang saudaranya, Bram. Usai mengucap salam, Andre terdiam dan melihat ada Bram, Roy dan Zaid di hadapannya. Bram tersenyum kepadanya dan Andre membalas senyumnya. Andre menatap ke langit-langit masjid dan ia melihat makhluk-makhluk yang tak pernah ia lihat sebelumnya, bukan jin dan bukan pula manusia. Dan beberapa saat kemudian, ia tersungkur di depan mimbar masjid.<br /><br />Pak Andre!…. Seru jamaah shalat. Mereka berhamburan dan membopong tubuh Andre. Dan mendudukkannya. “Innalillahi wa Inna ilaihi raji’un…,” seru seorang dari mereka ketika tak ada lagi hembusan nafas dari Andre… “Pak Andre belum meninggal, kita bawa beliau ke rumah sakit saja,” ujar yang lainnya.<br /><br />Mereka segera membawa Andre ke rumah sakit. Dengan raut wajah berduka, dokter mengatakan hal yang sama, “Mohon maaf, Pak Andre… sudah tiada.” Saat itulah semua jamaah tertunduk dan menitikkan air mata, menangisi kepergian sang mujahid.<br /><br />***<br /><br />Ribuan jamaah ikhwan berduyun-duyun mengantar kepergian syeikh mereka ke tempat peristirahatan. Langit mendung seakan turut menangisi kepergian mujahid-mujahid Allah di muka bumi. Bram, Zaid, Roy dan Andre.. Makam mereka terletak berdampingan. Mereka bertemu karena Allah, saling mencintai karena Allah. Rasulullah SAW bersabda, <i>"Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah"</i>(HR. Tirmidzi). Mereka telah mengukir sejarah perjuangan yang indah. Sesungguhnya dakwah ini akan terus berlanjut hingga hari kiamat.<br /><br />Saat semua pengantar Andre telah pulang, ada beberapa pemuda gagah yang masih tertegun di samping makam-makam itu. Salah seorang dari pemuda berkata, “Ayah, kami akan meneruskan perjuanganmu, hingga tak ada lagi fitnah dan agama ini hanya milik Allah…,” ujarnya mantap. (Ayat_Al_akrash)</div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-18863419768453017582007-09-12T20:25:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.929-07:00Dari Mata Turun Ke Hati<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">Oleh : <b>SoldiersOfAllah</b><br /></div><br /><b>Hudzaifah.org</b> - Matahari telah tergelincir. Seorang lelaki terlihat bersegera menuju masjid ketika adzan zuhur dikumandangkan dari sebuah masjid kampus. Lelaki itu berwudhu dan menunaikan shalat <i> nawafil</i>. Lalu ia menjadi makmum di shaff terdepan. Shalat wajib ia laksanakan dengan ruku’ dan sujud yang sempurna. Setelah shalat tak lupa ia memuji nama Tuhannya dan memanjatkan doa untuk dirinya, ibu, ayahnya dan untuk ummat Muhammad saw yang sedang berjihad <i>fii sabilillah</i>.<br /><br />Sebelum menuju kelas untuk kuliah, lelaki itu menyempatkan diri bersalam-salaman dengan beberapa jamaah lain. Dengan raut wajah yang bersahaja, ia sedekahkan senyum terhadap semua orang yang ditemuinya. Ucapan salam pun ditujukannya kepada para akhwat yang ditemuinya di depan masjid.<br /><br />Lelaki yang bernama Ali itu kemudian segera memasuki ruang kelasnya. Ia duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku berjudul “Langitpun Terguncang’. Buku berisi tentang hari akhir itu dibacanya dengan tekun. Sesekali ia mengerutkan dahi dan dan sesekali ia tersenyum simpul.<br /><br />Ali sangat suka membaca dan meyukai ilmu Allah yang berhubungan dengan hari akhir karena dengan demikian ia dapat membangkitkan rasa cinta akan kampung akhirat dan tidak terlalu cinta pada dunia. Prinsipnya adalah “Bekerja untuk dunia seakan hidup selamanya dan beribadah untuk akhirat seakan mati esok.”<br /><br />Sejak setahun belakangan ini, Ali selalu berusaha mencintai akhirat. Sunnah Rasululah saw ia gigit kuat dengan gigi gerahamnya agar tak terjerumus kepada bid’ah. Ali selalu menyibukkan diri dengan segala Islam. Ia sangat membenci sekularisme karena menurutnya, sekulerisme itu tidak masuk akal. Bukankah ummat Islam mengetahui bahwa yang menciptakan adalah Allah swt, lalu mengapa mengganti hukum Tuhannya dengan hukum ciptaan dan pandangan manusia? Bukankah yang menciptakan lebih mengetahui keadaan fitrah ciptaannya?<br /><br />Allah swt yang menciptakan, maka sudah barang tentu segala sesuatunya tak dapat dipisahkan dari hukum Allah. Katakan yang halal itu halal dan yang haram itu haram, karena pengetahuan yang demikian datangnya dari sisi Allah.<br /><br />Sementara Ali membaca bukunya dengan tekun, dua mahasiswi yang duduk tak jauh dari Ali bercakap-cakap membicarakan Ali. Mereka menyayangkan sekali, Ali yang demikian tampan dan juga pintar, namun belum mempunyai pacar, padahal banyak mahassiwi cantik di kampus ini yang suka padanya. Tapi tampaknya Ali tidak ambil peduli. Sikapnya itu membuat para wanita menjadi penasaran dan justru banyak yang ber-<i>tabarruj</i> di hadapannya. Kedua wanita itu terus bercakap-cakap hingga lupa bahwa mereka telah sampai kepada tahap <i>ghibah</i>.<br /><br />Ali memang tak mau ambil pusing tentang urusan wanita karena ia yakin jodoh di tangan Allah swt. Namun tampaknya iman Ali kali ini benar-benar diuji oleh Allah SWT.<br /><br />Ali menutup bukunya ketika dosen telah masuk kelas. Tampaknya sang dosen tak sendirian, di belakangnya ada seorang mahasiswi yang kelihatan malu-malu memasuki ruang kelas dan segera duduk di sebelah Ali. Ali merasa belum pernah melihat gadis ini sebelumnya. Saat dosen mengabsen satu persatu, tahulah Ali bahwa gadis itu bernama Nisa.<br /><br />Tanpa sengaja Ali memandang Nisa. Jantungnya berdegup keras. Bukan lantaran suka, tapi karena Ali selalu menundukkan pandangan pada semua wanita, sesuai perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan Rasulullah saw dalam hadits. <i>“Astaghfirullah…!”</i>, Ali beristighfar.<br />Pandangan pertama adalah anugerah atau lampu hijau. Pandangan kedua adalah lampu kuning. Ketiga adalah lampu merah. Ali sangat khawatir bila dari mata turun ke hati karena pandangan mata adalah panah-panah iblis.<br /><br />***<br /><br />Pada pertemuan kuliah selanjutnya, Nisa yang sering duduk di sebelah Ali, kian merasa aneh karena Ali tak pernah menatapnya kala berbicara. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Utsman, teman dekat Ali. Mendengar penjelasan Utsman, tumbuh rasa kagum Nisa pada Ali.<br /><br />“Aku akan tundukkan pandangan seperti Ali”, tekad Nisa dalam hati.<br /><br />Hari demi hari Nisa mendekati Ali. Ia banyak bertanya tentang ilmu agama kepada Ali.<br /><br />Karena menganggap Nisa adalah ladang da’wah yang potensial, Ali menanggapi dengan senang hati.<br /><br />Hari berlalu… tanpa sengaja Ali memandang Nisa. Ada bisikan yang berkata, “Sudahlah pandang saja, toh Nisa itu tidak terlau cantik.. Jadi mana mungkin kamu jatuh hati pada gadis seperti itu” Namun bisikan yang lain muncul, “Tundukkan pandanganmu. Ingat Allah! Cantik atau tidak, dia tetaplah wanita.” Ali gundah. “Kurasa, jika memandang Nisa, tak akan membangkitkan syahwat, jadi mana mungkin mata, pikiran dan hatiku ini berzina.”<br /><br />Sejak itu, Ali terus menjawab pertanyaan-pertanyaan Nisa tentang agama, tanpa <i>ghadhul bashar</i> karena Ali menganggap Nisa sudah seperti adik… , hanya adik.<br /><br />Ali dan Nisa kian dekat. Banyak hal yang mereka diskusikan. Masalah ummat maupun masalah agama. Bahkan terlalu dekat…<br /><br />Hampir setiap hari, Ali dapat dengan bebas memandang Nisa. Hari demi hari, minggu demi minggu, tanpa disadarinya, ia hanya memandang satu wanita, NISA! Kala Nisa tak ada, terasa ada yang hilang. Tak ada teman diskusi agama…, tak ada teman berbicara dengan tawa yang renyah.., tak ada…wanita. DEG!!! Jantung Ali berdebar keras, bukan karena takut melanggar perintah Allah, namun karena ada yang berdesir di dalam hati…karena ia… mencintai Nisa.<br /><br />Bisikan-bisikan itu datang kembali… “Jangan biarkan perasaan ini tumbuh berkembang. Cegahlah sebisamu! Jangan sampai kamu terjerumus zina hati…! Cintamu bukan karena Allah, tapi karena syahwat semata.”<br />Tapi bisikan lain berkata, “Cinta ini indah bukan? Memang indah! Sayang lho jika masa muda dilewatkan dengan ibadah saja. Kapan lagi kamu dapat melewati masa kampus dengan manis. Lagipula jika kamu pacaran kan secara sehat, secara Islami.. ‘Tul nggak!”<br /><br />Ali mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manalah ada pacaran Islami, bahkan hatimu akan berzina dengan hubungan itu. Matamu juga berzina karena memandangnya dengan syahwat. Hubungan yang halal hanyalah pernikahan. Lain itu tidak!!! Bukankah salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mengubur zina?”, bisikan yang pertama terdengar lagi.<br /><br />Terdengar lagi bisikan yang lain, “Terlalu banyak aturan! Begini zina, begitu zina. Jika langsung menikah, bagaimana bila tidak cocok? Bukankah harus ada penjajakan dulu agar saling mengenal! Apatah lagi kamu baru kuliah tingkat satu. Nikah susah!”<br /><br />Terdengar bantahan, “Benci karena Allah, cinta karena Allah. Jika pernikahanmu karena Allah, Insya Allah, Dia akan ridho padamu, dan akan sakinah keluargamu. Percayalah pada Tuhan penciptamu! Allah telah tentukan jodohmu. Contohlah Rasululah SAW, hubungan beliau dengan wanita hanya pernikahan.”<br /><br />Bisikan lain berkata. “Bla.., bla.., Ali,… masa muda.., masa muda…, jangan sampai dilewatkan, sayang lho!”<br /><br />Ali berpikir keras. Kali ini imannya benar-benar dilanda godaan hebat. Syetan telah berhasil membujuknya dengan perangkapnya yang selalu sukses sepanjang zaman, yaitu wanita.<br /><br />Ali mengangkat gagang telepon. Jari-jarinya bergetar menekan nomor telepon Nisa. “Aah.., aku tidak berani.” Ali menutup telepon.<br />Bisikan itu datang lagi, “Menyatakannya, lewat surat saja, supaya romantis…!” “Aha! Benar! “ Ali mengambil selembar kertas dan menuliskan isi hatinya. Ia berencana akan menitipkannya pada teman dekat Nisa. Jantung Ali berdebar ketika dari kejauhan ia melihat Nisa terlihat menerima surat dari temannya dan membaca surat itu.<br /><br />***<br /><br />Esoknya, Utsman mengantarkan surat balasan dari Nisa untuk Ali, sembari berkata, “Nisa hari ini sudah pakai jilbab, dia jadi cantik lho. Sudah jadi akhwat!”<br /><br />Ali terkejut mendengarnya, namun rasa penasarannya membuatnya lebih memilih untuk membaca surat itu terlebih dahulu daripada merenungi ucapan Ustman tadi. Ali membaca surat itu dengan sungguh-sungguh. Ia benar-benar tak menyangka akan penolakan yang bersahaja namun cukup membuatnya merasa ditampar keras. Nisa menuliskan beberapa ayat dari Al Qur’an, isinya :<br /><br /><i>“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An Nuur : 30)</i><br /><br /><i>“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”</i>(QS. Al Mu’minuun : 19).<br /><br />Ali menghela nafas panjang… <i>Astaghfirullah… Astaghfirullah…</i> Hanya ucapan istighfar yang keluar dari bibirnya. Pandangan khianatku sungguh terlarang. Memandang wanita yang bukan muhrim. Ya Allah… kami dengar dan kami taat. <i>Astaghfirullah…</i> [SOA]<br /><br /><br /><br /><i>(Judul asli: "Kala Iman Tergoda", dengan revisi. Pernah diterbitkan di Bulletin Biru SMUNSA Bogor No. 01/I/23 Shafar 1421 H)</i></div>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-75884281897645533162007-09-12T20:23:00.002-07:002007-09-12T20:56:05.930-07:00PANGERAN KEGELAPAN<p style="text-align: justify;"><span style="color: rgb(0, 0, 255);font-size:130%;" > </span></p><div style="text-align: justify;"><center><u><br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Penulis:Sinta Yudisia W.</span></u></center></div><p style="text-align: justify;"><u>Aku mulai terbiasa memulai pagi dalam suasana hening seperti ini.Terbangun ketika matahari yang hangat muram mencoba mencuri-curi masuk ke dalam kamar lewat celah-celah jendela yang berbingkai kokoh tetapi mulai melumut di sana sini. Kuk-kuk burung hantu yang mengantuk menyapa, keributan ayam-ayam di halaman belakang menggerutu kelaparan. Laba-laba berbulu di pojok atas langit-langit sekarang tak lagi tampak menyeramkan. Bahkan sesekali kubayangkan mereka mengejekku tertidur kelelahan di malam hari Bak Putri Abu.<br /><br />“Masak apa untuk sarapan pagi ini?†aku menyapa Kalina yang telah tegak di meja dapur di depan kuali mengepul.<br />“Tocana,†jawabnya pendek.<br />“Ham?†aku bertanya menegaskan.<br />“Bukan,†Pietersky menggeleng kaku.<br />“Tumben,†gumamku.<span class="fullpost"><br /><br />Sempat kulirik sejenak dua sosok yang bertolak belakang bak angka sepuluh itu. Kkalina tambun, lemak di dagunya berlipat-lipat tetapi gerakannya gesit mengagumkan. Usianya kutaksir di atas lima puluh tahun. Pietersky tinggi kurus, matanya cekung terpasang di atas wajah yang putih pucat dan tirus. Gerakannya sangat berhati-hati dan teliti kalau tidak dapat dikatakan lamban.<br />“Minha…†Kalina menyebut namaku.<br />“Ya?â€<br />“Jangan lupa seragam hitam putihmu.â€<br /><br />Aku membelalakkan mata tapi mengangguk pada akhirnya. Akan terjadi jamuan makan rupanya. Ini bukan kali pertama aku tidak diberitahu situasi seperti ini. Tahu-tahun ada pesta atau perayaan kecil. Aku hanya menurut apa perintah Kalina karena memang ia kepala rumah tangga di sini. Tak masalah. Meski Kalina dan Pietersky sangat dingin mereka tak pernah mengganggu. Kuanggap sikap yang tanpa keramahan sama sekali ini sebagai contoh disiplin.<br />“Siapa tamu kita kali ini?†aku bertanya ingin tahu pada Pietersky sembari memasang pita pada rambutku.<br /><br />“Keluarga Suleyman Barinzi,†sahutnya menyerupai gumaman.<br />Tanganku tergantung kaku di udara, telingaku seakan tak percaya.<br />“A…apa?†sahutku gugup. “Orang-orang Turki itu?â€<br />Pietersky mendengus. Pantas, batinku, tocana kali ini tidak menggunakan ham.<br />***<br />Semenjak kunjungan keluarga Suleyman Barinzi firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi.<br />Meski aku tetap menjalani hari-hari seperti biasa di Puri Poenariburg. Membersihkan setiap bagian dari kamar-kamar berukuran besar hingga halamannya yang banyak ditanami bunga lily dan bakung. Menjahit baju-bajuku yang koyak di atas menara dengan sebuah mesin pintal tua beroda besar. Dari sini aku sangat menikmati pemandangan sungai Arges yang berpapasan pegunungan Fagarsului. Hamparan rumput hijau di pebukitan di selingi perdu rimbun dan pohon-pohon semi hijau memukau. Puncak-puncak pinus berjajar memagari tepian hutan dan sepanjang jalan setapak menuju areal pedesaan. Putri Poenariburg bukan satu-satunya puri di Borgopass. Masih ada puri-puri lain tetapi yang terbesar dan terindah, juga tertua, adalah puri tempatku tinggal kini. Tentu saja aku bukan bagian sebenarnya dari puri. Artinya aku bukan bangsawan, hanya rakyat jelata yang beruntung dapat bekerja di sini. Beruntung?<br /><br />“Kau akan ke Borgopass?†mata Natalya membesar.<br />Pertemuan terakhirku dengan Mom dan adik-adik di meja makan malam itu masih membekas.<br />“Ya,†aku mengangguk murung. “Aku harus membantu Mom mencari uang. Untuk sekolah-sekolah kalian. Semenjak Pop meninggal kita selalu terlilit hutang. Aku tidak sanggup terus menerus membantu Mom di pertanian kolektif. Tubuhku terhitung kecil, aku tak sanggup mengoperasikan mesin pembajak raksasa itu.â€<br /><br />Kuceritakan pada Mom dan adik-adikku tentang iklan kecil di koran lokal yang memberitakan seorang bangsawan keluarga Graaf mencari gadis muda sebagai housekeeper.<br />“Mereka akan menghisap darahmu!†seru Leo khawatir. “Yang paling mereka sukai gadis-gadis muda sepertimu!â€<br /><br />Aku tertawa. Lalu terhenti tiba-tiba ketika Mom menatapku menghujam.<br />“Tentu Mom tidak percaya takhayul tentang Dracula, sang Pangeran Kegelapan itu kan, Mom?†aku menyelidik.<br /><br />Mom hanya terdiam. Tapi keinginanku sudah tidak dapat dibendung. Apapun petualangan menakukan yang akan kita temui itu akan jauh lebih baik daripada hanya terkurung dalam sebuah rumah beratap rendah yang kumuh, berdinding batu-batu hitam, dalam pakaian bernoda jelaga tertabur debu dari cerobong asap berbahan bakar batu bara. Rumania bukan sebuah negeri yang menjanjikan kemakmuran. Bahkan orang seperti Nadia Commaneci harus menyeberang ke Amerika karena penghasilannya sebagai pesenam kebanggan harus masuk kas negara. Apalagi gadis miskin sepertiku. Memang diktator Nicolai Ceausescu telah tumbang namun butuh waktu entah berapa puluh tahun lamanya membangun negeri yang telah porak poranda akibat korupsi dan ideologi yang salah kaprah. Meski berat hati Mom akhirnya mengijinkanku pergi menuju Borgopass.<br /><br />Perjalanan yang cukup menyenangkan kualami menuju Borgopass. Menaiki kereta api tua yang gerbongnya sudah berkarat. Tiket paling murah yang kubeli hanya menyediakan bangku kayu. Pemandangan indah yang kulalui menghibur hatiku. Melintasi Transsylvania, menuju Bistriz untuk selanjutnya berganti bus menuju Borgopass. Telaga-telaga hijau, sungai, rumah-rumah kecil seperti milikku dan juga puri-puri para bangsawan tersebar di lereng-releng bukit<br />“Minha…!â€<br /><br />Lamunanku terhenti. Tanganku nyaris tertusuk jarum pintal.<br />“Kita semua dipanggil tuan Armin,†Pietersky berdiri di pintu masuk.<br />Aku benci kebiasaannya yang suka mengendap-endap hingga tak kusadari kehadirannya. Bergegas aku merapikan pekerjaan dan bajuku lalu berlari turun menara menuju bangunan utama. Kalina dan Pietersky telah berada di sana, berdiri berjajar rapi di depan sebuah meja lonberkilat. Aku mengambil posisi paling kanan. Menelan ludah dengan gugup ketika tuan Armin Vambery menatapku lewat ujung matanya. Wajahnya yang tampan tampak pucat tersapu matahari yang baru menyapa setinggi separuh tiang. Garis menghitam membayang di kantung bawah matanya. Semakin misterius senyumnya dalam sapuan bayangan api tiga lilin yang menyala di atas wadah perak berukir. Aku menunggu dalam debar. Tiga bulan bekerja di puri Poenariburg bukan waktu yang cukup untuk mengenal siapa bangsawan pemiliknya. Yang kutahu ia adalah pengusaha muda, usianya tiga puluh tahunan, tampan, tapi dingin. Apa kegiatannya sehari-hari begitu mesterius. Ia jarang bicara, jarang tersenyum. Bahkan kali pertama aku melihatnya duduk di kursi makan, ditemani lilin dan segelas anggur merah, aku menyangka ia sedang meminum darah segar!<br /><br />“Duduklah,†tuan Armin Vambery mempersilakan.<br />Kami bertiga mungkin terlalu bodoh untuk memahami kalimat itu sehingga hanya membatu mendengarnya. Ia kembali mengulang perintah.<br />“Duduklah. Terserah di kursi manapun.â€<br />Bagai robot berjalan aku mengikuti Kalina mengambil kursi meja makan yang biasanya hanya diperuntukkan bagi para bangsawan. Aku duduk dengan tulang punggung tertekuk, tak berani tegak seakan merasa tak pantas duduk di atas kursi perak berukir berbantalkan beludru bersulam benang emas.<br /><br />“Sebelumnya aku mau minta maaf,†tuan Armin meneguk sejenak anggur merahnya. “Atas semua sikapku yang mungkin tak baik terhadap kalian.â€<br /><br />Sejenak aku bertatapan mata dengan Kalina. Mungkin perasaan kami sama, tuan Armin bukan jenis majikan yang kejam. Meski bayaran kami tak terlalu besar bahkan terkadang dibayarkan lebih dari tanggal sepuluh tetapi pekerjaan kami terhitung santai. Tak ada beban yang berlebih.<br />“Kalian tahu keadaan makin sulit akhir-akhir ini,†keluhnya. “Sangat sukar mendapatkan kredit dari perbankan. Suku bunganya terlalu tinggi padahal usahaku juga tidak seluruhnya lancar.â€<br /><br />Kami terdiam beberapa saat. Denting garpu tuan Armin beradu piring.<br />“Dinasti Graaf memiliki banyak puri sepanjang Transsylvania hingga Borgopass. Di antaranya diwariskan padaku. Aku tak sanggup mengurus semuanya, daripada rubuh tak berguna maka lebih baik kunegosiasikan dengan bank. Atau kujual. Akhir-akhir ini aku sibuk mencari pembeli yang tepat untuk puri-puri warisan dinasti Graaf. Orang-orang incaranku tak memberi pembayaran memuaskan, pihak perbankan pun tak menghargai nilai sejarah yang terkandung di dalamnya dengan takaran bernilai. Untuk puri Poenariburg, aku berpandangan lain.â€<br /><br />Aku menegakkan dagu. Mataku bersirobok dengan mata tuan Armin Vambery. Baru kusadari pandangan itu begitu sedih dan sering tampak melamun. Mungkin ia kesepian. Selentingan berita kudengar istrinya seorang artis opera yang cantik. Mereka telah menikah cukup lama tetapi tak memiliki anak hingga sekarang. Kehidupan keduanya yang bertolak belakang dan harus bepergian dari satu kota ke kota lain atau bahkan melanglang antar negara menyebabkan keduanya jarang bertemu.<br />“Aku memutuskan memberikan puri ini pada keluarga Suleyman Barinzi.â€<br />“Siapa mereka?†tanyaku tercatus tiba-tiba.<br /><br />Kupikir aku melakukan kesalahan telah terlepas bicara tetapi tuan Armin hanya menatapku sejenak.<br />“Seorang yang tinggal di bawah bukit, di desa Verlov. Tempat biasanya kau belanja beberapa keperluan dapur,†jawabnya.<br /><br />“Mereka kaya raya?†entah mengapa mulutku seperti baut yang kehilangan murnya.<br />Kalina mendengus tajam. Tapi Tuan Armin malah tertawa.<br />“Tak ada keturunan Turki yang kaya di Rumania,†jelasnya.<br />Maka aku benar-benar sangat heran mengapa warisan puri megah Poenariburg jatuh ke tangan Suleyman Barinzi.<br />***<br />Aku menatap lekat lukisan di dinding.<br />Matanya, sikap tubuhnya, ikal rambutnya. Hidung hingga dagunya sangat mirip tuan Armin Vambery. Mungkin ini memang benar ia tetapi mengenakan pakaian yang kutaksir modenya berasal dari beberapa abad lampau. Kami sedang membantu tuan Armin mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ikut pindah. Beberapa saat aku terpaku mengagumi lukisan diri itu. Eksotis. Meski tatapan matanya dingin.<br />“Itu kakek buyutku, Leosonov Vambery,†sesosok tubuh tiba-tiba berdiri di belakang.<br />“Oh?†aku mengerutkan kening.â€Lalu siapa dinasti Graaf sebenarnya?â€<br />“Ya, ya,†tuan Armin mengangguk-angguk. “Banyak rumor beredar ya? Graaf adalah dinasti ibuku, makanya aku memakai nama Vambery. Graaf nama yang menyeramkan, mungkin, pasti kau pun sering mendengarnya.â€<br /><br />Aku menelan ludah.<br />Kalina dan Pietersky berada di lantai bawah mengemasi perabotan. Di lantai dua kami hanya berdua. Dingin. Hening. Puri tua yang telah berdiri ratusan tahun ini seperti menjulurkan tangan-tangan tak nampak yang meremas jantungku. Hembusan nafasku terasa panas. Aku selalu mendadak merasa demam bila dalam keadaan takut atau panik.<br />“Apa rencanamu sebenarnya sebelum memutuskan bekerja di sini, Minha?†tuan Armin mengalihkan pembicaraan.<br />Aku terdiam sesaat.<br /><br />“Sebenarnya…†aku ragu-ragu, “Usai baccalareate aku ingin pergi dari Cluj. Pokoknya keluar dari kotaku. Kalau mungkin ke Bukarest untuk masuk universitas. Tapi Mom berkata tak sanggup membiayai, makanya aku mencari kerja dan sampailah di Borgopass ini.â€<br />“Kau suka di sini?â€<br />Kembali aku terdiam. Bahkan menelan ludah.<br />“Oh ya,†tuan Armin menahan senyum. “Kau takut padaku. Kau takut aku menghisap darahmu seperti legenda Vlad Dracul yang konon berasal dari dinasti Graaf.â€<br /><br />Aku tak tahu harus bagaimana. Mengiyakan mungkin akan menyinggung perasaannya, tetapi menyangkal pun rasanya enggan. Karena memang sesungguhnya aku takut padanya. Pada wajah tampannya yang dingin, pucat dan misterius. Pada sikap sopannya yang menyentuh perasaan perempuan. Konon para pangeran memang pandai merebut hati karena berniat melukai korbannya. Beberapa detik kemudian tuan Armin Vambery tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala.<br />“Aneh, untuk orang berpendidikan sepertimu masih mempercayai isapan jempol seperti itu.â€<br />Aku membisu. Selanjutnya berkosentrasi pada lukisan di dinding, mengusap debu yang menempel di atas kanvas dan pigura. Jika sudah bersih aku akan menurunkan dan membungkusnya dengan kertas koran.<br /><br />“Kakek buyutku berbeda jauh dengan Vlad Dracul, Minha,†gumamnya.<br />Tanganku berhenti mengusap.<br />“Kau ingin mendengar cerita sebenarnya?†ia bertanya sambil melangkah perlahan mendekati lukisan besar di dinding. Kami sama-sama tertegun tertengadah menatapnya. Aku lalu mengangguk ragu, mengerutkan kening, ingin mendengar cerita dari bangsawan yang jarang memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya.<br /><br />“Vlad Dracul nama bangsawan yang hidup di abad XV,†kisahnya pelan. “Demi mengokohkan kekuasaan ia mondar-mandir dari tahun 1456-1462 mencari dukungan penguasa Hongaria hingga Turki. Tetapi Sultan Mehmed justru menyerbu ibukota Vlad Dracul, Tirgoviste. Kekalahan menyakitkan ini membuatnya dendam luarbiasa.â€<br />Aku menyimak baik-baik cerita itu.<br /><br />“Vlad Dracul menolak membayar pajak ke Turki. Ketika ia berhasil mengatasi kekalahannya ia menjadi penguasa kejam tak berampun yang berkuasa dengan menumbuhkan rasa takut ke dalam hati rakyatnya. Takut yang menggentarkan karena raja mereka begitu mudah mengalirkan darah untuk sesuatu yang tak ada alasannya. Itulah awal legenda bahwa ia bangsawan yang haus darah.â€<br /><br />Aku bergidik.<br />“Vlad Dracul hanya berkuasa sebentar di tahun 1476. Sebulan kemudian ia tewas di dekat Bukarest ketika melawan tentara Turki. Ia mati merana dalam kesepian karena konon istrinya pun dibunuhnya sendiri.â€<br />Aku menghembuskan nafas. Tak tahu harus berkomentar apa.<br />“Apa...ada hubungannya semua cerita ini dengan…dengan keputusan Tuan memberikan puri Poenariburg pada keluarga Suleyman Barinzi?â€<br /><br />Tuan Armin Vambery tersenyum samar.<br />“Barangkali begitu,†ia tampak termenung. “Semacam perasaan bersalah bahwa nenek moyangku pernah membantai orang-orang Turki. Kalau kita masih memiliki nurani sebagai manusia tentu tidak setuju terhadap teori Machiavelli. Kamu tahu dia, Minha?â€<br /><br />“Ya,†aku mengangguk. “Filsafat tenar dari Italia yang mengatakan kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Bahkan kekejaman, tipu daya, segala jalan yang akan mengokohkan kedudukan seseorang yang dianggap pantas menduduki tampuk penguasa.â€<br />“Tuan Armin Vambery memandang lukisan kakek moyangnya dalam pandangan menerawang.<br />“Aku lebih bangga mengaku sebagai cucu Leosonov Vambery yang hanya seorang pengusaha kecil, dibanding Vlad Dracul yang tersohor sebagai bangsawan kaya tetapi berhati binatang.â€<br /><br />Rasanya kisah tragis memilukan itu masih ingin kudengar kelanjutannya. Tapi tuan Armin Vambery tampaknya tak mau bercerita lebih lanjut. Ia kembali banyak membisu. Diam. Aku pun mungkin akan berkelakuan sama bila tahu berasal dari keturunan seorang penghisap darah. Mungkin ia pun mengalami kegagalan membina hubungan dengan banyak pihak, termasuk istrinya sendiri. Siapa dapat berlega hati berhubungan dengan orang yang memiliki masa lalu mengerikan sepertinya.<br />“Minha, sebelum pergi aku ingin berpesan. Kau tidak terikat dengan puri ini. Kau boleh pergi atau mengabdi pada Suleyman Barinzi. Mereka bukan keluarga bangsawan sepertiku. Mungkin mereka tak dapat menggajimu, tapi kau pasti akan senang mengenal mereka. Keluarga sederhana yang hangat dan sangat religius. Tidak seperti suku bangsa kita yang hidup tanpa keyakinan apa-apa.â€<br /><br />Ada rasa haru menyelinap. Ia tampak lelah menyembunyikan masa lalunya.<br />“Kau tentu pernah berputus asa kan?†tebaknya. “Hidup terlalu berat untuk orang yang tidak punya pegangan. Dalam kondisi negeri kita porak poranda seperti ini hampir setiap suku bangsa di negeri kita mengalami guncangan. Suku bangsa kita—Rumania--, Gipsi, Ukraina; kecuali satu golongan. Orang-orang Turki yang tinggal di negeri kita tetap hidup bersemangat sepahit apapun himpitan hidup. Kau perlu mencontoh semangat hidup mereka.â€<br /><br />Aku tergugu. Tuan Armin Vambery yang misterius itu sejenak berubah begitu bijak. Aku semakin tak tahu harus berkata apa ketika ia menyelipkan secarik amplop ke genggamanku.<br />“Untukmu, jika berniat kembali mencoba ke Bukarest.â€<br />***<br />Uang duaribu lei itu kusimpan baik-baik.<br />Kenangan terakhirku dari sang raja Kegelapan, Armin Vambery. Aku menggigil ketika membaca koran suatu pagi mengabarkan seorang pengusaha muda mati bunuh diri. Masih terkenang percakapan terakhir kami tentang pesannya, betapa hidup ini membutuhkan sebuah pegangan pasti. Tanpa itu kita tak akan mampu bertahan menghadapi benturan. Sama seperti yang dialaminya, hidup dalam bayang-bayang kegelapan. Tanpa seorang pun yang memahami akan dirinya mulai rekan bisnis hingga istrinya sendiri. Ada rasa iba yang larut dalam hatiku meski aku tahu itu terlambat datangnya. Ia sudah mengakhiri hidup sama buruknya seperti Vlad Dracul.<br /><br />Kulipat buru-buru koran yang membuat mataku basah tiba-tiba.<br />Suara anak-anak kecil berlarian mengejar ayam terdengar hiruk pikuk di halaman belakang. Aku masih belum memutuskan akan pergi ke Cluj, Bukarest atau tetap di Borgopass. Aku masih belum yakin ke mana harus melangkah. Tapi kurasa kata-kata tuan Armin Vambery menyiratkan kebenaran. Bergaul dengan keluarga Suleyman Barinzi sungguh mengesankan. Sikap tulus, kerja keras, dan keyakinan mereka menggugah sudut hatiku. Bahkan Kalina dan Pietersky yang begitu dingin sekarang sesekali menyungging senyum.<br /><br />“Masak apa kita, Kalina?†tanyaku di dapur sore itu.<br />“Hanya kentang rebus,†sahutnya sambil tersenyum. Ia tampak cantik kalau begitu.<br />“Hari ini kita hanya masak sekali.â€<br />“Ya,†ujarnya kembali. “Mereka hanya makan sekali hari ini setelah sepanjang hari tak makan dan minum. Apa ya…namanya?â€<br /><br />“Puasa,†jawabku sambil membantunya mengaduk kuali. “Mereka berpuasa bila sangat sulit mendapatkan sesuatu untuk dimakan.â€<br />Aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Mengamati anak-anak dan cucu Suleyman Barinzi sibuk mengurus ayam-ayam. Keluarga miskin itu tetap tampak berbahagia dalam situasi buruk seperti ini. Seharusnya tuan Armin Vambery mengenal mereka lebih lama sehingga membangkitkan semangat hidupnya. Bahwa hidupnya yang terlilit hutang, hubungan yang buruk dengan istrinya, anak yang tak kunjung hadir, usahanya yang berjalan tersendat, masih akan memiliki harapan andai ia memiliki keyakinan. Aku merasa beruntung memiliki kesempatan tinggal lebih lama di puri Poenariburg, mengenal kakek tua Suleyman Barinzi yang bijaksana.<br /><br />Keterangan:<br />Tocana: semacam semur<br />Ham: daging babi<br />Baccalereate: ujian akhir<br />Lei: mata uang Rumania</span></u></p>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-78480676208617366002007-09-12T20:23:00.001-07:002007-09-12T20:56:05.930-07:00Petualangan Rima<p style="text-align: justify;"><span style="color: rgb(0, 0, 255);font-size:130%;" > </span></p><div style="text-align: justify;"><center><br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Penulis:Dian Suhesti</span></center></div><p style="text-align: justify;">Wuiiih… akhirnya kesampaian juga cita-citaku selama ini. Ke Jakarta! Bayangkan, ke Jakarta! Kota yang selama ini hanya dapat aku lihat di peta tua milik sekolahku. Itu pun sudah pudar dan tak jelas warnanya, sehingga hanya terlihat bentuk kotak saja. Dan kini… aku benar-benar akan ke Jakarta!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Takzim kucium punggung tangan si Mak yang tampak terharu. Mata Mak memerah menahan tangis. Oalah, Mak… seperti aku mau pergi bertahun-tahun saja. Aku hanya sebentar kok, Mak! Candra, adikku yang duduk di taman kanak-kanak itu tampak bersembunyi di balik badan si Mak. Sesekali kepalanya menyembul, mengintip malu-malu.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Sing ati-ati yo nduk…†lirih suara Mak seraya membelai kepalaku yang terbungkus jilbab mungil. Aku mengangguk pasti, meringis memperlihatkan gigi-gigiku yang kecoklatan, gupis.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Om Wisnu mengangkat tas punggungku yang penuh tambalan di sana-sini. Memasukkan ke dalam mobilnya. Tante Sundari menyalami si Mak seraya pamit. Jemari lentiknya menjawil pipi Candra yang gembil. Vena serta Ivan anak Om Wisnu dan Tante Sundari berlari menuju mobil seraya berteriak, “Hore…! Pulang…pulang!â€. Tante Sundari merengkuh pundakku menuju mobil.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Weee… mobilnya semriwing, anyep! Ragu aku masuk ke dalam mobil yang mulus, bersih dan harum ini.<span class="fullpost"><br />“Ayo Ima, masuk,†suara Om Wisnu membuatku tergagap, merapatkan mulutku yang sedari tadi terbuka. Terpana oleh mobil… apa itu namanya? Yang isinya bisa untuk kakek, nenek, tante, aa, teteh… wis pokoke koyo iklan sing ning tipi!</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Cepat kulepas sepatu bututku yang tampak kumal. Takut mengotori isi mobil….<br />“Hahaha...†serta merta tawa Vena dan Ivan membahana sambil menunjuk-nunjuk ke arahku yang tengah mencopot sepatu.<br />“Lho, Ima, jangan dilepas sepatunya. Ayo dipakai lagi,†suara lembut Tante Sundari membuat merah di wajahku berangsur menghilang. Merah akibat malu pada Vena dan Ivan. Lha wong aku ndak tau, kok malah ditertawakan…?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Perlahan mobil bergerak menjauh. Terlihat si Mak melambaikan tangan seraya menyusut air mata dengan ujung kebayanya. Candra beserta anak-anak kecil lainnya berlari-lari mengikuti mobil yang kami tumpangi. Maklum, baru kali ini ada mobil bagus masuk ke desa kami. Biasanya hanya mobil bak terbuka milik Mbah Haji Karim yang kami lihat mondar-mandir untuk mengangkut hasil kebunnya ke pasar. Tubuh Mak dan Candra makin lama semakin terlihat kecil dari kejauhan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Bapak…! Itu Bapak!†teriakku begitu melihat Bapak dari kejauhan berjalan tertatih memikul singkong yang dipetik dari kebun Mbah Haji Karim. Aku segera berlari turun setelah Om Wisnu menghentikan mobilnya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Bapak…!†Bapak segera menurunkan pikulannya, mengangkat tubuhku tinggi-tinggi. Tawa khas Bapak yang lebar itu membuatku ikut tertawa. Lembut kupegang wajah hitam Bapak yang basah oleh keringat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Ojo nakal ning omahe Om Wisnu, sembahyang ojo nganti kelalen yo, nduk.†Aku mengangguk kecil mendengarkan nasihat Bapak yang selalu membuat hati mak nyess….<br />Om Wisnu yang sudah berada di dekat kami tersenyum dan menyalami Bapak. Aku melorot turun dari gendongan Bapak, melirik warung nasi Lik Warti.<br />Nampak Lik Warti melambaikan tangannya padaku sambil melayani beberapa pembeli. “Wah, enak’e yang mau ke Jakarta, jangan lupa oleh-olehnya ya, Ma.â€<br />Aku hanya meringis kepada Lik Warti yang baik hati itu.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Segera kunaiki mobil setelah Om Wisnu menyelesaikan obrolannya dengan Bapak. Tak lupa kucium punggung Bapak yang kekar dan kasar itu. Teduh sekali mata Bapak, aku tak pernah bosan memandangi manik mata Bapak.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Mobil yang kami tumpangi berjalan perlahan meninggalkan desaku yang indah. Melewati jalanan berbatu yang becek bekas terkena siraman air hujan semalam. Vena dan Ivan sudah terlelap dengan mimpinya. Sedangkan aku tak bisa memejamkan mata membayangkan kota Jakarta yang sebentar lagi aku datangi. Wah… teman-temanku di sekolah pasti akan bengong mendengarkan ceritaku dari Jakarta. Kota yang selama ini selalu menjadi impian kami, anak-anak desa.<br />***</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Haaah… mulutku menganga lebar menyaksikan bangunan besar di hadapanku. Rumah Om Wisnu! Guediii sekali rumahnya, bertingkat, pagarnya tinggi menjulang! Halamannya berumput hijau luas, terdapat kolam ikan besar di tengah-tengah taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni itu. Halaman besar seperti ini di desaku sih untuk bal-balan. Tante Sundari merengkuh pundakku mengajak berkeliling.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Memasuki rumah aku lebih takjub lagi. Lantainya bersih, mengilap. Bisa buat becermin! Aku ingat rumahku yang tak berlantai, hanya tanah saja. Weeeh… kok Vena dan Ivan ndak membuka sepatunya lebih dulu? Buru-buru kucopot sepatuhku, kutenteng mengitari rumah yang perabotnya besar-besar. Aku tertawa kecil melihat benda besar di setiap sudut rumah ini. Kok tempayan dipajang? Kalau di desaku, digunakan untuk tempat air. Memang sih, tempatnya lebih bagus, langsing dan tinggi, berwarna-warni, berukir pula. Kalau tempayan di rumahku gendut, berwarna merah kecoklatan saja tak ada gambarnya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku terkesima ketika memasuki halaman belakang. Ada kolam renangnya! Ayunan dan jungkit-jungkit ada di sisi kolam renang yang besar itu. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Nanti Ima bisa berenang di situ dengan Vena dan Ivan,†ujar Tante Sundari seraya menunjuk kolam besar itu. Aku tersenyum, senang sekali. Aku meringis membayangkan halaman belakang rumahku yang sempit. Tidak ada kolam renang dan ayunan, yang ada hanya kandang ayam yang hampir roboh. Sehingga kalau harus ke halaman belakang mau tak mau hidung siapa pun pasti akan berkernyit, mencium bau kotoran ayam.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kami menuju ke lantai atas. Mataku menerawang menatap langit-langit rumah yang tinggi sekali, terdapat lampu kristal berukuran besar menggantung. Beda sekali dengan genteng rumahku yang selalu bocor sewaktu hujan. Tante Sundari membuka pintu kamar, dan tambah melongo-lah aku. “Ini kamar Ima selama menginap di sini.†</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku ragu-ragu untuk masuk. Tapi Tante Sundari mendorong tubuhku dengan halus. “Ima istirahat dulu ya, kalau butuh apa-apa panggil Bik Nah saja. Kamar Vena dan Ivan ada di depan kamar ini kalau kamu mau bermain sama mereka.â€</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tante Sundari keluar kamar dan menutup pintu. Bola mataku berkeliling menatap perabotan di kamar ini seakan tak percaya. Kasur besar, lemari pakaian yang bisa memuat baju beberapa keluarga di desaku, meja belajar bertingkat, televisi… wis pokoknya banyak lagi! Aku melompat duduk di atas kasur. Dan terpekik kagetlah aku. Segera kujauhi kasur berukuran besar itu. Aku mental! Ada apa ya, mungkin ada sesuatu di bawah selimutnya. Kusibak selimut bercorak bunga-bunga itu dengan hati-hati. Tidak ada apa-apa! Dengan hati berdebar kusentuh kasur. Oalah…! Ternyata kasurnya empuk dan membal! Untuk beberapa menit aku duduk melompat-lompat di kasur. Aku tertawa geli, ingat dipan kayu reyot di rumahku yang biasa aku tiduri bersama dengan Candra. Tak lama, aku pun terlelap dengan senyum mengembang, bermimpi memakai gaun putih dan mahkota. Menjadi putri di istana yang megah.<br />***</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Siapa yang menyangka aku akan ke Jakarta? Kalau bukan karena Om Wisnu mungkin aku tak akan pernah mendatangi kota impianku ini. Keluargaku mengenal Om Wisnu ketika tanah luas milik mbahku dibelinya. Untuk urusan bisnis katanya. Sehingga Om Wisnu seringkali mengunjungi desaku untuk menengok tanah yang kini menjadi miliknya. Terakhir Om Wisnu ke desaku beserta dengan keluarganya. Dan saat hendak pulanglah Om Wisnu mengajakku serta ke Jakarta untuk mengisi liburan.<br />Dengan wajah memelas menatap si Mak, akhirnya aku mendapatkan restu untuk ke Jakarta selama dua minggu. Toh, liburan kenaikan kelas masih lama berlangsung. Oh ya, aku berhasil naik ke kelas 5 SD dengan nilai tertinggi di kelas.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Keluarga Om Wisnu memang baik sekali, dan malam ini kami berada dalam mobil untuk berkeliling Jakarta!<br />Lagi-lagi aku heran menyaksikan kota Jakarta. Bayangkan, sekarang mobil yang kami tumpangi berada di atas jalan layang yang tinggi! Jalan layangnya bertingkat banyak! Kok bisa, ya?!<br />Wuiiih… Om Wisnu membelokan mobilnya memasuki bangunan besar yang indah. Banyak lampu menyorot, orang lalu lalang dan banyak sekali mobil yang diparkir. Kubaca perlahan tulisan besar yang terang oleh lampu. Mal Taman Anggrek. Ooo… ini tho yang namanya mal. Kata Pakde Karso yang pernah ke Jakarta, mal itu apik. Weeeh, ini sih apik tenan!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Memasuki mal tubuhku menggigil! Kok tempat tertutup begini anginnya anyep tenan? Semriwing! Walah! Kepiye iki? Kok tangganya mlaku sendiri! Vena dan Ivan berlari di atas tangga yang berjalan sendiri itu! Aku takut, aku hanya berdiri mematung melihat Om Wisnu dan Tante Sundari semakin menjauh ke atas. “Lho, Ima…?†Om Wisnu kembali turun begitu sadar aku masih di bawah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Akhirnya Om Wisnu berhasil membujukku dengan susah payah. Dengan berpegangan kuat sekali pada sisi tangga aku meluncur ke atas. Oalah… lututku gemetaran semua menahan pipis. Aku takut jatuh! Akhirnya aku bisa bernapas lega begitu kami sampai di atas. Uh, kalau ingat kejadian tadi aku malu sekali. Kok aku kampungan sekali ya?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Luar biasa mal ini, semuanya ada di sini! Baju dengan berbagai macam model, jepit rambut, tas, jam tangan dan… sepatu. Mataku menatap sepatu di ruangan berkaca itu dengan takjub. Sepatu itu cantik sekali. Berwarna biru muda dengan pita di pinggirnya, dan talinya menjuntai. Perlahan mataku menatap ke bawah, memperhatikan sepatuku dengan senyum pahit. Ujungnya bolong, hingga kaus kaki yang kupakai tampak menyembul keluar.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku masih heran ketika kami sudah meninggalkan arena lapangan es batu yang besar itu. Kok bisa, es batu dibuat lapangan untuk meluncur. Apa namanya itu? Ice… ice skating. Ya, itu dia! Vena dan Ivan hebat sekali bermain ice skating. Aku? Ya jelas hanya duduk menonton.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Banyak sekali pasangan yang bergandengan tangan, sampai… hiii pelukan kok di tempat umum. Bajunya itu lho… ndak takut masuk angin apa ya? Hei, isin, Mas, Mbak! Ingin teriak kok ya lidahku kaku.<br />Kami masih berkeliling ketika jam berwarna pink yang dipakai Vena menunjukkan angka 18:10. Duh, Om Wisnu kok tidak mengajak kami untuk shalat Maghrib dulu ya? Mataku berkeliling mencari-cari ruangan bertuliskan mushala atau masjid. Aku semakin resah ketika jarum jam menunjukkan pukul 18:15 dan aku belum juga melihat tempat untuk shalat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tiba-tiba kami berbelok ke arah tempat makan. Kueja… Wendy’s. Banyak sekali pengunjung yang tengah makan maupun antri. Tante Sundari memilih tempat yang cukup nyaman. “Ima mau makan apa?†Tanya tante Sundari padaku yang tentu saja bingung. Lha, wong aku ndak tahu apa-apa kok. Sementara Vena dan Ivan dengan fasih mengusapkan pesanan tanpa melihat daftar menu yang terpampang. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Sama seperti Vena saja, Tante,†akhirnya aku mengikuti Vena walaupun aku tak tahu apa itu cheese burger dan milkshake.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sementara Om Wisnu mengantri, aku mencoba mengajak Tante Sundari mencari tempat shalat. “Wah, nanti saja dijamak di rumah, Ma. Nanti ngantri makanya lama lagi, mushalanya juga susah dicari,†ujar Tante Sundari sambil tersenyum. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Loh… kok dijamak? Kata Bu Muthmainah guru ngajiku di desa, kalau tidak sangat terpaksa shalat tidak boleh dijaman. Akhirnya aku ijin ke toilet untuk buang air kecil. Alhamdulillah, di samping toilet ada ruang ganti pakaian untuk para pegawai. Dengan ijin pegawai di situ aku pun shalat sendiri. Heran sekali aku, mal sebesar ini tak ada satupun tempat untuk shalat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku bingung memperhatikan tombol seperti kran itu. Kok yang keluar saus sambal. Apa ada orangnya di dalam kran ngulek sambalnya ya? Wuuiih, ndak seperti di desa, sambalnya harus diulek sampai halus dulu.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Selama memakan hidangan, aku teringat keluargaku di desa. Pasti saat ini Bapak, Mak, dan Candra tengah memakan sayur daun singkong dan tempe. Susah kutelan makanan lezat ini. Rasanya aku ingin sekali membungkus makanan ini dan kubawa pulang untuk Bapak, Mak, dan Candra.<br />Asereje… reje… asereje… #$@&…. Walah-walah… lagu apa itu? Aku terbengong-bengong menyaksikan Vena, Ivan, dan Bik Nah bergoyang di depan televisi. Semua tangan, pinggul, lutut sampai kaki tak ada yang diam!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Ayo, Neng Ima, ikut goyang,†seru Bik Nah begitu melihatku tanpa menghentikan badannya untuk bergoyang. Vena dan Ivan tampak hafal betul dengan gaya penari di televisi itu. Lha… lha… kok nyanyi pake baju begitu? Kurang bahan apa ya?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Iya, Ma, ayo ikuti saja,†Vena menarik tanganku. Aku hanya menggeleng. “Yuhu! Tarik!†geli juga aku melihat Bik Nah yang bergoyang asal saja seperti orang mabuk!<br />Aku teringat teman-temanku di desa. Sore seperti ini pasti mereka sedang berlari-lari menuju surau untuk belajar mengaji. Kami selalu berebut untuk dapat duduk paling depan, dekat Bu Muth yang sabar itu. Aku jadi teringat percakapanku dengan Vena kemarin sore. “Kalau sore begini, aku pasti belajar mengaji di desa, Ven. Kamu belajar ngaji di mana?â€<br />“Ngaji? Itu sih kerjaan ibu-ibu, Ma. Mending juga nonton VCD atau main PS, anak kota jarang ada yang ngaji.â€<br />Ooo… aku hanya memonyongkan bibir seraya mengangguk-angguk.<br />***</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Ya, posisi tersebut memang sangat strategis. Kita dapat membangunnya di sana.â€<br />Aku tak mengerti dengan percakapan Om Wisnu dengan beberapa om-om lainnya. Bajunya bagus-bagus seperti pemain sinetron di televisi yang sering kutonton di kantor kepala desa. Jas, dasi, dan telepon genggam yang sebentar-sebentar selalu berdering. Hanya saja ada yang aneh. Kok kerja pakai helm, biasanya yang pakai helm itu kan pengendara motor. Kata Tante Sundari, Om Wisnu dan teman-temannya yang memborong dan merancang bangunan-bangunan besar di kota Jakarta ini. Apa itu? kontraktor?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku ingat Bapak. Saat ini pasti Bapak sedang bergelut dengan kebun Mbah Haji Karim. Memetik singkong, ketela, sayur mayur lalu mengangkutnya dengan peluh bercucuran di bawah teriknya matahari. Membuat kulitnya bertambah kelam. Ah Bapak, tak bisa kubandingkan dirimu dengan om-om itu. Kau terlalu hebat untukku.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Seminggu di Jakarta sudah mulai membuatku rindu pada desaku yang sejuk. Memang kuakui Jakarta sangat modern, segalanya tersedia di sini. Bangunan-bangunan megah menghiasi sepanjang jalan raya yang penuh dengan kendaraan bermotor, yang langka sekali untuk ditemui di desaku. Paling-paling andong yang berjalan pelan karena jalanan yang licin karena tanah lihat yang basah. Kalaupun harus ke sekolah yang berkilo-kilo jauhnya kami bersama-sama berjalan kaki dengan telanjang kaki, menenteng sepatu agar sampai di sekolah sepatu kami tetap bersih.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Namun ada keceriaan di sana. Bersenda gurau dengan teman-teman atau sambil berjalan, kami berteriak-teriak menghafal surat Al-Quran. Banyak tanah lapang untuk bal-balan, ataupun untuk mengangon ternak. Terkadang aku bersama teman-teman menangkap kunang-kunang di pematang sawah bila malam tiba. Bila ada waktu senggang kami bersama-sama berenang dan menangkap ikan di sungai jernih dekat kaki bukit. Semua itu tidak aku dapati di sini.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dan ketika Om Wisnu akan berangkat ke desaku rasanya aku ingin ikut saja. Tapi Tante Sundari melarangku. “Liburannya kan masih seminggu lagi, Ma, nanti saja ya bareng-bareng sama Tante, Vena, dan Ivan,†mana bisa aku membantah Tante Sundari yang baik hati itu. Akhirnya akupun tetap di Jakarta menunggu minggu berikutnya.<br />***</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bukannya aku tak gembira berada di Jakarta sehingga aku merasa senang sekali ketika hari ini aku akan kembali ke desa. Jakarta kota yang bagus, hebat dan luar biasa. Hanya saja aku rindu desaku. Rindu dengan mainan gobak sodor yang selalu kami lakukan di lapangan luas pada sore hari, rindu ke sekolah bersama teman-teman sambil berteriak-teriak menghapal Al-Quran, dan masih banyak lagi yang tidak bisa aku dapatkan di sini, di Jakarta.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bagaimana bisa aku bermain dengan anak-anak lain di komplek perumahan tempat keluarga Om Wisnu tinggal, lha wong Vena dan Ivan saja tak mengenal anak tetangga sebelah rumah. Mau main gobak sodor… tak ada tanah lapang, yang ada hanya perumahan dan pertokoan. Menangkap kodok di pematang sawah? Ndak mungkin! Mandi di sungai? Walah… ya ora iso! Lah wong kaline butek kabeh!<br />Akhirnya aku akan kembali hari ini. Tunggu aku desaku tercinta. Akan kubawa sejumput cerita tentang Jakarta pada teman-teman dan tentu saja pada Bapak, Mak, dan Candra. Tentang hebatnya Jakarta. Yang berbeda dengan desa kami.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Perlahan mobil yang kami tumpangi memasuki gerbang desa, melewati kebun sayur Mbah Haji Karim yang terlihat tidak seluas dulu, dengan pemetik sayur tak sebanyak dulu. Kucari Bapak, tak terlihat.<br />Lapangan luas yang biasanya ramai terlihat lengang. Sepi. Tak ada anak-anak seusiaku yang bermain gobak sodor maupun mengangon ternaknya. Berganti dengan mobil-mobil besar yang terbuat dari baja dengan deru suaranya yang menggaung. Mengeruk tanah, membabat pohon-pohon di tepian lapangan.<br />Aku tak mengerti. Mengapa sawah-sawah dengan padinya yang mulai menguning itu diberi tali-tali panjang di sekelilingnya dengan patok-patok yang ditancapkan? Ke mana petani-petani yang biasa bergelut dengan lumpur dan kerbaunya?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku semakin tak mengerti ketika penduduk tak lagi berwajah ramah dengan senyum yang mengembang setiap harinya. Mengapa kesenduan yang menggayut di wajah mereka. Mak? Bapak? Ada apa?<br />Di tepi lapangan kulihat beberapa orang bergerombol. Om-om itu! Ya! Itu teman-teman Om Wisnu. Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan mereka. Om Wisnu turun dengan senyum mengembang, berjabat tangan dengan teman-temannya. Aku tidak tahu, mengapa mereka ada di sini. Di desaku tercinta. Aku juga tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.<br />Namun sempat kubaca tulisan besar pada map hijau yang dipegang Om Wisnu. PROYEK PABRIK, PERUMAHAN DAN PERTOKOAN DESA PERMAI SARI.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ramadhan 1424 H<br />Teruntuk keponakanku tersayang M. Faqih Rabbani & Naura Adila Ramadhani<br />Tumbuhlah menjadi mujahid/mujahidah sejati!<br />Catatan:<br />Bal-balan: sepak bola<br />Kepiye iki: bagaimana ini<br />Kelalen: terlupa<br />Anyep tenan: dingin benar<br />Gendeng: genteng<br />Mlaku: berjalan<br />Isin: malu<br />Mengangon: menggembala<br />Gobak sodor: Galasin<br />Kaline: Kalinya<br />Omahe: rumahnya</p>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7757188033192333849.post-14526364874322191012007-09-12T20:21:00.000-07:002007-09-12T20:56:05.930-07:00VIRUS GANTENG<div style="text-align: center;"><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Penulis:dr. Malik Soe</span></div><p style="text-align: justify;">“Oh Ryan. Rambut jigrakmu! Kulit putihmu! Hidung mancungmu! Aduh kamu bikin aku deg-degan. Kamu tampan, jantan, dan meyakinkan,†gumamku dalam hati.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Kini aku sedang merenung. Di kamar kost ku. Tepat pukul sepuluh malam. Malam Senin 7 Januari. Membuka diary biruku. Di temani album kenanganku dulu. Baru saja aku selesai salat isya. Telat memang. Seharian habis ngerjain tugas kelompok. Bareng Ryan. Ryan Yuzenho.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Aku biasa dipanggil Dwi. D-W-I. Anak kampung. Maklum dari kota kecil di Jawa Tengah. Blora aku kuliah di Bogor. Tempat yang nggak kusangka akan kusinggahi dalam perjalanan hidupku. Tepatnya di IPB. Semester tujuh. Awalnya sih dari saran bapakku. Biar nanti selesai kuliah bisa membangun desaku. Yang notabene daerah pertanian. Juga karena prospeknya bagus (katanya sih). Apalagi pertanian mem-booming saat krisis melanda Indonesia. Beberapa tahun kemarin. Pertengahan 1997.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Meski dengan berat hati akhirnya kuterima juga saran bapakku. Bisa dibilang sayang, bisa juga syukur. Teman-temanku kan pada ngelanjutin ke kota yang dekat-dekat aja. Ke Semarang, Solo, Jogja, dan Magelang. Katanya sih biar bisa sering pulang. Apalagi bagi yang homesick. Ada juga karena ngikut si doi. Biar bisa lebih lengket. Enak ya? Kasihan deh aku? Masih jomblo!<span class="fullpost"><br />***</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku kini sedang sendiri. Aku menderita. Kalo masalah duit sih wajar ya. Maklum anak kost. Tapi ini lain. Aku bener-benar menderita. Terutama batinku. Aku sedang terserang penyakit. Penyakit aneh bin ajaib. Penyakit yang tidak tahu apa penyebabnya. Bahkan obatnya pun aku belum tahu. Penyakitku ini sangat berbahaya. Apalagi dalam budaya kita Indonesia. Budaya timur. Nggak sesuai.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kalo penyakit Aids kan jelas. Penyebabnya virus. Begitu juga dengan penyakit SARS (Severe Accute Respiratory Syndrome) yang lagi marak akhir-akhir ini. Penyakitku ini memang unik. Mungkin banyak juga yang mengalami. Mau kusebut penyakit A. terlalu dini aku mendiagnosanya. Begitupun jika aku menyebut ini penyakit B. Kurang tepat juga.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Gejala penyakitku ini aneh. Selalu deg-degan, terpesona, kagum, and anymore. Susah aku mendaftarnya. Penyakitku ini muncul setiap saat. Entah pagi, siang, sore, maupun malam. Dan juga di mana saja. Di jalan, mall, kampus, toko buku, kost-kostan, dan di kamar saat baca atau lihat-lihat gambar. Bahkan bisa dalam mimpi. Saat penyakit ini muncul badanku tetap sehat, fit, nggak lemas. Dan nggak pusing. Jadi nggak butuh parasetamol. Saat aku terserang aku hanya ingin dekat dengan seseorang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tepatnya seorang cowok. Karena sosok cowoklah yang jadi penyebebabnya. Aneh kan? Bin ajaib lagi! Kusebut penyakitku ini “penyakit suka†ama cowok. Aku kagum pada cowok-cowok “gantengâ€, tampan, macho, dan berpenampilan menarik. Penyakitku ini datang sangat cepat. Namun bisa hilang dengan sendirinya. Dan juga bisa muncul setiap saat. Yah, seperti virus. Namun bukan seperti virus HIV, virus influenza, dll. Virus ini nggak ada dalam kamus kedokteran. Nggak teridentifikasi secara ilmiah. Juga nggak punya nama latin. Kusebut virus ganteng. Kusingkat V-G. tapi membacanya Vi-Ji. Biar keren dikit.<br />***</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Yah, udah pukul 23.00. Lanjut aza ya? Seru kan! About Virus Ganteng. Judul yang unik. Seperti nama penyakitnya. Kudapat dari ide seseorang. Ayu Safitri. Temanku yang kini jauh di sana. Di Malang. Semoga sukses. Dan jadi wanita solehah. Amin. Lanjut lagi ya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Sebenarnya wajar. Bukankah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Di mana dalam proses penciptaan-Nya dilengkapi dengan beragam potensi kehidupan. Termasuk potensi tertarik satu dengan lainnya. Misalnya saja temanku Doni yang suka pada Anisa, teman kuliahnya. Ada juga Joni yang kasmaran pada Indah, teman kuliahnya juga. Kemudian Ita, yang ngefans banget pada Jerry Yan. Bintang serial Meteor Garden yang keren itu.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tapi aku merasa lain. Makanya kusebut ini penyakit. Kusadari, penyakitku ini sudah lama. Pada diriku maksudku. Namun baru kemarin-kemarin aku merasa aneh dan menyadarinya. Dan kusadari penyakit ini sudah tumbuh sejak kecil.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sebut saja namanya Agus. Agus Hartono. Temanku SD dulu. Dia paling ganteng di kelas. Dia selalu dijodohin pada teman-temanku yang cantik. Tapi tidak termasuk diriku. Aku kan ganteng. Namun mengapa beberapa kali aku iri dan cemburu. Aku kagum pada dia sejak sering bareng belajar kelompok. Seringkali aku melihat dia mandi di sungai di desaku sehabis belajar kelompok. Waktu itu aku hanya duduk di tepi sungai. Melihat Agus dan kawan-kawan berenang. Sambil menjaga pakaian-pakaian mereka. Tetapi karena kesibukan ebtanas dan akhirnya beda SMP. Penyakitku itu hilang dengan sendirinya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Di SMP, aku terserang virus ini lagi. Sebut saja namnya Andi. Andi Cahyono. Biasa dipanggil si cakep. Penampilannya selalu rapi. Hidungnya agak mancung. Dan paling kusuka dari dia itu gaya low profile-nya. Virus gantengnya baru aku rasakan di kelas dua. Sejak satu kelas dengan dia. Dan aku duduk sebangku dengan dia. Gara-gara sama-sama nggak ebagian bangku. Dan aku menyerah oleh virus gantengnya. Namun rasa itu agak hilang sejak dia dekat ama temaku. Diah. Diah Rossalia. Bintang pelajar sekolahku. Kemudian kami pisah SMU. Dia melanjutkan keluar kota ikut kakaknya. Sekarang sih sebenarnya masih ingat. Kecakepannya itu lho. Oh my God.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Ibarat keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Aku terperangkap. Dan terperangkap lagi. Aku terserang penyakit aneh itu lagi di SMU. Apakah karena ‘daya tahan tubuhku’ yang lemah atau entah karena apa hingga mudah sekali aku terserang virus ganteng. Ada Heri, Henry, Roni. Dan Yudis. Yudisthira Digdaya. Virus gantengnya Yudis yang paling berbahaya. Bagaimana nggak terserang? Kami sama-sama di OSIS. Dia ketua, aku sekretaris. Dia bijaksana dan penuh kharisma. Kami sering bareng dalam kegiatan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ada juga virus ganteng lain yang menyerangku. Sebut saja namanya Rio. Mr. Rio tambunan. My English teacher. Dia penuh pesona. Gara-gara dia aku jadi aktif ekskul English Conversation Club (ECC). Pikirku bisa terus ‘menikmati sakitku’. Jadi malu sendiri. Niatan yang nggak bener. Pernah lho aku jadi salah tingkah saat dia menunjukku ikut speeach contest. Dan beliau membimbingku. Jadi dekat deh!<br />Ada lagi kejadian lucu. Tapi membuatku malu juga. Saat itu ada kakak temanku yang lagi ngambilin raport di sekolah. Dia cool banget. Aku berkenalan dengannya. Berjabat tangan. Dan lama lepasnya. Habis aku jadi terbengong dengan ketampanannya. “Yah, dia memang gagah†pikirku. Macho seperti David Beckham. Bintang sepak bola Inggris, bedanya, rambutnya nggak pirang. Tapi hitam, lurus. Seperti rambut bintang iklan shampo clear.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Yah banyak khan? Sebentar. Aku lupa ngasih tahu pesan buat Anton. Teman kostku. Tadi sore ada telpon dari Irma. Katanya ditunggu besok pagi di perpustakaan fakultas. Pukul delapan lagi. Udah. Lanjut lagi ya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Kadang aku berpikir. Mengapa aku selalu masuk ke lingkungan virus ganteng? Mengapa aku nggak kuat menahan virus ganteng itu? Jadinya aku selalu terserang. Habis gimana lagi? Tiap kali aku lepas dari satu virus ganteng muncul lagi virus ganteng yang lain.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kuakui, aku menikmati juga virus ganteng itu. Namun, seringkali juga aku sedih. Merenungi diri. Mengapa aku seperti ini? Mengapa aku mudah terserang virus ganteng? Aku takut ini diketahui orang lain. Aku juga takut, bagaimana nanti kalau berkeluarga? Harmoniskah aku dengan pasanganku kelak? Bagaimana dengan anak-anakku kelak? Apakah mereka akan seperti aku? Mempunyai penyakit aneh ini. Aku selalu bertanya. Apakah salah diri ini? mengapa? Mengapa? Mengapa? Ya Allah , ampuni hamba-Mu ini.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sempat juga terpikir olehku apakah ini penyakit keturunan. Tapi dari siapa? Bapakku? Ibuku? Atau kakek dan nenekku? Kami sekeluarga selalu terbuka. Kecuali cerita virus gantengku ini. Aku takut cerita pada mereka. Termasuk kedua orang tuaku. Tempat curahan hatiku selama ini. Aku hanya khawatir. Aku takut mereka marah dan malu. Aku takut disebut aneh. Terus nanti dikucilkan. Ya Allah, Yang Maha Tahu. Apa yang harus hamba lakukan?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kuamati dan kuselidiki keluargaku. Juga keluarga besar kedua orangtuaku. Hasilnya nol. Mereka normal-normal saja. Dalam arti nggak ada yang terkena virus ini di keluargaku. Hanya aku saja. kakaku sendiri sudah menikah beberapa bulan yang lalu. Dan kini istrinya sudah hamil 8 minggu. Juga adikku, yang lagi terpesona sama Rossa. Teman sekolahnya. Kalau bukan keturunan, terus apa penyebabnya? Pusiing. Ya Allah aku nggak ingin seperti ini. Aku merasa tersiksa.<br />***<br />“Dwi…ada telpon,†siapa ya malem-malem gini nelpon? Ternyata Frisqy. Frisqy Lukman Hakim. Teman lamaku. Kami sahabat karib. Sekarang dia kuliah di Semarang. Universitas Diponegoro. Fakultas kedokteran. Biasa, ngirit. Nelpon di atas pukul 23.00 kan ada diskon 75%. Katanya adiknya mau daftar di IPB. Tapi ngomong-ngomong ceritaku tinggal 25% lagi. Lanjut aja ya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Alhamdulillah memang. Aku diterima di IPB. Teman-teman lamaku jadi tahu kalau IPB bukan hanya mencangkul. Awalnya kukira pilih IPB boleh juga. Sekalian sebagai ajang menghindari virus ganteng. Kupikir mungkin hanya di daerahku saja virus ganteng itu ada. Dan kuduga, yang tertarik di bidang Pertanian (IPB) tidak terlalu ganteng-ganteng. Dalam arti tidak banyak virus ganteng di IPB. Masalahnya aku sudah capek menghadapi virus ganteng.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tapi dugaanku salah. Aku masuk jurusan Sosial Ekonomi. Yang ternyata gudangnya mahasiswa-mahasiswa ganteng, cantik, tajir, dan gaul. Pokoknya semua virus ganteng ada di sini. Banyak sekali virus ganteng yang berkeliaran. Dari yang mancung, bertubuh gempal, fungky, macho. Semua ada di sini. Ya Allah. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sempet juga terpikir olehku untuk pindah kuliah. Ikut UMPTN lagi pada tahun berikutnya. Alasannya cuma ingin menghindari virus ganteng. Tapi aku nggak cerita alasanku tersebut. Takut. Sayang orang tuaku tidak mengijinkanku. Dari segi jurusan aku sangat cocok. Aku suka ilmu sosial dan ekonomi. Tapi, aku selalu sedih. Aku nggak bisa konsen belajar. Dan selalu kutanyakan dalam diri. Mengapa aku seperti ini? Aku takut dianggap aneh. Dikucilkan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Sebenarnya aku masih sendiri. Jomblo. Tapi bukankah yang terbaik. Dalam kajian kuliah subuh di kampus di bahas tentang pacaran. Dan aku jadi tahu bahwa dalam Islam memang tidak ada yang namanya pacaran. Entah itu apa namanya dan apapun istilahnya termasuk ‘pacaran secara islamiâ€. Sebagai ajang taaruf ataupun alasan lain sebenarnya hanya dijadikan kedok “surat izin pacaran.â€<br />Dan alhamdulillah dari dulu aku nggak pernah pacaran. Tapi bukan karena adanya larangan pacaran dalam Islam. Sebelumnya aku nggak tahu bahwa pacaran nggak ada dalam Islam. Yang aku takutkan adalah karena virus ganteng itu. Aku takut pacaran karena nggak tertarik pada lawan jenis. Yang cantik-cantik, dan solehah. Tapi aku selalu berdoa. Semoga aku nggak pacaran memang gara-gara adanya larangan dalam Islam. Sehingga saat ini aku masih sendiri. Aku belum siap untuk menikah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aku sempat pasrah. Yah, mungkin memang sudah kodrati. Sunatullah. Allah menciptakan wajan-wajah ganteng di mana-mana. Tapi bukankah Allah juga menciptakan pribadi-pribadi cantik. Mengapa aku terkena virus ganteng? Bukan virus cantik! Kusadari kedua virus ini selalu kujumpai. Selalu saja aku terserang. Namun akhirnya aku selalu menyerah oleh virus ganteng. Bukan oleh virus cantik. Aku tak bisa berkutik. Virus ganteng benar-benar dahsyat. Ya Allah, aku takut akan azab-Mu. Seperti pada kaum Nabi Luth. Kaum Sodom.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Pernah sih aku terserang virus cantik. Saat itu aku sedang mengisi formulir pendaftaran bea siswa pendidikan dari Jerman. Datanglah pelamar dari fakultas lain. Namanya Ria Safitri. Mahasiswa Kedokteran Hewan. Cantik, anggun dengan balutan jilbab birunya. Berkaca mata. Putih.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam hatiku. Ya…Allah diakah yang Kau kirim untukku? Ya Allah inikah obat virus gantengku. Terus terang baru kali itu aku bener-bener terserang virus cantik. Ya Allah inikah jawaban dari doa-doaku selama ini? Ya Allah aku lelah. Aku ingin terserang virus cantik. Bukan virus ganteng. Aku ingin normal.<br />Sering kuberpikir. Apa obatnya, ya? Aku benar-benar nggak tahu. Aku bingung. Seandainya ada yang punya obatnya. Berapapun harganya akan aku beli. Betapapun pahitnya obat itu akan aku telan. Berapapun lama aku akan diopname akan kujalani demi mengobati virus ganteng itu. Ya Allah, Engkau Maha Tahu. Engkau Maha Kuasa. Virus ganteng ini pasti ada obatnya. Semoga.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />Kini aku punya teman kost baru. Jadi teman sekamarku. Maklum aja teman sekamarku yang dulu pindah. Katanya pengen ganti suasana baru. Namanya Ryan. Ryan siapa ya? Aku belum tahu nama lengkapnya. Aku belum ketemu dia. Baru lewat telpon. Tiga hari yang lalu dia ke sini. Tapi, aku sedang kuliah. Dia dari fakultas perikanan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aduh udah pukul 2.14. Dini hari. Ngantuk banget. Tapi nanggung. Tinggal dikit lagi. Gimana, ya? Bener-bener ngantuk. Tapi besok harus sudah kukirim ke panitia Lomba. Oke. Lanjut ya. Siapa tahu jadi pemenang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">***<br />“Assalamualaikum.†Kuterbangun dari tempat tidurku.<br />“Waalaikum salam?†kubuka pintu kamar kostku. Kulihat Rio. Teman kostku. Dan. Laki-laki itu. Berambut jigrak. Berkulit putih. Berhidung mancung. Yang pernah bikin aku deg-degan.<br />“Ini dia yang kau tunggu-tunggu. Teman sekamarmu,†Rio mengenalkanku.<br />“Ryan,†aku kaget dibuatnya. Aku terkagum ketampanannya. “Dwi†buru-buru kubalas jabat tangannya. Ya Allah …mengapa Kau kirimkan virus ganteng ini kepadaku? Ya Allah …aku capek.</p>Asnawi Hasbi Yusufhttp://www.blogger.com/profile/09658467956756613634noreply@blogger.com0