Jam 3 pagi, aku terjaga dari tidur nyenyakku. Kulihat Nida masih pulas di sampingku. Aku tak membangunkannya karena aku tahu Nida sedang berhalangan untuk shalat. Lalu aku beranjak dari tempat tidur dan kubuka pintu. Semua masih terlelap tidur, sepi. Kemudian aku berjalan ke halaman belakang, aku berwudhu dengan air dingin yang mengalir dari kran. Alhamdulillah Ya Allah Engkau masih memberiku nikmat berwudhu. Kulewatkan pagi itu dengan sujud2 panjangku. Aku begitu merindukan-Mu Wahai Kekasihku. Ampuni segala dosa2ku. Tenangnya hati ini saat bercengkerama dengan-Mu. Kutumpahkan segala keluh kesahku. Kuceritakan semua galau di hatiku. Kusyukuri atas nikmat dan karunia-Mu yang tiada terkira. Ya Allah, jika Engkau berkenan maka ijinkan hamba untuk segera menunaikan sunah Rasul, menggenapkan separo din.
"Mbak, ada teman Bang Arul yang minta dicariin istri." Suatu hari Nida berkata sambil menjatuhkan diri di kasur. Bang Arul adalah satu2nya kakak Nida yang telah menjadi guru di SMA Insan Kamil dan juga aktif menjadi pengurus Pesantren Al-Qalam letaknya tak jauh dari kampusku. Aku yang sedari tadi asik mengutak-atik data penelitian langsung memutar kursi dan menatapnya. "Trus?" Kataku. "Ya trus Mbak mau ga? Kalo Nida kan belum pengen nikah dulu jadi Nida tawarin aja ke Mbak." Nida memang teman sekamar sekaligus sahabat yang paling akrab denganku. Kuanggap dia seperti adikku.
Aku mengenal Nida saat sama2 menjadi pengurus Dewan Kerja Masjid Al-Bahri. Saat itu kerudung Nida masih mini tapi sekarang sudah terjulur indah menutup auratnya. Alhamdulillah! Dia banyak bertanya padaku. Mesti ilmuku juga dangkal tapi aku selalu berbagi tentang apa yang aku tahu dengannya. Jika ada yang kami berdua tak mengerti maka kami akan menanyakannya pada murobbi yang memimpin liqo yang rutin diadakan setiap jumat ba'da dhuhur di aula masjid Al-Bahri. Kadang2 Nida juga bertanya pada Abangnya dan kemudian berbagi pengetahuan yang didapatnya denganku.
Memang beberapa hari terakhir aku memikirkan tentang menikah tapi aku belum mengungkapkannya pada siapa pun dan sekarang aku sudah mendapatkan tawaran. Aku terdiam sejenak. Ada perasaan takut merasuk dalam kalbu. Ya ALLAH ampuni dosa2 hamba. Tiba2 kenangan pahit di masa lalu kembali berputar di otakku. "Mbak, kok malah bengong sih?" Nida berujar mengagetkanku. Kuhela nafas dan kujawab dengan sebuah senyuman dan anggukan. Aku ini memang bukan yang terbaik tapi aku akan terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Ya Rabbi…
Nida mengulurkan sebuah amplop yang langsung kubuka. Di dalamnya terdapat CV dan sebuah foto. Segera kubaca dengan cermat. Namanya Muhammad Bin Sofyan. Saat ini sedang menyelesaikan study di Universitas Al-Azhar Kairo, jurusan Syariah Islamiyah. Di bawah kulihat ada tulisan "NB: afwan ukhti, jika tidak keberatan, saya ingin berdiskusi dengan ukhti melalui YM" dan di sampingnya terdapat sebuah ID YM yang aku yakin adalah miliknya. Rupanya Sofyan mengirimkan CV tersebut melalui email lewat Bang Arul dan Bang Arul berbaik hati mencetaknya untuk diberikan kepadaku.
Hari itu juga, kukirimkan sebuah email jawaban untuk Sofyan dan mengabarkan bahwa aku menerima ajakannya untuk berdiskusi melalui YM 3 hari yang akan datang jam 10.00 WIB. Itu berarti jam 6.00 waktu Cairo. Tak lupa aku juga mengirimkan CV beserta fotoku. Bismillahirrahmaanirrahiim. Ya ALLAH jika sekiranya Engkau mengijinkan hamba untuk bertaaruf dengannya, lindungilah kami dari kemudharatan.
Jantungku deg2an memikirkan apa yang harus kukatakan nanti jika berdialog dengan Sofyan. Haruskah aku menceritakan semuanya pada Sofyan? Bagaimana jika dia menghentikan proses taaruf ini sedangkan aku sudah terlanjur berterus terang padanya? Ya ALLAH, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyimpannya ataukah mengatakan sejujurnya? Duhai Kekasihku, ampuni aku.
Istikharah kulakukan untuk memantapkan langkah. Sungguh aku ini lemah dan tak berpengetahuan. Hanya Engkau Wahai Pujaanku Yang Maha Tahu segala yang tersembunyi. Sekiranya dia baik bagi hamba dalam agama hamba dan dalam penghidupan hamba maka anugerahkanlah dia untuk hamba. Mudahkanlah jalan ini dan berikanlah keberkahan bagi hamba di dalamnya. Jadikanlah hamba orang yang rela atas anugerahmu.
Seusai shalat dhuha, kutemui Sofyan melalui YM. "Assalamualaikum wr. wb." Sofyan lebih dulu menyapaku. "Waalaikumsalam wr. Wb. Khaifa haluka, akhi?" Kujawab salamnya. "Alhamdulillah bilkhair, wa anti?" dia balik bertanya. "Alhamdulillah ana toyib." Sedikit ketakutanku tiba2 meleleh. Ya ALLAH jika memang dia baik untukku maka mudahkan lisanku ini untuk menyampaikan apa yang harus diketahuinya. Aku telah menghabiskan malam2ku untuk meminta ampunan dan petunjuk-Mu Ya Rabb.
Tiga puluh menit telah berlalu dan telah banyak yang kami diskusikan. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Inilah saatnya. Aku tidak mau menunda lagi. Biarlah jika dia mengurungkan niatnya untuk menikah denganku. Lebih baik sekarang dari pada nanti ketika sudah terlambat untuk mengakuinya. Bismillahirahmaanirrahiim. Huruf demi huruf kuketik menjadi kata yang merangkai kalimat2, menjelaskan tentang apa yang harus diketahuinya. Hati ini memang gundah tapi inilah yang harus kulakukan.
Subhanallah! Sungguh Sofyan begitu besar hatinya. Dengan mantap dikatakannya bahwa dia bersedia menikahiku dan dia memintaku untuk segera mengabarkan berita itu kepada orang tuaku karena tiga minggu mendatang dia akan pulang ke tanah air dan meminangku. Alhamdulillah Ya ALLAH. Syukur tak henti2nya kuucapkan. Setelah begitu banyak dosa yang kulumurkan dalam diriku, Engkau masih menunjukkan kasih sayang-Mu. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi dan isakan kecilku terdengar membuat Nida yang sedari tadi asik membaca di tempat tidur menoleh dan bertanya, "Kenapa, Mbak?" Aku pun segera mendatangi dan memeluknya. "InsyaAllah aku akan menikah dengan Sofyan." Nida pun langsung mengucap hamdallah dan memberikan selamat untukku.
Hanya 1 minggu setelah lamaran, aku dan Sofyan melangsungkan akad nikah dan walimatul 'ursy yang sederhana. Teman2 kampus banyak yang datang memberikan selamat meski mereka harus jauh2 datang dari Jakarta menuju rumahku yang ada di Solo. Mereka ikhlas merelakan uang yang tentu tidak sedikit untuk ongkos transportasi ke Solo. Untuk penginapan, Alhamdulillah masih ada rumah saudara yang cukup untuk menampung meski mereka harus tidur dengan tempat ala kadarnya.
Aku benar2 bahagia. Aku sudah sah menjadi istri Bang Sofyan. Tak terkira syukur yang kupanjatkan pada Kekasihku Yang Abadi. Ya ALLAH, Engkau yang memiliki cinta, berikanlah cinta pada kami sehingga kami dapat memulai kehidupan baru ini dengan penuh cinta kepada-Mu. Berikanlah kepada kami keturunan yang sholeh yang menjadi pengikut orang2 mukmin.
Benar2 mulia hati suamiku ini. Keikhlasannya menerimaku sungguh membuatku kagum. "ALLAH itu Maha Menerima Tobat hamba-Nya, De. Sebesar apapun itu, Allah akan mengampuni jika hambanya sungguh2 bertobat. Abang percaya Ade pun telah bertobat. Bagi Abang, yang penting sekarang Ade telah berubah menjadi lebih baik. Jadi janganlah bersedih, De! Maa wadda 'aka rabbuka wamaa qalaa. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu"
Aku selalu ingat kata2 itu Bang. Kamu telah memberiku banyak hal. Kamu telah membimbingku untuk terus memperbaiki diri. Kamu benar2 suami yang berhati lembut. Tak pernah sekali pun kamu berkata kasar atau membentakku. Meski telah 3 tahun pernikahan dan ALLAH belum menitipkan anak untuk kita, kamu terus saja membesarkan hatiku dan kamu terus memberikan perhatianmu untukku. Alhamdulillah Bang, akhirnya ALLAH menitipkan jabang bayi di dalam kandunganku. Kamu sampai menitikkan air mata bahagia saat aku bilang bahwa aku hamil 2 bulan.
Kamu selalu membacakan ayat2 dari Surat Cinta-Nya setiap ba'da maghrib. Setiap kali akan berangkat mengajar, kamu selalu berkata pada bayi dalam rahimku ini agar dia menjagaku selama kamu pergi. Pulang mengajar kamu pun mengecupnya dan menasehatinya agar kelak menjadi anak yang sholeh. Pagi buta saat kubilang aku ingin makan soto, kamu tahu aku lagi ngidam dan kamu langsung mengambil kunci motor dan memacunya untuk mencari soto kegemaranku. Hampir 1 jam kamu baru pulang dan dengan wajah sumringah kamu ulurkan soto yang sudah kamu pindahkan ke mangkok untukku. Dari mana kamu dapat soto di saat aku tahu pemilik warungnya pasti sedang lelap2nya tertidur? Kamu hanya tersenyum dan berkata, "Ada orang baik yang membantu kita atas ijin ALLAH."
Kebiasaanmu setiap awal bulan adalah mengajakku ke toko buku. Membeli beberapa buah buku bertemakan Islam. Hobimu membeli buku sejak kamu masih SMA membuatmu bisa mendirikan sebuah perpustakaan mini yang sampai saat ini selalu ramai dikunjungi warga di kampung kita. Garasi kecil di samping rumah kamu sulap sedemikian rupa dan kamu tata apik buku2mu di dalam beberapa rak kayu. Prinsipmu adalah "Banyak membaca, banyak ilmu". "Tidak semua orang dapat rejeki untuk membeli buku, De. Jadi apa salahnya jika kita berbagi dengan mereka." Duh Abangku sayang, besarnya keinginanmu untuk selalu berbagi dengan sesama.
Aku ingat saat kamu memintaku menunggu di kamar karena kamu akan memberikan kejutan untukku. Hampir dua jam aku menunggu dan terpaksa akhirnya aku keluar juga meski kamu melarangku untuk keluar karena aku mencium bau masakan gosong. Abangku yang baik, ternyata kamu ingin memasak untukku. Aku haru melihat kesungguhanmu, Bang, meski hasilnya tak seindah yang kamu bayangkan. Aku langsung menghambur memelukmu, meski bajumu berlepotan tak karuan. Aku menangis bahagia dalam dekapanmu. Baiknya kamu, Bang.
Disela2 kesibukan di pesantren dan yayasan, kamu begitu memperhatikan aku. Kejutan2 selalu kamu berikan untukku. Seperti di saat hari ulang tahunku, kamu bangunkan aku di waktu subuh, kamu kecup keningku mesra, kamu berikan selamat untukku, kamu doakan untuk kebaikkanku,dan kamu berikan kado sebuah jilbab beserta kerudng yang kutahu harganya tidaklah murah. Duh suamiku, berapa lama kamu kumpulkan uangmu untuk membelikan kado ini? Mendapatimu yang penuh kasih dan tidak banyak menuntuk pun aku sudah sangat bersyukur, ditambah lagi dengan perhatian2mu, bagaimana aku tidak bersyukur menjadi istrimu?
Setiap minggu kamu selalu mengajakku menghadiri pengajian di masjid At-Ta'awun. Sepulangnya dari sana kamu ajak aku mampir makan di warung sate ayam kegemaranmu ato ke warung soto kegemaranku. Abang, Ade jadi takut jika menyakiti hatimu. Afwan, Bang, aku pernah curiga padamu. Aku takut kamu bosan dengan pernikahan ini. Saat kamu sibuk dengan proyek pembangunan pondok pesantren As-Salam di Desa Babakan, sebuah pesantren modern dengan konsep pendekatan pada alam. Tiba2 waktu yang kamu berikan untukku berkurang dan kamu jarang bisa berjamaah isya denganku. Mau bercengkerama dan ngobrol santai denganmu pun sulit waktu itu. Tiba di rumah kamu sudah kecapekan dan pasti langsung tertidur pulas. Pagi2 selepas subuh pun kamu langsung berangkat. Aku tidak berani bertanya tentang kecurigaanku, Bang. Tapi akhirnya kamu menceritakan tentang proyek itu di saat Pondok Pesantren As-Salam telah berdiri dengan megahnya. Duhai Abang, maafkan prasangka burukku. Tak sepantasnya aku berpikiran buruk padamu. Ya ALLAH ampuni hambamu!
Abang, aku kangen padamu. Hanya sebentar waktu yang diberikan ALLAH untuk kita bertemu. Hanya sebentar waktu yang kita lewatkan untuk bersama2 memuji keagungan-Nya. Aku kangen mentadabburi Quran bersamamu. Aku kangen mendengar nasehatmu setiap kali kamu hendak berangkat kerja. Aku kangen saat engkau menggodaku hingga aku tersipu malu.
Kuingat lagi obrolan kita di YM. Engkau memang sempat tercenung sejenak di saat aku selesai mengungkapkannya padamu. Diri ini telah cacat. Tiada lagi yang indah dalam diriku. Telah hilang apa yang seharusnya masih ada padaku. Aku terjerumus di kelamnya masa lalu pergaulanku, 10 tahun yang lalu, tepatnya di saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Alhamdulillah ALLAH masih memberi waktu untukku menyesali semua itu. Dengan hati terbuka kuterima hidayah ALLAH di saat semester pertama aku kuliah, aku mulai mengulurkan jilbab dan kerudung untuk menutupi auratku. Iman ini pun mulai kubenahi dan kutata lagi.
Abang, sakit mulai terasa. Sepertinya bayi dalam rahimku ini ingin segera melihat wajah ibunya. Meski sayang dia tak bisa melihat wajahmu, Bang. Doakan agar bayi kita selamat dan kelak menjadi anak sholeh yang selalu mendoakan kita. Aku bahagia, Bang. Ayah, bunda, Ummi, dan Abi ada di sini menemaniku. Begitu pun Nida dan tadi sempat kulihat Bang Arul di depan ruang bersalin.
Aku ingat saat malam itu Bang Arul dan Nida mendatangi rumah kita. Mereka menangis dan tidak berkata apa2. Nida hanya memelukku erat. Aku bingung, Bang. Aku tau pasti ada sesuatu yang terjadi denganmu. Selepas Maghrib, kamu pamit ingin bersilaturahmi ke rumah Bang Arul. Perasaanku sudah tak enak kala itu. Aku ingin ikut bersamamu tapi kamu mencegahku. Kamu memintaku beristirahat untuk menjaga kandunganku. Sungguh ALLAH menyayangimu. Dia mempercepat waktumu untuk segera bertemu dengan-Nya. Aku menangis tapi aku ikhlas. Kamu tak peduli dengan nyawamu sendiri saat kamu berusaha menolong bayi yang terjebak kebakaran di dalam rumah tetangga Bang Arul. Meski bayi itu tak berhasil kamu selamatkan, kamu pun tak berbeda nasibnya tapi engkau meninggalkanku dengan cara yang mulia. Mudah2an ALLAH memberikan tempat yang mulia untukmu wahai suamiku yang berhati mulia.
Abang, aku sudah siap melahirkan bayi ini. Akan kuberi nama Khairul Ihsan jika laki2 dan Miftahul Jannah jika perempuan, sesuai dengan keinginanmu dulu. Sakitku sungguh tak ada apa2nya dibandingkan dengan kenikmatan yang selama ini kurasa. Bayi ini adalah wujud cintamu yang dititipkan ALLAH untuk kita.
Rasanya seperti diantara hidup dan mati, Bang. Kalo harus menyusulmu sekarang pun aku sudah siap dan ikhlas. Inilah jihad seorang wanita, Bang. Akhirnya aku melaluinya. Alhamdulillah Abang, bayi kita telah lahir dengan selamat. Laki2, sangat mirip denganmu, mudah2an hati dan kepribadiaannya pun tak berbeda denganmu.
Sekarang Ihsan telah dewasa. Perawakan dan ketampanannya persis denganmu. Begitu pun dengan watak dan hatinya. Dia juga telah mendapatkan LC dari Al-Azhar dengan jurusan yang sama denganmu. Sebentar lagi dia akan menikah dengan Laila, seorang gadis yang InsyaAllah sholehah yang ditemuinya di Kairo. Doakanlah mereka, Bang. Mifta pun baru saja lulus SMA. Dia memilih mondok di pesantren As-Salam semenjak masih SMP. Alhamdulillah dia telah mengantongi beasiswa dari Universitas Malaya pada bidang kedokteran. InsyaAllah minggu depan kami akan mengantarnya ke Malaysia. Tunggu kami, Bang dan doakan kami agar istiqomah dan menyusulmu dalam keadaan khusnul khotimah. Kita akan bertemu di surga-Nya.
"Ayo, Dek kita berangkat ke masjid! Ihsan sudah menunggu di luar. Keluarga Laila juga sudah tiba di masjid." Bang Arul tiba2 sudah berdiri di ambang pintu kamar, berkata lembut dan tersenyum padaku. Kutatap manik indah matanya dan kubalas senyumannya dengan senyum terindah yang kupunya. Kuberanjak dari keterdiamanku di depan jendela. Kuhampiri dia, kupeluk sejenak dan kukecup pipinya. "Ayo, Bang!" Kami pun berjalan bergandengan menuju halaman di mana anak sulungku sedang menantiku untuk mengantarkannya menuju lembaran hidup yang baru. Alhamdulillah Ya, ALLAH! Sungguh nikmat yang Kau berikan tiada terkira, meski beribu2 dosa yang pernah kulakukan tak terhitung seperti debu yang beterbangan. Tak kan cukup sisa umurku untuk bersyukur sebagai balasan atas segala apa yang telah Engkau anugerahkan padaku.
"Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (At-Taubah:27)
Minggu, 26 Agustus 2007
Di Sragen, 03:54
Yayapoenya
"Mbak, ada teman Bang Arul yang minta dicariin istri." Suatu hari Nida berkata sambil menjatuhkan diri di kasur. Bang Arul adalah satu2nya kakak Nida yang telah menjadi guru di SMA Insan Kamil dan juga aktif menjadi pengurus Pesantren Al-Qalam letaknya tak jauh dari kampusku. Aku yang sedari tadi asik mengutak-atik data penelitian langsung memutar kursi dan menatapnya. "Trus?" Kataku. "Ya trus Mbak mau ga? Kalo Nida kan belum pengen nikah dulu jadi Nida tawarin aja ke Mbak." Nida memang teman sekamar sekaligus sahabat yang paling akrab denganku. Kuanggap dia seperti adikku.
Aku mengenal Nida saat sama2 menjadi pengurus Dewan Kerja Masjid Al-Bahri. Saat itu kerudung Nida masih mini tapi sekarang sudah terjulur indah menutup auratnya. Alhamdulillah! Dia banyak bertanya padaku. Mesti ilmuku juga dangkal tapi aku selalu berbagi tentang apa yang aku tahu dengannya. Jika ada yang kami berdua tak mengerti maka kami akan menanyakannya pada murobbi yang memimpin liqo yang rutin diadakan setiap jumat ba'da dhuhur di aula masjid Al-Bahri. Kadang2 Nida juga bertanya pada Abangnya dan kemudian berbagi pengetahuan yang didapatnya denganku.
Memang beberapa hari terakhir aku memikirkan tentang menikah tapi aku belum mengungkapkannya pada siapa pun dan sekarang aku sudah mendapatkan tawaran. Aku terdiam sejenak. Ada perasaan takut merasuk dalam kalbu. Ya ALLAH ampuni dosa2 hamba. Tiba2 kenangan pahit di masa lalu kembali berputar di otakku. "Mbak, kok malah bengong sih?" Nida berujar mengagetkanku. Kuhela nafas dan kujawab dengan sebuah senyuman dan anggukan. Aku ini memang bukan yang terbaik tapi aku akan terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Ya Rabbi…
Nida mengulurkan sebuah amplop yang langsung kubuka. Di dalamnya terdapat CV dan sebuah foto. Segera kubaca dengan cermat. Namanya Muhammad Bin Sofyan. Saat ini sedang menyelesaikan study di Universitas Al-Azhar Kairo, jurusan Syariah Islamiyah. Di bawah kulihat ada tulisan "NB: afwan ukhti, jika tidak keberatan, saya ingin berdiskusi dengan ukhti melalui YM" dan di sampingnya terdapat sebuah ID YM yang aku yakin adalah miliknya. Rupanya Sofyan mengirimkan CV tersebut melalui email lewat Bang Arul dan Bang Arul berbaik hati mencetaknya untuk diberikan kepadaku.
Hari itu juga, kukirimkan sebuah email jawaban untuk Sofyan dan mengabarkan bahwa aku menerima ajakannya untuk berdiskusi melalui YM 3 hari yang akan datang jam 10.00 WIB. Itu berarti jam 6.00 waktu Cairo. Tak lupa aku juga mengirimkan CV beserta fotoku. Bismillahirrahmaanirrahiim. Ya ALLAH jika sekiranya Engkau mengijinkan hamba untuk bertaaruf dengannya, lindungilah kami dari kemudharatan.
Jantungku deg2an memikirkan apa yang harus kukatakan nanti jika berdialog dengan Sofyan. Haruskah aku menceritakan semuanya pada Sofyan? Bagaimana jika dia menghentikan proses taaruf ini sedangkan aku sudah terlanjur berterus terang padanya? Ya ALLAH, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyimpannya ataukah mengatakan sejujurnya? Duhai Kekasihku, ampuni aku.
Istikharah kulakukan untuk memantapkan langkah. Sungguh aku ini lemah dan tak berpengetahuan. Hanya Engkau Wahai Pujaanku Yang Maha Tahu segala yang tersembunyi. Sekiranya dia baik bagi hamba dalam agama hamba dan dalam penghidupan hamba maka anugerahkanlah dia untuk hamba. Mudahkanlah jalan ini dan berikanlah keberkahan bagi hamba di dalamnya. Jadikanlah hamba orang yang rela atas anugerahmu.
Seusai shalat dhuha, kutemui Sofyan melalui YM. "Assalamualaikum wr. wb." Sofyan lebih dulu menyapaku. "Waalaikumsalam wr. Wb. Khaifa haluka, akhi?" Kujawab salamnya. "Alhamdulillah bilkhair, wa anti?" dia balik bertanya. "Alhamdulillah ana toyib." Sedikit ketakutanku tiba2 meleleh. Ya ALLAH jika memang dia baik untukku maka mudahkan lisanku ini untuk menyampaikan apa yang harus diketahuinya. Aku telah menghabiskan malam2ku untuk meminta ampunan dan petunjuk-Mu Ya Rabb.
Tiga puluh menit telah berlalu dan telah banyak yang kami diskusikan. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Inilah saatnya. Aku tidak mau menunda lagi. Biarlah jika dia mengurungkan niatnya untuk menikah denganku. Lebih baik sekarang dari pada nanti ketika sudah terlambat untuk mengakuinya. Bismillahirahmaanirrahiim. Huruf demi huruf kuketik menjadi kata yang merangkai kalimat2, menjelaskan tentang apa yang harus diketahuinya. Hati ini memang gundah tapi inilah yang harus kulakukan.
Subhanallah! Sungguh Sofyan begitu besar hatinya. Dengan mantap dikatakannya bahwa dia bersedia menikahiku dan dia memintaku untuk segera mengabarkan berita itu kepada orang tuaku karena tiga minggu mendatang dia akan pulang ke tanah air dan meminangku. Alhamdulillah Ya ALLAH. Syukur tak henti2nya kuucapkan. Setelah begitu banyak dosa yang kulumurkan dalam diriku, Engkau masih menunjukkan kasih sayang-Mu. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi dan isakan kecilku terdengar membuat Nida yang sedari tadi asik membaca di tempat tidur menoleh dan bertanya, "Kenapa, Mbak?" Aku pun segera mendatangi dan memeluknya. "InsyaAllah aku akan menikah dengan Sofyan." Nida pun langsung mengucap hamdallah dan memberikan selamat untukku.
Hanya 1 minggu setelah lamaran, aku dan Sofyan melangsungkan akad nikah dan walimatul 'ursy yang sederhana. Teman2 kampus banyak yang datang memberikan selamat meski mereka harus jauh2 datang dari Jakarta menuju rumahku yang ada di Solo. Mereka ikhlas merelakan uang yang tentu tidak sedikit untuk ongkos transportasi ke Solo. Untuk penginapan, Alhamdulillah masih ada rumah saudara yang cukup untuk menampung meski mereka harus tidur dengan tempat ala kadarnya.
Aku benar2 bahagia. Aku sudah sah menjadi istri Bang Sofyan. Tak terkira syukur yang kupanjatkan pada Kekasihku Yang Abadi. Ya ALLAH, Engkau yang memiliki cinta, berikanlah cinta pada kami sehingga kami dapat memulai kehidupan baru ini dengan penuh cinta kepada-Mu. Berikanlah kepada kami keturunan yang sholeh yang menjadi pengikut orang2 mukmin.
Benar2 mulia hati suamiku ini. Keikhlasannya menerimaku sungguh membuatku kagum. "ALLAH itu Maha Menerima Tobat hamba-Nya, De. Sebesar apapun itu, Allah akan mengampuni jika hambanya sungguh2 bertobat. Abang percaya Ade pun telah bertobat. Bagi Abang, yang penting sekarang Ade telah berubah menjadi lebih baik. Jadi janganlah bersedih, De! Maa wadda 'aka rabbuka wamaa qalaa. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu"
Aku selalu ingat kata2 itu Bang. Kamu telah memberiku banyak hal. Kamu telah membimbingku untuk terus memperbaiki diri. Kamu benar2 suami yang berhati lembut. Tak pernah sekali pun kamu berkata kasar atau membentakku. Meski telah 3 tahun pernikahan dan ALLAH belum menitipkan anak untuk kita, kamu terus saja membesarkan hatiku dan kamu terus memberikan perhatianmu untukku. Alhamdulillah Bang, akhirnya ALLAH menitipkan jabang bayi di dalam kandunganku. Kamu sampai menitikkan air mata bahagia saat aku bilang bahwa aku hamil 2 bulan.
Kamu selalu membacakan ayat2 dari Surat Cinta-Nya setiap ba'da maghrib. Setiap kali akan berangkat mengajar, kamu selalu berkata pada bayi dalam rahimku ini agar dia menjagaku selama kamu pergi. Pulang mengajar kamu pun mengecupnya dan menasehatinya agar kelak menjadi anak yang sholeh. Pagi buta saat kubilang aku ingin makan soto, kamu tahu aku lagi ngidam dan kamu langsung mengambil kunci motor dan memacunya untuk mencari soto kegemaranku. Hampir 1 jam kamu baru pulang dan dengan wajah sumringah kamu ulurkan soto yang sudah kamu pindahkan ke mangkok untukku. Dari mana kamu dapat soto di saat aku tahu pemilik warungnya pasti sedang lelap2nya tertidur? Kamu hanya tersenyum dan berkata, "Ada orang baik yang membantu kita atas ijin ALLAH."
Kebiasaanmu setiap awal bulan adalah mengajakku ke toko buku. Membeli beberapa buah buku bertemakan Islam. Hobimu membeli buku sejak kamu masih SMA membuatmu bisa mendirikan sebuah perpustakaan mini yang sampai saat ini selalu ramai dikunjungi warga di kampung kita. Garasi kecil di samping rumah kamu sulap sedemikian rupa dan kamu tata apik buku2mu di dalam beberapa rak kayu. Prinsipmu adalah "Banyak membaca, banyak ilmu". "Tidak semua orang dapat rejeki untuk membeli buku, De. Jadi apa salahnya jika kita berbagi dengan mereka." Duh Abangku sayang, besarnya keinginanmu untuk selalu berbagi dengan sesama.
Aku ingat saat kamu memintaku menunggu di kamar karena kamu akan memberikan kejutan untukku. Hampir dua jam aku menunggu dan terpaksa akhirnya aku keluar juga meski kamu melarangku untuk keluar karena aku mencium bau masakan gosong. Abangku yang baik, ternyata kamu ingin memasak untukku. Aku haru melihat kesungguhanmu, Bang, meski hasilnya tak seindah yang kamu bayangkan. Aku langsung menghambur memelukmu, meski bajumu berlepotan tak karuan. Aku menangis bahagia dalam dekapanmu. Baiknya kamu, Bang.
Disela2 kesibukan di pesantren dan yayasan, kamu begitu memperhatikan aku. Kejutan2 selalu kamu berikan untukku. Seperti di saat hari ulang tahunku, kamu bangunkan aku di waktu subuh, kamu kecup keningku mesra, kamu berikan selamat untukku, kamu doakan untuk kebaikkanku,dan kamu berikan kado sebuah jilbab beserta kerudng yang kutahu harganya tidaklah murah. Duh suamiku, berapa lama kamu kumpulkan uangmu untuk membelikan kado ini? Mendapatimu yang penuh kasih dan tidak banyak menuntuk pun aku sudah sangat bersyukur, ditambah lagi dengan perhatian2mu, bagaimana aku tidak bersyukur menjadi istrimu?
Setiap minggu kamu selalu mengajakku menghadiri pengajian di masjid At-Ta'awun. Sepulangnya dari sana kamu ajak aku mampir makan di warung sate ayam kegemaranmu ato ke warung soto kegemaranku. Abang, Ade jadi takut jika menyakiti hatimu. Afwan, Bang, aku pernah curiga padamu. Aku takut kamu bosan dengan pernikahan ini. Saat kamu sibuk dengan proyek pembangunan pondok pesantren As-Salam di Desa Babakan, sebuah pesantren modern dengan konsep pendekatan pada alam. Tiba2 waktu yang kamu berikan untukku berkurang dan kamu jarang bisa berjamaah isya denganku. Mau bercengkerama dan ngobrol santai denganmu pun sulit waktu itu. Tiba di rumah kamu sudah kecapekan dan pasti langsung tertidur pulas. Pagi2 selepas subuh pun kamu langsung berangkat. Aku tidak berani bertanya tentang kecurigaanku, Bang. Tapi akhirnya kamu menceritakan tentang proyek itu di saat Pondok Pesantren As-Salam telah berdiri dengan megahnya. Duhai Abang, maafkan prasangka burukku. Tak sepantasnya aku berpikiran buruk padamu. Ya ALLAH ampuni hambamu!
Abang, aku kangen padamu. Hanya sebentar waktu yang diberikan ALLAH untuk kita bertemu. Hanya sebentar waktu yang kita lewatkan untuk bersama2 memuji keagungan-Nya. Aku kangen mentadabburi Quran bersamamu. Aku kangen mendengar nasehatmu setiap kali kamu hendak berangkat kerja. Aku kangen saat engkau menggodaku hingga aku tersipu malu.
Kuingat lagi obrolan kita di YM. Engkau memang sempat tercenung sejenak di saat aku selesai mengungkapkannya padamu. Diri ini telah cacat. Tiada lagi yang indah dalam diriku. Telah hilang apa yang seharusnya masih ada padaku. Aku terjerumus di kelamnya masa lalu pergaulanku, 10 tahun yang lalu, tepatnya di saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Alhamdulillah ALLAH masih memberi waktu untukku menyesali semua itu. Dengan hati terbuka kuterima hidayah ALLAH di saat semester pertama aku kuliah, aku mulai mengulurkan jilbab dan kerudung untuk menutupi auratku. Iman ini pun mulai kubenahi dan kutata lagi.
Abang, sakit mulai terasa. Sepertinya bayi dalam rahimku ini ingin segera melihat wajah ibunya. Meski sayang dia tak bisa melihat wajahmu, Bang. Doakan agar bayi kita selamat dan kelak menjadi anak sholeh yang selalu mendoakan kita. Aku bahagia, Bang. Ayah, bunda, Ummi, dan Abi ada di sini menemaniku. Begitu pun Nida dan tadi sempat kulihat Bang Arul di depan ruang bersalin.
Aku ingat saat malam itu Bang Arul dan Nida mendatangi rumah kita. Mereka menangis dan tidak berkata apa2. Nida hanya memelukku erat. Aku bingung, Bang. Aku tau pasti ada sesuatu yang terjadi denganmu. Selepas Maghrib, kamu pamit ingin bersilaturahmi ke rumah Bang Arul. Perasaanku sudah tak enak kala itu. Aku ingin ikut bersamamu tapi kamu mencegahku. Kamu memintaku beristirahat untuk menjaga kandunganku. Sungguh ALLAH menyayangimu. Dia mempercepat waktumu untuk segera bertemu dengan-Nya. Aku menangis tapi aku ikhlas. Kamu tak peduli dengan nyawamu sendiri saat kamu berusaha menolong bayi yang terjebak kebakaran di dalam rumah tetangga Bang Arul. Meski bayi itu tak berhasil kamu selamatkan, kamu pun tak berbeda nasibnya tapi engkau meninggalkanku dengan cara yang mulia. Mudah2an ALLAH memberikan tempat yang mulia untukmu wahai suamiku yang berhati mulia.
Abang, aku sudah siap melahirkan bayi ini. Akan kuberi nama Khairul Ihsan jika laki2 dan Miftahul Jannah jika perempuan, sesuai dengan keinginanmu dulu. Sakitku sungguh tak ada apa2nya dibandingkan dengan kenikmatan yang selama ini kurasa. Bayi ini adalah wujud cintamu yang dititipkan ALLAH untuk kita.
Rasanya seperti diantara hidup dan mati, Bang. Kalo harus menyusulmu sekarang pun aku sudah siap dan ikhlas. Inilah jihad seorang wanita, Bang. Akhirnya aku melaluinya. Alhamdulillah Abang, bayi kita telah lahir dengan selamat. Laki2, sangat mirip denganmu, mudah2an hati dan kepribadiaannya pun tak berbeda denganmu.
Sekarang Ihsan telah dewasa. Perawakan dan ketampanannya persis denganmu. Begitu pun dengan watak dan hatinya. Dia juga telah mendapatkan LC dari Al-Azhar dengan jurusan yang sama denganmu. Sebentar lagi dia akan menikah dengan Laila, seorang gadis yang InsyaAllah sholehah yang ditemuinya di Kairo. Doakanlah mereka, Bang. Mifta pun baru saja lulus SMA. Dia memilih mondok di pesantren As-Salam semenjak masih SMP. Alhamdulillah dia telah mengantongi beasiswa dari Universitas Malaya pada bidang kedokteran. InsyaAllah minggu depan kami akan mengantarnya ke Malaysia. Tunggu kami, Bang dan doakan kami agar istiqomah dan menyusulmu dalam keadaan khusnul khotimah. Kita akan bertemu di surga-Nya.
"Ayo, Dek kita berangkat ke masjid! Ihsan sudah menunggu di luar. Keluarga Laila juga sudah tiba di masjid." Bang Arul tiba2 sudah berdiri di ambang pintu kamar, berkata lembut dan tersenyum padaku. Kutatap manik indah matanya dan kubalas senyumannya dengan senyum terindah yang kupunya. Kuberanjak dari keterdiamanku di depan jendela. Kuhampiri dia, kupeluk sejenak dan kukecup pipinya. "Ayo, Bang!" Kami pun berjalan bergandengan menuju halaman di mana anak sulungku sedang menantiku untuk mengantarkannya menuju lembaran hidup yang baru. Alhamdulillah Ya, ALLAH! Sungguh nikmat yang Kau berikan tiada terkira, meski beribu2 dosa yang pernah kulakukan tak terhitung seperti debu yang beterbangan. Tak kan cukup sisa umurku untuk bersyukur sebagai balasan atas segala apa yang telah Engkau anugerahkan padaku.
"Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (At-Taubah:27)
Minggu, 26 Agustus 2007
Di Sragen, 03:54
Yayapoenya
0 comments:
Post a Comment