RSS

Musim Panas di Plaza des Toros

Wednesday, September 12, 2007

Penulis:Farin

Kupandangi sekali lagi penampilanku di cermin dengan puas. “Perfecto” aku berdesis pelan. Kemeja berenda, celana ketat sebatas lutut dan jas pendek yang penuh dengan bordiran dari benang emas, perak dan sutra melekat indah di tubuhku yang tegap berisi. Kaus kaki merah muda dan sepatu hitam bersol rendah sudah menghiasi kakiku, kukenakan topi hitam dari sutra dan terakhir, untuk melengkapi penampilanku jubah satin berhias bordiran indah menggelantung megah di pundakku. Sempurnalah penampilanku hari ini.

Beberapa saat lagi, Plaza des Toros dan puluhan ribu pengunjungnya akan menjadi saksi mata bahwa aku, De Pedro, adalah matador terhebat saat ini di negeri para matador, ya..di negeriku, Spanyol. Bagaimana tidak, dalam usiaku yang baru 19 tahun, aku sudah berhasil membunuh tak kurang dari 150 ekor banteng. Fantastis, bukan?

Ya, aku, De Pedro tak pernah gagal dalam setiap pertunjukanku dimana pun itu, di Barcelona, Seville, Cordoba, Madrid atau pun malam ini di Granada, di Plaza des Toros, arena adu banteng yang selalu penuh sesak dengan penonton yang ingin menonton aksiku. Aku bekerja keras untuk itu. Sejak usiaku 12 tahun El Padre sudah menyekolahkanku di sekolah khusus untuk calon-calon matador. Selama 7 tahun aku berlatih dan belajar keras mulai dari cara memegang tanduk buatan dari kayu, cara mengibaskan muleta dengan anggun sampai berbagai metode membunuh banteng.

Aku menikmati semua itu, bagiku itu adalah seni, bukan pembantaian. Apalagi bagi orang Spanyol, Corrida de Toros lebih dari sekedar olahraga atau pertunjukan sadis, pertunjukan adu banteng itu akan menunjukkan betapa perkasanya seorang manusia yang dengan risiko maut pun masih bisa bercanda. Aku sangat menikmati saat-saat di arena, saat ketika prosesi dimulai, saat aku mulai melakukan gerakan-gerakan veronica dengan indah, atau saat memutari arena dengan diiringi para banderillero karena kemenanganku sudah diakui, saat itulah penonton akan bersorak-sorai untukku, ah..gemuruh suara itu, betapa sangat kurindukan. Saat itu aku merasa sejajar dengan Raul Gonzales saat ia mencetak gol, lebih hebat malah.

Musim panas adalah milik kami, para matador, karena itulah musim panas menjadi musim yang sangat kutunggu-tunggu. Saat itulah aku akan menjadi bintang yang akan memikat gadis-gadis dengan kemilauku, terutama untuk memikat Daniella, gadis tetanggaku yang bagiku jauh lebih cantik daripada Salma Hayek yang bintang film terkenal itu. Daniella yang jauh lebih sulit kutaklukkan daripada banteng-benteng terluka yang menjadi lawanku di lapangan karena tak pernah menyambut ajakan kencanku, padahal ada ribuan gadis yang menanti ajakanku itu.
Daniella adalah ‘banteng terliar’ yang pernah kutemui, semua cara sudah kutempuh, termasuk menghadiahinya seuntai kalung perak dan sebuah daun telinga banteng!. Jangan salah, daun telinga itu kudapatkan dengan susah payah, itu adalah tanda kemenangan yang akan dipersembahkan pada matador hanya jika penampilannya bagus.

Musim panas kemarin sepasang daun telinga banteng menjadi hakku karena penampilanku dinilai sangat memuaskan, yang 1 kuberikan pada Daniella, yang 1 kusimpan untuk diriku sendiri, sejauh ini usahaku hanya berhasil membuatnya datang menonton pertunjukanku tapi tidak untuk ajakan pergi berdua.

Musim panas ini aku bertekad untuk mencapai recibiendo. Penonton sangat menantikan momen ini karena jarang ada matador yang bisa melakukannya mengingat resikonya yang sangat besar. Aku bertekad akan menghabisi banteng lawanku hanya dengan 1 tusukan tepat pada jantungnya setelah aku puas mempermainkannya.

Aku tersenyum sendiri membayangkan aku berhasil melakukan recibiendo itu, sesaat kemudian aku akan menepi untuk memberi ruang bagi jatuhnya banteng, saat itulah ia akan tertelungkup pasrah, menyerah kalah di hadapanku, dan gemuruh suara yang kurindukan itu akan menjelma bagai mimpi yang jadi kenyataan, dan makin yakinlah orang-orang bahwa De Pedrolah matador terhebat saat ini.

Jika itu terjadi, selain sepasang telinga banteng aku juga akan mendapat ekor banteng dan yang lebih penting lagi, namaku akan menjadi headline di koran-koran lokal dan para reporter TV akan antre untuk jadwal wawancara denganku, ha... saat itu Daniella pasti tak akan menolak ajakan kencanku lagi.
Ah... Daniella, mengingatnya selalu membuat hatiku resah. Akhir-akhir ini ia banyak berubah, apalagi sejak kedatangan kakak perempuannya, Gabriella yang bersekolah di Amerika Serikat. Semula kubayangkan Gabriella akan berpenampilan seperti Britney Spears atau Jennifer Lopez, tapi yang terjadi malah berbalik 180 derajat.
Alih-alih berpenampilan seksi bak gadis-gadis modern jaman sekarang, Gabriella malah berpenampilan kuno seperti wanita-wanita Arab yang selalu membungkus rambutnya dengan kain segitiga. Orang-orang bilang Gabriella sekarang menjadi muslim, aku tak tahu banyak tentang itu, yang sering kudengar sekarang Gabriella memeluk agama para teroris, bagaimana kalau Daniella juga ikut-ikutan menjadi muslim? Mereka berdua sangat dekat seperti saudara kembar, bukan tak mungkin Gabriella akan mempengaruhi Daniella untuk mengikuti agama barunya, tanda-tanda ke arah itu memang mulai tampak.

Aku masih ingat, seminggu yang lalu ketika akau datang ke rumahnya untuk menawarkan tiket VIP untuk menonton pertunjukanku di Plaza des Toros, Daniella menolak keras. “Tidak…aku sudah berjanji untuk tidak menonton Corrida de Toros lagi, sadarlah Pedro, yang kaulakukan selama ini sangat kejam. Banteng itu juga makhluk Tuhan, ia punya perasaan dan punya hak untuk hidup.”

“Ayolah... rasional Daniella, banteng itu cuma sekedar hewan, ia memang diciptakan untuk kita bersenang-senang, selain itu ia tak berguna,” aku menjawab enteng.

“Diciptakan untuk apa katamu? Tuhan itu Maha Adil, tak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang tak berguna, apalagi untuk kita permainkan hidupnya di ujung Banderilla para matador, itu kejam, sadis.”
“Ini seni, Daniella, Corrida de Toros itu bagian dari seni, tak percaya? Coba renungkan ada apa saja di dalamnya, keindahan? Ya, sadis? Ya juga, tapi toh semua orang menyukainya, Spanyol tak akan terkenal tanpa Corrida de Toros, Spanyol bukan apa-apa tanpa matador!” aku ngotot.

“Sombong kamu, sebenarnya apa yang kamu cari di arena itu?. Ingin dianggap berani dan hebat sebagai manusia, begitu? Menurutku, Corrida bukan pertarungan antara manusia dengan banteng tapi lebih pada pertarungan antara manusia dengan dirinya sendiri.”
“Maksudmu?” aku tak mengerti.
“Suatu saat kamu akan tahu sendiri jawabannya,” dingin Daniella menjawab.
Aku lemas, hilang sudah harapanku untuk melakukan recibiendo di depan gadis pujaanku, jangankan menonton Corrida, menerima telepon dariku pun ia tak mau, Daniella sekarang jarang keluar rumah, kalaupun keluar tak pernah sendirian dan tak pernah pada malam hari, saat itu pun hampir pasti ia memakai jaket dan topi menutupi rambut coklatnya yang ikal dan indah.

“Seperti orang gila” pikirku melihat Daniella yang berpakaian ala musim dingin saat musim panas begini, bagaimana mungkin ia tidak kepanasan dalam udara musim panas Spanyol yang berkisar pada suhu 30-35 derajat Celcius dengan pakaian seperti itu? Mungkin benar dugaanku, Daniella sudah terpengaruh Gabriella, tiap menjelang malam selalu terdengar suara-suara aneh dari rumah mereka, seperti alunan suara dari masa lalu yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Bagaimanapun, aku tak boleh menyerah, dengan atau tanpa Daniella di kursi penonton, aku akan tetap coba melakukan recibiendo, siapa tahu jika aku berhasil menyerahkan ekor benteng sebagai tanda cintaku padanya sikapnya akan melunak, ya... siapa tahu?
Suara tawa asisten-asistenku, para banderillero dan picador membuyarkan lamunanku tentang Daniella. Sebentar lagi acara prosesi akan dimulai, kami akan bersiap-siap untuk berparade, kulihat walikota juga sudah datang. Tahap pertama sukses, prosesi sudah selesai dan selanjutnya, walikota akan melemparkan kunci pintu kandang banteng.

Aku bersiap-siap. Pintu kandang sudah dibuka dan lawanku, sang banteng mulai memasuki arena. Sorak sorai penonton makin riuh, percaya diriku makin meningkat. Manuel, salah satu banderilleroku mengibaskan muleta dengan 1 tangan untuk memancing reaksi banteng. Ia melakukannya agar aku bias mengetahui kecenderungan banteng itu menyerang dengan 1 atau 2 tanduk. Kulihat, lawanku kali ini cenderung menyerang dengan 1 tanduk.
Aku masuk ke arena. Pertunjukan kumulai dengan melakukan gerakan-gerakan veronica, gerakan dasar yang lebih mirip tarian daripada jurus untuk menghadapi banteng tanpa berpindah posisi. Kukibaskan muletaku perlahan dengan kedua tangan. Banteng itu mulai terpancing dan mendekat, kukibaskan sekali lagi, “Ayo... mendekatlah kawan,” kataku dalam hati. Banteng itu makin marah dan ia makin dekat, saking dekatnya, aku hanya perlu mengibaskan muleta memutari pinggangku sendiri. Penonton bertepuk tangan riuh. Saat aku beraksi, para picador mulai masuk ke arena, derap kaki kuda yang mereka tunggangi bercampur baur dengan sorak-sorai penonton, dari atas kuda mereka menusuk banteng dengan banderilla. Babak awal dimulai.

Corrida de Toros memang terdiri dari 3 babak: pertarungan, penancapan banderilla dan terakhir menghabisi banteng. Babak pertama aku hanya perlu membuat banteng lawanku capek dan itu perlu waktu lama, luka akibat tancapan banderilla itu akan mencucurkan darah terus-menerus dan itu cukup membuatnya lemah. Kali ini, aku akan melakukan recibiendo, babak terakhir akan kutuntaskan dengan 1 tusukan fatal, tepat di jantungnya.

Aku mengumpulkan keberanianku, perhitunganku harus tepat. Saat aku berhadapan muka dengan banteng itu dan ia menerjang ke arahku, saat itulah aku akan menusuknya. Semuanya akan kulakukan pada waktu yang tepat, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat agar penontonku puas.

Banderilla yang tertancap di tubuh lawanku makin banyak, tapi banteng ini benar-benar ulet, ia sama sekali belum kelihatan melemah, bahkan sebaliknya makin mengganas. Aku harus berkali-kali menghindar dan benar-benar memperhitungkan harus sedekat apa aku dengan binatang itu. “Bravo..!” teriakan penonton makin ramai, kupompa keberanian untuk memuaskan mereka.

Tiba-tiba aku teringat kata-kata Daniella, “Corrida bukan pertarungan antara manusia dengan banteng, tapi pertarungan manusia dengan dirinya sendiri.” Saat itu aku mulai paham apa maksud Daniella sebenarnya. Aku sedang bertarung dengan diriku saat ini. Aku ingin agar banteng itu sedekat mungkin denganku, tapi di lain pihak aku harus terus-menerus memompa keberanianku, aku harus memilih keselamatanku atau kepuasan penonton dalam tiap detik penampilanku.

Aku masih ingat, musim pertunjukan lalu, paha kiriku terluka cukup parah karena tandukan banteng dan entah berapa kali aku ditanduk banteng. Sebelumnya, aku masih beruntung karena Lucio, temanku sesama matador tewas di arena 2 tahun lalu. Bahkan, Joselito yang kata El Padre adalah matador terhebat sepanjang masa juga tewas di ujung tanduk banteng.

Untuk pertama kalinya dalam karirku sebagai matador, aku takut mati. Bagaimana kalau nasibku seperti Lucio dan Joselito, bagaimana kalau aku mati di arena?. Betapa mengerikan, De Pedro, matador terhebat saat ini, tewas di ujung tanduk banteng. Hiiih..aku bergidik membayangkannya. Tapi kalau banteng ini kubunuh, Daniella akan makin benci padaku dan ah…betapa kasihannya banteng itu, lahir, tumbuh dan hidup untuk kemudian mati di tanganku, betapa kejamnya aku. Tapi, aku takut mati, bagaimana ini?

Aku mulai resah, pertarungan dalam batinku jauh lebih hebat daripada pertarunganku dengan banteng ini. Jika aku berhasil melakukan recibiendo, seluruh dunia akan tersenyum padaku, kecuali Daniella dan banteng itu…hidupnya hanya akan berakhir sebagai pemuas nafsuku dan para penonton itu, malang sekali ia dan betapa kejamnya aku.

“De Pedro, ada apa denganmu? Kau bisa mati!” Gomez, picadorku membuyarkan pertempuran dalam hatiku. Banteng itu masih beringas, matanya menatap tajam ke arahku, dengusan nafasnya yang kasar terdengar keras, bahkan hembusan nafasnya di udara dapat kurasakan. Tetes-tetes darah mulai mengalir dari tubuhnya yang ditancapi banderilla warna-warni.

“Recibiendo, Pedro!, recibiendo!” Kali ini Jose yang berteriak padaku. Aku tergagap dan langsung tersadar, kupancing-pancing banteng itu dengan muletaku agar ia tepat berhadapan denganku. Kesempatan itu datang, banteng itu menerjang ke arahku, kusiapkan pedangku, sedikit saja meleset, aku bisa gagal. Ya, inilah saatnya, “crep!” beberapa saat sebelum ujung tanduknya menyentuh tubuhku, pedangku sudah menusuk tubuhnya.

Aku menunggu. Kuharap tusukan itu fatal dan dengan begitu recibiendo akan segera kuraih. Aku menepi untuk melihat reaksi tusukanku itu. Benar, banteng itu mulai limbung. “Sebentar lagi ia akan kalah” pikirku, tapi tidak, meski ia limbung, tusukanku tak berhasil melumpuhkannya, ia tak kunjung terjatuh. Tusukanku meleset, aku gagal mengenai jantungnya.
Para picador datang dengan tergopoh-gopoh, mereka akan segera menyembelih benteng itu. Aku mundur, di sela-sela tubuh para picador yang berjongkok itu masih dapat kulihat sepasang mata binatang malang itu. Mata itu, entah kenapa tampak begitu sendu dan sedih, dan ketika kudengar lenguhannya yang keras saat para picador menyembelih lehernya, aku seperti mendengar suara Daniella yang marah, “Kau kejam, kau kejam…” lututku lemas, meski penonton bersorak-sorai untukku, meski aku berhak untuk 2 daun telinga untuk penampilanku sore ini, aku tetap merasa kalah.

Bukan... bukan karena aku gagal melakukan recibiendo, tapi karena aku kalah dengan diriku sendiri. Kau benar, Daniella, aku kejam, sangat kejam dan aku benci kenapa aku punya sifat itu. Matahari Spanyol mulai turun, Plaza des Toros mulai diselimuti kegelapan malam, namun bagiku, gelapnya Plaza des Toros dan pekatnya langit Spanyol tak segelap hatiku saat ini.

Keterangan :
Perfecto : Sempurna
El Padre : Ayah
Muleta : Kain berwarna nila/merah
Corrida de Toros : Pertunjukan adu banteng
Veronica : Gerakan dasar untuk menghadapi banteng
Recibiendo : Saat matador menghabisi banteng lawannya hanya dengan 1 tusukan tepat pada jantungnya
Banderillero : Asisten matador
Picador : Asisten matador
Banderilla : Senjata sejenis tombak

0 comments: