RSS

ACEH

Wednesday, September 12, 2007

Penulis:Lina Safinah

“Anak Syafrie telah kembali, Hamid. Anak Syafrie telah pulang. Tengoklah, ini Marwan. Dia telah menjadi dokter,” wajah Karim tampak berapi-api menyambut kedatanganku dari Jakarta, ibukota NKRI. Sementara lelaki berseragam loreng yang menyandang senjata di bahunya tampak tak terlalu terkejut akan kehadiranku di markas mereka. Lelaki yang dipanggil Hamid itu hanya mendehem dan memandangku tanpa kedip. Asap rokok mengepul dari celah bibirnya. Kuperhatikan sosok lelaki itu dengan serius. Pantas disebut komandan, kelihatannya cerdas dan dingin. Kuulurkan tanganku untuk memperkenalkan diri sebagai anak almarhum Syafrie, anggota Gam yang tewas bertahun lalu. Tentu aku punya motif untuk bergabung dengan mereka, setidaknya menjadi teman. “Sudah berapa lama kau kembali ke tanah rencong ini?” sang komandan tak tersenyum. “Sudah sebulan. Lama juga aku mencari-cari kalian, sampai akhirnya aku bertemu Karim yang membawaku ke tengah belantara ini,” kupandangi sekitarku, hanya bangunan sederhana yang ditempati Hamid, dan beberapa lelaki bersenjata berjaga-jaga. Tampaknya bukan markas inti, hanya sebuah tempat untuk pertemuan biasa. Tentu saja mereka tidak gegabah membawaku ke sarangnya, karena meskipun ayahku anggota Gam, aku toh orang asing di mata mereka. “Lalu, untuk apa kau mencari kami?” Hamid tampaknya bukan lelaki yang suka basa-basi. “Aku adalah anak Syafrie. Apakah kalian sudah lupa? Bagaimana ayahku tertembak di halaman rumahnya sendiri. Aku tak bisa lupa dengan peluru yang bersarang di dahinya itu,” suaraku bergetar, untuk menggetarkan mereka. Lanjutku. “Kita kawan seperjuangan, bukan? Dengan profesiku ini, semoga aku bisa diterima di sini. Maksudku, tak secara resmi. Aku bertugas di Pidie. Namun apapun kesulitan kalian, aku siap bantu.” Sang komandan manggut-manggut, tak bersuara, asap rokok memenuhi ruangan sempit itu. Untunglah angin bertiup cukup kencang dan banyak jendela di dinding-dinding bambu rumah itu yang segera mengganti udara berpolusi dari mulut lelaki itu. Telah dua minggu sejak perkenalanku dengan Hamid di tengah belantara. Dengan Karim, aku masih sering berkomunikasi lewat telpon. Masih tak banyak yang kuketahui tentang mereka. Sampai suatu malam Karim dengan dua orang lelaki bersenjata menghadangku di tengah perjalanan pulang dari puskesmas. “Marwan, tolonglah. Kita butuh bantuanmu. Ada teman kita tertembak.” ”Ya, tunggulah sebentar. Aku harus mengambil alat-alat medis.” Sejenak ketiga lelaki itu saling berpandangan, lalu Karim bersuara, “Tidak. Kuantar kau lalu kita ke lokasi secepatnya.” Aku menurut saja. Kubiarkan seorang dari mereka menumpang mobilku, sementara dua lainnya mengikutiku dengan jeepnya. Setelah kukemasi perlengkapan yang kubutuhkan, kami berempat berangkat menembus pekat malam, menuju sebuah tempat di mana tengah berbaring satu anggota Gam yang hampir kehabisan darah karena luka tembak di bahunya. Kutolong lelaki itu sebisaku. Pasien pertama, tak boleh gagal. Atau mereka akan mendepakku. Sulit memperoleh kepercayaan dari mereka, walau aku rasa telah punya modal cukup, sebagai anak Syafie. Dan lelaki itu selamat, sang komandan menjabat tanganku, “Terima kasih, Nak.” “Ah, sudah kewajiban saya menolong sesama…pejuang!” kutekan kata ‘pejuang’ itu, untuk meyakinkan sang komandan. Begitu lamban mereka menerimaku. Sejak kejadian malam itu, susulan demi susulan kian sering kuterima. Mulai dari yang berpenyakit flu biasa sampai kaki remuk tak berbentuk yang harus diamputasi mereka percayakan padaku. Aku rasa, inilah saatnya kujalani profesiku. “Handphone metalikku berdering. Dari ‘kawan seperjuangan’, begitu mereka menyebut hubunganku dengan Gam itu sekarang. Sebuah sanjungan yang kuperoleh dengan susah payah. Ada apa pula ini? “Kawan kita butuh pertolongan, Dok,” rupanya sang komandan sendiri yang menghubungiku. Satu langkah maju. “Baik, apa yang dibutuhkan? Aku akan segera datang.” Komandan menyebutkan keperluannya dan lokasi kejadian. Usus buntu lagi! Kukemasi alat-alat operasiku. Saat tiba di tempat, kutemui lelaki usia tiga puluhan yang terbaring dengan merintih. Lelaki dalam daftar penting. Aku tak akan buang waktu. Setelah kubius, kuiris bagian bawah kanan perutnya, lantas kupotong appendix yang tampak sudah meradang itu. Kemudian, kumasukkan ‘cairan’ itu, kujahit kembali luka sayatan yang kubuat tadi, dan selang lima menit kemudian lelaki itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Maaf, kawan. Aku telah berusaha, tapi rupanya Tuhan berkehendak lain,” wajahku telah terlatih untuk memainkan peranan ini. Wajah setengah iba yang dingin. Sang komandang tertunduk sejenak, lalu menatapku tanpa kata sementara tanggannya menepuk-nepuk bahuku. “Dia yang terbaik yang kami miliki,” ucapnya putus asa. Lalu berlalu meninggalkanku yang terpaku di ujung bale-bale. Seminggu setelah kematian lelaki di meja operasiku itu, handphone metalikku tak pernah berdering. Aku mencoba menghubungi Karim dan Pocut, tapi mereka tak ada di tempat biasanya. Handphonnya pun tidak aktif. Jangan-jangan mereka tak percaya lagi padaku. Atau lebih gawat lagi, mereka hendak menghukumku. Tok…tok…tok…pintu rumahku diketuk. Kubukakan pintu. Ah, Pocut! “Dokter Marwan, kita butuh bantumu, kawan kita…” syukurlah! “Sebentar, duduklah dulu. Aku ambil peralatanku,” kugandeng lengan Pocut menuju krusi rotan di ruang tamuku yang sudah tua, lantas aku bergegas ke kamarku sendiri. Kuraih botol infus dan tas kerjaku, kukantongi HP metalikku. Masih sempat aku mengadakan kontak dengan siemens hitamku sebelum akhirnya kunonaktifkan, kuambil nomor khususku dari Hp hitamku itu untuk kubawa dan siemens kosong itu kuletakkan di balik lipatan baju-baju, lantas kukunci lemari. Kujumpai Pocut di ruang tamu untuk segera bergegas menemui pasienku. Anggota Gam yang satu ini hanya sesak nafas. Penyakit asma. “Kenapa baru sekarang kau panggil aku, Pocut? Keadaannya sudah payah. Aku kuatir tak akan tertolong,” kumasukkan jarum infus ke lengannya, dan air murni itu akan memasuki nadinya. “Aku pulang dulu. Kabari aku kalau keadaannya tambah parah! Tampak beberapa orang bersenjata lalu-lalang di depan rumah besar yang kukira salah satu markas mereka itu. Kuhitung jumlah mereka, kira-kira duapuluh orang. melihat keadaan rumah itu, tampkanya mereka tinggal di situ. “Sofyan yang akan mengantarmu,” Pocut melambaikan tangan ke arah lelaki berkumis lebat yang berdiri di dekat pintu memanggul AK-47. “Tidak usahlah, Pocut. Aku pulang sendiri saja. Toh aku bawa kendaraan. Lagipula aku hafal jalannya, masih siang lagi.” “Oke, selamat jalan, Dok. Terima kasih atas bantuannya,” Pocut menjabat tanganku erat. Kustater mobilku, lalu kutinggalkan markas tu melalui jalan berbatu-batu yang tak rata. Di tengah perjalanan pulang, kuraih HP Metalik dari sakuku, kuganti dengan nomor khususku, kutekan sebuah nomor penting. Dua jam kemudian aku tiba di rumah. Aku masuk ke dalam kamar, kembali mengaktifkan siemens hitamku, tak lama Hp itu berdering. Menjelang malam Hp metalikku berbunyi. Pocut. “Marwan, ada kabar buruk. Kawan-kawan seperjuangan kita telah gugur.” “Apa maksudmu? Siapa yang mati?” “Pasienmu tadi siang tak tertolong. Dia meninggal tak lama sesudah kau pulang.” “Kenapa tak kau hubungi aku? Aku tadi kan sudah pesan agar memanggilku kalau keadaannya tambah parah.” “Tadinya kami hendak menghubungimu, tapi kami pikir tak ada gunanya lagi. Toh dia sudah tiada. Namun ada yang lebih buruk lagi. Menjelang asar tempat kami diserang.” “Diserang? Siapa? Apa maksudmu?” “TNI! Hanya lima orang yang berhasil melarikan diri dan selamat. Lainnya gugur.” “Ah…” aku mendesah, “Aku menyesal sekali, Pocut. Di mana kau?” “Maaf, tak bisa kukatakan padamu. Tapi aku akan menghubungimu lagi. Assalamualaikum…” “Pocut…pocut…di mana lokasimu?” Pocut telah memutuskan hubungan. Sial! Selama beberapa hari aku hanya menunggu. Aksesku pada Gam tinggal Pocut dan Asrul. Karim sudah tewas dalam serangan itu. Juga Soleh, Hanif, dan Aslam. Semuanya tewas dalam serangan-serangan TNI ke markas-markas Gam. Tiga hari berlalu. Aku duduk di ruang kerjaku di puskesmas. Tak ada pasien. Aku terus berusaha menghubungi Pocut, Asrul. Tak ada hasil. Semua mandeg. Tak ada peristiwa apapun. Kemana orang-orang itu? Sudah kudatangi lokasi-lokasi yang berbeda, di mana mereka biasanya bermarkas. Tak ada yang tertinggal. Tiba-tiba sebuah truk mengangkut pasukan Gam memasuki halaman puskesmas. Refleks, kutekan sebuah nomor yang sudah kuhafal. Terdengar nada panggil. Ayo, cepatlah angkat! Lalu sebuah suara yang tak asing di telingaku. “Mereka sedang menuju kemari. Satu truk, perkiraan berisi sekitar dua puluh orang, mungkin mau menjemput saya,” segera kumatikan Siemens hitamku, kumasukkan ke laci kerjaku, dan kukunci. Klik. Tepat saat kumasukkan anak kunci ke dalam saku, lelaki-lelaki tegap bersenjata itu memasuki ruang praktekku. “Dokter Marwan, Anda ikut kami. Wakil panglima butuh pertolongan,” dan aku pun ikut menumpang truk itu. Hanya akulah satu-satunya yang berbaju putih di antara dua puluh lelaki berseragam hijau tentara. Perjalanan sekitar 2 jam memasuki belukar belantara dan jalan-jalan terjal berliku. Kalau saja aku hanya dokter biasa yang tak terlatih, pasti sudah mual. Akhirnya, tibalah aku di sebuah lapangan. Jadi inilah tempatnya. Lalu truk berhenti. Kami semua turun, dan melanjutkan dengan jalan kaki sekitar setengah jam sebelum akhirnya sampai di tempat wakil panglima berbaring. Dia tampak lemah. Peluru di punggungnya. Kuambil tindakan sesuai prosedur. Satu jam setelah kutangani, lelaki itu tewas. Aku dalam perjalanan kembali ke puskesmas, ditemani Asrul. “Aku sampai di sini saja, kawan kau lanjutkan sendiri perjalanan ini,” Asrul menurunkanku di tepi jalan raya. “Ya. Selamat berjuang,” kulambaikan tanganku pada Asrul dan segera kembali ke Puskesmas, mengaktifkan siemens hitamku. “Lokasi sudah saya dapatkan,” lantas suara di seberang memberikan instruksi setelah kubeberkan temuanku. *** Aku baru saja mematikan laptopku usai mengirim laporan rutin. Ini adalah malam terakhirku di tanah rencong. Besok selesai sudah tugasku. Aku akan kembali ke Jakarta. Ibu! Tiba-tiba bayangan wanita itu melintasi benakku. Aku teringat pada malam saat aku berkemas hendak berangkat ke Aceh, ibuku serta-merta masuk ke kamarku, membawakan teh hangat. “Kenapa tidak Ibu taruh di meja makan saja?” ibuku tak menjawab, malah sepertinya tak mendengar ucapanku. “Apa yang kau kerjakan, Marwan?” “Apa maksud Ibu?” kupandangi wanita itu, mencoba mencari tahu maksud pertanyaannya. Tiba-tiba matanya tak berkedip, menembus jantungku. “Apa pekerjaanmu?” “Aku kan kerja di puskesmas, Bu. Aku dokter,” suaraku berpeluh. “Kau lulus fakultas kedokteran, ya. Ibu tahu. Kau akan PTT, Ibu tahu. Lalu kau masuk akademi militer setelah jadi dokter, dan kini sudah jadi tentara, lantas mau ke Aceh, mau apa? Mau jadi ‘cuak’? Lantas membunuhi orang-orang aceh, saudara-saudaramu, ha!?” Kali ini aku tak punya nyali untuk menatap mata Ibu. Suara Ibu seperti pedang! Dan tatapannya selaksa lecutan halilintar. Namun kucoba sekuat tenaga untuk mengendalikan diriku. “Aku akan PTT, Bu. Aku kerja di puskemas. Jabatanku di TNI tak ada hubungannya dengan kemelut di Aceh. Aku di bagian kesehatan,” kalimat terakhirku adalah kebohongan. Sebab Ibu tak perlu tahu tentang profesi intelijenku. Dan, sulit pula menjelaskan motivasiku ini. Sungguh tak masuk akal seorang anak yang bapaknya ditembak oleh tentara kini malah menjadi intel TNI, musuh keluarganya. Bagaimana harus menjelaskan pada Ibu bahwa aku telah tahu banyak tentang Gam yang bermarkas di Norsborg, Swedia itu. Bagaimana mereka bekerjasama dengan RMS dan Fretilin dalam wadah UNPO di Den Haag. Bagaimana mereka telah membunuhi ulama yang berseberangan dan menolak memfatwakan jihad. Sulit mengatakan keinsyafanku bahwa memberontak pada penguasa muslim itu adalah sebuah kekeliruan. Membeberkan skenario CIA membelah Indonesia menjadi 14 negara bagian. Menjelaskan bahwa Gam yang kini berjuang atas dasar etnonasionalisme tidaklah sama dengan perjuangan Tengku Beureuh ketika mengangkat senjata melawan Soekarno. Perjuangan mereka telah menyimpang. Perampokan, kekerasan pada etnis Jawa walau muslim sekalipun, pembunuhan, pembakaran, seperti kata salah seorang tokoh, mereka telah keluar dari syariat. Tapi wanita ini tak akan mengerti. Yang ia tahu suaminya telah ditembak oleh TNI. Bertahun setelah itu ia harus membanting tulang membiayai anak-anaknya. Hidup yang tidak mudah. Lantas, bagaimana dia bisa memahami kalau anaknya yang telah dibesarkannya itu telah menjadi ‘penghianat’? Ya, Allah, berilah ia petunjuk. Hanya doa itu yang senantiasa kupanjatkan di tiap sujudku karena aku tak mampu menanggung amarahnya, sakit hatinya. Wanita tua yang sudah terlalu lama menderita. Sampai kapan tanah Aceh akan bergolak? Kuteringat mata letih ibuku, mata yang sudah terlalu lama tak menangis. Kuteringat saat mencium punggung tangannya waktu hendak berpamitan untuk membunuhi orang-orang Aceh. ‘Saudara’, kata Ibu. Namun dalam hal ini aku tak sepaham dengan Ibu tentang makna ‘saudara’. Andai saja aku punya kuasa untuk mendamaikan tanah kelahiranku itu, menumpas habis akar permasalahannya. Andai saja aku punya wewenang. Kenyataannya, harapanku tersendat oleh tangan-tangan kotor yang masih ingin memelihara konflik karena ada keuntungan-keuntungan tertentu. Kukemasi barang-barangku. Besok siang aku sudah harus ada di bandara. Markas Gam sudah terkepung. Tak ada peluang untuk lolos. Barangkali hanya perlu dua jam saja untuk menghabisi mereka. Tapi tak juga terjadi apa-apa. Kelihatannya, masih ada yang berkepentingan dengan konflik yang tak juga berakhir ini. Jam sepuluh malam. Aku masih punya satu persoalan. Kuraih pistol, kustater mobilku menuju rumah seorang pejabat teras. Sepanjang jalan otakku berperang dengan hatiku. Aku bisa saja masuk ke rumahnya dengan gampang baik lewat pintu depan atau dengan menyusup. Kuhentikan mobilku di depan halaman luas sebuah rumah mewah. Bayangan lelaki setengah baya penghuni rumah itu memenuhi kepalaku. Koruptor! Bagaimana ia tega mengantongi ratusan juta tupiah, dana kesehatan untuk rakyat miskin. Puskesmas hanya diberi sekian juta. Geram sekali aku. Akan kuledakkan kepalanya! Di mana nuraninya? Ini daerah konflik! Tak habis pikir aku, padahal dia orang Aceh juga. Lama aku terpekur, antara maju dan mundur. Ini tindakan melawan hukum, dan di luar wewenangku. Kubalikkan mobilku setelah aku merasa letih dengan semua ini. Biarlah Allah yang membereskan urusan lelaki itu, dan tanah Aceh ini. Aku akan pulang besok siang, sesuai jadwal dan prosedur. Aku, Marwan, pria lajang berusia 28 tahun, dengan profesi dokter umum merangkap intelijen Angkatan Darat TNI, hari ini telah selesai menjalankan tugas di tanah kelahiranku, Aceh. Keterangan: Cuak: mata-mata.

0 comments: