RSS

DYAH AYU PULANGYUN

Wednesday, September 12, 2007

Penulis:Sakti Wibowo

Bagian Dua

Malam dingin dibalut kabut. Bahkan Merapi pun menggigil. Bayangannya yang hitam seperti hantu malam yang menyeramkan, mendengus dengan asap yang tak henti keluar dari puncaknya. Entah malam keberapa. Pulangyun hanya mengenali gelap.

“Kita harus keluar, Kakang.”
“Keluar? Keluar ke mana? Kau tahu sendiri para prajurit menjaga ketat daerah perbatasan. Hutan pun tak luput dari patrolinya. Para abdi dalem gunung telah dikerahkan untuk memantau setiap orang yang meninggalkan daerah apakah disertai layang padhang atau tidak.”

“Jadi, apakah kita akan tetap bertahan di sini sedangkan anak-anakku menderita demam tinggi semacam itu?”
“Kita akan keluar, tapi bukan sekarang.”

“Kapan, Kakang? Bisakah kauceritakan padaku tentang rencanamu? Paling tidak, dengan begitu, aku bisa tahu dan tidak harap-harap cemas. Jika memang di sini juga mati, maka aku lebih baik menyabung nasib dengan mencoba keluar dari hutan.”

“Diamlah! Jangan kautambah bebanku dengan kecerewetanmu itu. Pikirkanlah, Mataram telah mengharamkan kita menginjaknya. Telik sandi tentu telah disebar hingga dusun-dusun yang jauh, baik Monconegoro Kulon maupun Monconegoro Wetan. Tak ada jalan lain. Setahuku, wilayah timur Gunung Merapi ini adalah bagian dari Kasunanan Surakarta. Sekarang ini, hubungan antara Kesultanan dan Kasunanan sedang tidak baik. Aku yakin, pihak Kanjeng Sinuhun tidak akan sampai menyebar telik sandinya ke wilayah Kasunanan, kecuali beliau menginginkan pecahnya perselisihan dengan Kanjeng Sunan Paku Alam.”

Pulangyun menghela napas. Sesak sekali. Lereng timur Merapi masih begitu jauh. Perjalanan di dalam hutan, di mana tak ada penunjuk jalan maupun penentu arah mata angin, sungguh membentangkan kengerian yang luar biasa.

“Tidak adakah cara lain, Kakang? Barangkali, dengan menyamar menjadi pedagang atau petani....”
Aryo Branggah menggelengkan kepalanya. “Pedagang yang membawa serta tiga anak kecil? Kaupikir, siapa orang yang tidak akan curiga? Keberadaan anak-anak itu yang tidak bisa kausembunyikan. Kau bisa mengelak dari pandangan orang-orang. Tapi, bagaimana dengan abdi dalem gunung? Mereka akan memeriksamu begitu tiba di perbatasan karena kau adalah orang yang mereka tunggu-tunggu.

Bersabarlah! Beberapa hari ke muka, insya Allah kita bisa mencapai desa Cangkringan. Jika kita bisa mencapai desa itu dengan selamat, kemerdekaan kita terbuka. Cangkringan desa kecil, Ni Ayu, dan lokasinya terpencil. Aktivitas penduduknya yang berdagang ke Jatinom adalah jembatan kita menuju kebebasan karena Jatinom telah berada di luar wilayah Kesultanan. Daerah ini –sepengetahuanku—sedikit terhindar dari pengawasan.”

Mata Pulangyun berbinar. “Berapa lama waktu yang kita butuhkan?”
Aryo Branggah menghela napas. “Aku tidak tahu. Perjalanan di dalam gelapnya hutan semacam ini tidak bisa diduga.”

“Oh, Kakang... berapa hari pun akan kutempuh asalkan itu untuk keselamatan putra-putraku.”
Pulangyun tersenyum, menatap langit yang dijangkau pepohonan menjulang. Ia mulai bisa berbesar hati dengan apa yang dijelaskan Aryo Branggah. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bukanlah pecundang. Ia kepalkan tangan. Senyumnya semakin lebar, senyum penuh harapan.

-----
Bagaimanapun, perjalanan di dalam hutan bukanlah perjalanan yang ringan. Kedua orang itu terseok-seok dengan beban tiga anak kecil. Rimbunan semak, binatang berbisa, tanah-tanah labil di lereng-lereng bukit... adalah jebakan-jebakan yang tak jarang mematikan.

Sementara, di luar belantara, pasukan Ngayogyakarta meningkatkan penjagaan. Perintah Kanjeng Sultan Sepuh sudah jelas, tak boleh membiarkan buronan itu lepas dan keluar dari wilayah Ngayogyakarta. Daerah Kotaraja telah disisir, begitu pula dengan Bagelen dan Sukowati. Wilayah ini yang paling dicurigai Kanjeng Sultan mengingat Patih Danurejo berasal dari daerah ini. Wilayah Negoro Agung pun telah dipastikan tiada.

“Tingkatkan penjagaan di sepanjang hutan. Jangan lupa, jaga jalur pelayaran di sungai-sungai yang menghubungkan Ngayogyakarta dengan daerah luar.”
-----
Hutan gelap. Makin ke dalam makin gelap. Aryo Branggah terus menyibak semak dan mencari arah yang tepat agar tidak salam menentukan langkah. Cangkringan berada di ujung timur Gunung Merapi. Itu artinya, ia harus bergerak berlawanan arah dengan puncak. Ia menyusuri lerengnya yang dipenuhi bebatuan yang terbentuk dari lava yang mengering.

“Tidakkah kita berhenti dulu barang sejenak, Kakang?” tanya Pulangyun. Ia tampak kelelahan dengan Pembayun di gendongannya. Dua kanak –Gondokusumo dan Mertonegoro—mulai memahami keadaan sehingga tak lagi merengek-rengek seperti waktu sebelumnya.
“Baiklah... kita beristirahat dulu.”

Mereka lantas mencari tempat yang landai untuk melepas letih. Sengaja, Aryo Branggah tidak membuat api, baik untuk menghangatkan badan ataupun untuk memanggang binatang buruan. Api bisa menjadi bahaya buat mereka sebab hal itu sama saja dengan mengirim berita keberadaannya kepada para penjaga perbatasan yang mungkin saja ada di sekitar mereka.

Berhari-hari mereka tak bertemu manusia, hanya batang-batang pohon berusia renta dengan sulur-sulur yang menjangkau bumi. Karena tak ada api, mereka tak bisa memakan kelinci ataupun ayam hutan yang bisa saja mereka peroleh dalam perjalanan. Mereka hanya memahan daun dan buah-buahan.

Karena kelelahan yang sangat, Pulangyun segera terlelap memeluk Pembayun. Dua anaknya yang lain bersandar di pangkuan. Beberapa meter jaraknya dari tempat Pulangyun rebah, Aryo Branggah menyandarkan punggungnya di sebatang pohon jati, merenungi perasaannya, menyelami lebih dalam keheningan pribadi. Ia tak memungkiri ada desakan-desakan nista yang harus dilawannya selama berdekatan dengan pujaan hatinya itu. Namun, ia tahu ia harus bertahan dalam arus goda yang mendera-dera.

Sejenak, ia nyaris terlelap. Bayangan kehidupan indah segera membentang di hadapannya. Selepas ia dari hutan ini, jika ia berhasil menyeberang ke luar wilayah Kesultanan Ngayogyakarta, ia bisa merancang hidup baru dengan Pulangyun. Wanita lemah itu, tentu akan menerimanya dengan gembira. Adakah lagi lelaki sebaik dirinya? Tak ia sangsikan lagi, Pulangyun pasti akan menerima lamarannya nanti. Tapi, itu nanti. Yang ia perlukan saat ini adalah berjuang menerobos perbatasan.

Cangkringan bagai napas baru. Dari sana, perjalanan menuju Jatinom tak perlu ditempuh sesulit sekarang. Ia bisa menyamar menjadi pedagang tembakau atau petani, atau apa saja. Ia tak perlu bergerombol berangkat bersama keempat orang itu. Bisa jadi, ia membawa Gondokusumo terlebih dahulu, dan Pulangyun berikut dua anaknya yang lain menyusul kemudian. Membagi kelompok semacam itu bisa dilakukannya di sana, tidak seperti di hutan ini, sebab ia tak perlu kuatir Pulangyun akan bertemu binatang buas.

Bayangan-bayangan melintas. Ia tersenyum. Tapi... sontak, ia terjaga, berdiri dari lelapnya yang sementara. Ia merasakan kehadiran pihak lain. Bayangan itu bukanlah harapan dan mimpi-mimpi sejenaknya. Tapi, sungguh bayangan yang ia lihat merunduk-runduk dan melintas di antara pepohonan.
Geram, dadanya berdegup cepat. Ada orang yang memergokinya di kedalaman rimba ini.

“Siapa kalian?” Ia berteriak garang sekaligus membangunkan Pulangyun dan anak-anaknya.
Pulangyun panik. Aryo Branggah berteriak. Ia meraba hulu pedangnya dan bersiaga dengan kuda-kuda. Dan... bayangan itu muncullah, diawali dengan semak-semak yang tersibak. Satu... dua... tiga... empat orang....

Aryo Branggah sadar, empat orang yang muncul di hadapannya kini adalah para kecu yang memilih mengelana di hutan-hutan demi menghindari aparat keamanan; baik dari pihak Belanda maupun Keraton.

“Hahaha... serahkan hartamu!” seru salah satu dari mereka.
Aryo Branggah menghitung kekuatan. Empat orang bukanlah jumlah yang menakutkan baginya.
“Kami tidak punya harta. Sedangkan kalau kalian meminta nyawa, maka kami tidak akan membiarkan nyawa itu kauambil begitu saja.”

“Jangan dusta. Kalian pergi sekeluarga. Wanita itu istrimu? Kalian tentu membawa harta sebab tak mungkin harta itu kalian tinggalkan begitu saja.”

“Kakang,” kata orang yang berdiri paling depan, “tidakkah kau dengar bahwa ada pelarian dari keraton? Kanjeng Sinuhun memperketat penjagaan daerah perbatasan karena ada buronan yang dikhawatirkan melarikan diri keluar wilayah. Ketatnya penjagaan itu yang membuat aku tidak bisa turun ke desa mencari makanan. Aku mencoba turun ke desa kemarin petang, tapi para penjaga dan pengawas perbatasan tampak siaga penuh. Menurut informasi yang kudapat, itu instruksi langsung dari Kanjeng Sinuhun. Tidak disangka, rupanya malah kita yang menemukan mereka.”

Yang berdiri paling depan termangu, namun sejenak kemudian tertawa terbahak-bahak. “Agaknya ini hari baik, kita. Lihatlah! Perhatikan wanita itu. Meskipun wajahnya awut-awutan dan pakaiannya tidak keruan, kau tentu lihat bagaimana aura priyayi terpancar dari matanya. Juga anak-anak itu. Mereka adalah anak yang merasai kehidupan yang cukup; tubuh gemuk sehat dan kulit bersih. Tidak sangsi lagi, pasti inilah buronan itu.”

Pulangyun berseru, “Kami bukan siapa-siapa. Kami hanya orang kampung yang....”
“Tahanlah penjelasanmu itu nanti di depan abdi dalem gunung. Akan kubawa kalian ke sana sebab kalian mungkin menjadi kartu kebebasan kami. Hahaha....”
Empat orang mengurung rombongan kecil itu.
“Kakang...!” Pulangyun panik.
“Jangan jauh-jauh dariku, Ni Ayu....”
“Menyerahlah! Melawan adalah hal yang sia-sia.”
Aryo Branggah mengertakkan rahang. “Kalau menyerah juga berarti mati, mengapa tidak bertarung saja?”
“Kau mau melawan?”
“Cobalah...!”

Empat orang mengurung, mengerubut dengan pukulan dan sabetan golok. Aryo Branggah bergerak sigap, sebab ia adalah prajurit istana berpangkat bekel. Ia bukan orang yang kosong dari ilmu kanuragan. Karenanya, ia bisa dengan segera membaca serangan maupun sasaran terbaik yang mungkin ditujunya.

Beberapa jurus berlalu. Perhatiannya terpecah dengan jeritan Pulangyun saat seorang penghadang itu mencoba meraih lengannya.

“Jangan sentuh dia!” teriaknya.
Orang itu surut saat Aryo Branggah mengirimkan tendangan. Teman-temannya malah tertawa terbahak-bahak. “Terus saja begitu. Dia akan segera kehabisan tenaga. Lihatlah... keringat telah memandikan tubuhnya.”

Aryo Branggah tahu masalah. Mereka masih menyimpan banyak tenaga sementara dirinya tak bisa berbuat banyak. Andai tiada wanita dan anak-anak ini, dia bisa pastikan empat orang itu bukanlah pihak yang pantas berbangga karena mampu mengalahkannya. Ia pernah digembleng di Tegalrejo oleh Raden Mas Ontowiryo –pangeran Diponegoro—dan pernah menyertai Pangeran Mangkubumi dalam penyerangan bivak-bivak belanda. Ia pernah menebas tubuh kompeni hingga terbelah dan rubuh ke tanah bagai batang pisang. Ia pernah memecundangi lima pencuri yang menyatroni keraton sendirian. Ia pernah....

Tapi, dari semua peperangan yang ia ikuti, tak satu pun ia mengkhawatirkan seseorang di sampingnya.
Ia berkelit. Tebasan golok nyaris memangkas rambutnya. Dua orang sekaligus melompat mengirimkan pukulan. Ia berguling ke sisi kiri disambung dengan sebetan pedang yang membuat dua orang itu mengurungkan serangan berikutnya. Ia kembali berdiri tegak dan memberi perlindungan pada Pulangyun.

Sejenak, orang-orang itu menahan pukulan. Mereka mewaspadai gerakan demi gerakan. Satu sama lain saling bertahan dari membuka serangan. Agaknya mereka mulai mengetahui kekuatan lawan masing-masing.

Aryo Branggah melihat berkeliling. Bukan musuh yang ia cari, tetapi kesempatan terbaik agar Pulangyun dan anak-anaknya bisa selamat. Gemericik sungai di bawah, dibatasi lereng terjal dari batu-batu menghitam endapan lava Merapi. Cukup berbahaya melintasinya.

“Ni Ayu,” bisiknya, “jika ada kesempatan, turunilah jurang itu. Ada sungai di bawah. Tunggu aku di sana. Orang-orang ini tak akan membiarkanmu lari, namun pasti mereka mengambil jalan memutar sebab jalan di belakang ini akan kututup. Aku akan mengalihkan perhatian, dan segera bawa anak-anak turun. Jika sampai setengah jam aku tidak turun juga, lanjutkanlah perjalanan.”

Dimulai dengan teriakan panjang, lelaki pertama menyerang Aryo Branggah. Bekel dari Ngayogyakarta ini memang cerdik. Itulah bagian yang dia pelajari dari taktik-taktik perang. Lompatan-lompatan panjang dibarengi beberapa salto telah menghindarkannya dari sekian banyak tebasan. Dengan itu pula ia mempertahankan posisi bertahannya.

Keempat penyerang itu bukanlah orang yang terlatih dalam strategi bertempur. Karenanya, mereka menyerang tanpa perhitungan, dan kalaupun ada taktik, tak lebih dari taktik-taktik dangkal yang mudah ditebak arahnya.

Kendati masih terdesak, Aryo Branggah bisa terus mempertahankan posisinya membelakangi jalanan menurun itu, menghalangi para penyerang dari upaya menjangkau Pulangyun. Empat penyerang mulai beringas melihat Pulangyun mendukung anak-anak menuruni jurang landai menuju sungai. Aryo Branggah membuat benteng pertahanan dengan permainan jurus-jurus pedangnya yang tidak bisa ditembus.

“Hei... jangan biarkan mereka lari...!” teriak salah seorang. “Pecah kekuatan menjadi dua. Kau dan Suro memutar lewat tebing, kejar wanita itu lewat samping kiri. Aku dan Gowor yang mengurus lelaki ini di sini.”

Aryo Branggah tersenyum. Ini adalah kesempatan yang dinantinya. Sementara dua orang itu memutar, dibutuhkan waktu untuk mencapai sungai. Waktu itu harus ia pergunakan untuk membabat dua orang yang tersisa. Setelah itu, ia akan menyusul turun bergabung dengan Pulangyun.

Kesempatan itu, hanya berlaku dalam hitungan detik. Ia harus memanfaatkannya. Setelah dua orang itu melesat ke samping kiri, ia berteriak melengking dan menerjang dengan pukulan maut. Dua orang musuhnya kelabakan. Satu di antaranya tak bisa menyelamatkan lengan dari tebasan pedang bekel ini.

Darah mengucur. Marah luar biasa. Matanya gelap oleh amukan dendam dan mimpi yang tak boleh pergi. Tapi, lelaki di hadapannya yang sekilas lalu mulai terlihat lemah, ternyata mampu melukai lengannya dalam sekali terjang. Kalap. Ia menyiapkan pukulan paling nekat. Aryo Branggah bergidik melihat sorotan dendam di mata lelaki itu. Ia melompat ke samping menghindari serangan bagai babi hutan itu; menyeruduk tanpa berpikir keselamatan diri sendiri.

Aryo Branggah meringis. Ujung golok itu masih sempat menjangkau perutnya. Namun, tebasan pedangnya pun telak dan menghentikan napas si lelaki penyeruduk. Satu temannya berdiri terpana dengan tubuh menggigil; antara marah dan ngeri, takut yang menyelinap ke dalam hati.
“Kau masih mau melawan?”

Tanpa menunggu komando, lelaki itu melesat ke samping kiri, menyusul teman-temannya yang lain. Aryo Branggah tak mampu mengejar. Perutnya terluka. Ia pun harus segera tiba di bawah sebelum orang-orang itu menemukan Pulangyun. Ia tinggalkan mayat bersimbah darah itu. Terengah-engah, ia menuruni jurang landai....

Benar persangkaannya. Ia tiba beberapa saat sebelum penyerang-penyerang itu datang. Tapi baru dua orang pertama yang tiba. Satu lagi masih belum tampak. Aryo Branggah melihat posisi tak begitu menguntungkan. Tak ada lagi strategi yang bisa disusunnya seperti tadi. Kali ini saja! Ya, hanya kesempatan ini saja dia bisa memenangkan pertempuran. Selagi belum ada orang ketiga, ia harus segera menyelesaikan pertarungan, menghabisi dua orang yang telah antri ini. Ia tak memedulikan darah di perutnya yang semakin mengalir jika ia bergerak.

Tidak seperti yang pertama, jurus-jurus dua orang ini tidak begitu bagus. Agaknya mereka adalah orang yang lebih rendah kemampuannya sehingga disuruh mengejar Pulangyun tadi. Aryo Branggah berseri menyadari keberuntungannya. Ia tak perlu menguras banyak tenaga untuk menyudahi pertempuran.

Tak berapa lama, ia berhasil membuat dua orang ini kocar-kacir. Dengan teriakan lantang, ia menerjang kembali dua orang yang bergulingan panik itu. Serta-merta, rerumputan memerah darah. Aryo Branggah berdiri bertelekan pada pedangnya. Darah mengucur hebat dari perutnya dan beberapa luka di punggung dan lengan. Ia telah berhasil menyelesaikan dua orang itu.

“Kakang... kau tidak apa-apa?”
“Ni Ayu, lanjutkanlah perjalanan. Jangan hirau. Selamatkanlah anak-anak, sebab barangkali mereka kelak akan menjadi bunga kebanggaan Islam. Sambutlah bara perjuangan yang akan menyala di waktu-waktu depan. Ni Ayu....” Aryo Branggah berkata dengan napas megap-megap.

Pulangyun tersedu. “Kakang....”
“Lanjutklanlah perjalanan. Gunakan batang-batang kayu untuk menempuh perjalanan lewat sungai. Itu lebih aman bagimu dari menembus hutan. Sungai ini... mudah-mudahan membawamu ke Cangkringan.”
Aryo Branggah membebat perutnya. Ia memberi isyarat dengan tangan kepada Pulangyun untuk segera pergi.

Kesempatanku tinggal kali ini. Lelaki itu harus ke sini, dan aku harus membunuhnya. Kalau dia tahu aku mati, dia akan melanjutkan mengejar Pulangyun. Aku harus....

Aryo Branggah mengerang-erang. Pulangyun panik bukan kepalang. “Pergilah Ni Ayu...!”
Ayo, datanglah segera! Datanglah, lelaki brengsek! Aku belum mati. Aku baru sekarat. Kau tentu bernafsu membalaskan dendam teman-temanmu.

Dan, semak pun tersibak. Lelaki itu muncul dengan tawa membahana. “Hahaha... sekarang kematianmu telah tiba, Ksatria! Tak kusangka. Aku mengira ini hari sialku, tapi nyatanya kau menyempurnakan keberuntunganku. Kau akan segera mati, dan wanita itu mendatangkan harta untuk kunikmati sendiri tak perlu berbagi dengan mayat-mayat bodoh itu.”
Aryo Branggah masih mengerang-erang.
“Jangan...!” teriak Pulangyun.

Lelaki itu menarik tubuh Aryo Branggah dengan tetap waspada. Ia pun menyiapkan goloknya, berusaha mencari tempat paling mematikan sekaligus menyakitkan. Ia ingin memuaskan dendamnya. Lemah sekali Aryo Branggah sebab ia mulai kehabisan darah.

“Sekarang, bayarlah dendam teman-temanku. Kau akan... akan....” Lelaki itu mendelik. Tangan Aryo Branggah memeluk tubuhnya erat-erat, dan dengan kekuatan terakhir, mencekikkan tangannya ke leher lelaki yang diamuk emosi itu.

Si lelaki tak bisa melepaskan diri dari pelukan Aryo Branggah. Agaknya, Aryo Branggah benar-benar mempertaruhkan nyawanya –kekuatannya yang terakhir—untuk menyudahi pertempuran. Lelaki itu berkelojotan kehabisan napas. Nyawanya dan nyawa Aryo Branggah seperti berpacu. Maut menjemput bersamaan.

Pulangyun menjerit tertahan. Ia nyaris tak percaya menyadari apa yang terjadi. Ia tergugu. Saat tubuh Aryo Branggah terkulai kehabisan darah disertai lejangan terakhir lelaki penghadang saat meregang nyawa, Pulangyun merasakan nyawanya sendiri terbang. Tubuh dua orang itu... kini sama-sama berangsur diam. Tak ada lagi napas.

Kini... di rimba gelap ini, Pulangyun bagai gila. Ia menangis, namun tak tahu apa gunanya menangis. Kesendirian memerangkapnya di dalam hutan....
-----
Setelah menempuh perjalanan sungai hampir seharian, Pulangyun memutuskan menepi. Ia melanjutkan perjalanan darat untuk mencapai Cangkringan. Dari Cangkringan, ia melanjutkan perjalanan ke Jatinom dengan menyamar sebagai petani. Ia masih memiliki bekal untuk membeli gerobak berikut lembunya serta sejumlah barang hasil pertanian.

Namun, di Jatinom ini, petugas perbatasan mulai mencurigainya saat membongkar muatan dan menemukan tiga anak kecil. Pulangyun sadar akan bahaya. Karena itu, sebelum keadaan menjadi sulit, Pulangyun kembali memutuskan menempuh perjalanan rimba. Ia kembali memasuki hutan dan menelusuri lereng Merapi dengan kemahiran yang dipelajarinya dari Aryo Branggah.

Pulangyun akhirnya menemukan sebuah desa bernama Tengaran di lereng Gunung Merbabu. Rupanya ia telah meninggalkan Gunung Merapi, dan kini mulai mencapai kaki Merbabu. Ya, Merbabu! Alangkah jauh perjalanan yang telah ia tempuh.

Di desa Tengaran ini, Pulangyun beristirahat di sebuah telaga yang menjadi mata air dari sebuah sungai memanjang dan cukup luas. Sungai itu mengalir ke arah timur laut. Pulangyun tak pernah menyangka bahwa jalur sungai itu membawanya ke sebuah daerah yang menjadikan kebahagiaan kembali menyapanya. Sungai itu adalah... Sungai Serang!
-----
Epilog:
Nyi Ageng Serang tengah melatih sepasukan orang untuk mempersiapkan perlawanan terhadap Belanda di tanah Jawa. Agar tidak tercium Belanda, pelatihan para taruna itu memang dipusatkan di dalam hutan, di kaki Gunung Merbabu.

Lewat persentuhan dengan Nyi Ageng Serang yang membenci penjajah dan bertekad memperjuangkan kemerdekaan itu, Pulangyun mulai berubah pandangan. Ia mulai mengerti pengaruh buruk penjajah bagi moralitas orang Jawa. Rasa pembelaannya terhadap Islam dan tanah air mulai tumbuh.

Oleh Nyi Ageng Serang, Gondokusumo dan Mertonegoro –dua anak laki-laki Pulangyun—dilibatkan dalam pelatihan taruna. Kelak di kemudian hari, dua orang ini mengambil peran yang sangat besar dalam perjuangan Pangeran Diponegoro. Kedua putra Pulangyun ini terbukti menjadi taruna perkasa dan mendapat kepercayaan menjadi alibasyah (panglima perang). Tiga orang alibasya yang memimpin perang sabil ketika itu adalah Alibasya Sentot Prawirodirdjo, Alibasya Gondokusumo, dan Alibasya Mertonegoro. Kelak di kemudian hari pula, saat putri Pangeran Diponegoro menjadi janda karena suaminya terbunuh dalah peperangan dengan Belanda, Pangeran Diponegoro menikahkannya dengan Mertonegoro.

Dyah Ayu Pulangyun dan anak bungsunya, Ratu Pembayun, turut serta dalam kelompok prajurit wanita, dan mengobarkan perang di daerah Grobogan.

Perang Jawa berkobar. Masa itu sungguh menjadi masa pembuktian bagi para pahlawan. Sejarah pun mencatat nama-nama Gondokusumo, Mertonegoro, Ratu Pembayun, dan Dyah Ayu Pulangyun sebagai pahlawan-pahlawan kesohor yang mengabdikan diri bagi perjuangan kemerdekaan negeri ini.
-----
Bandung, akhir Agustus 2003

Daftar bacaan:
Bambang Sokawati Dewantara; 1980. Nyi Ageng Serang. Penerbit Roda Pengetahuan. Jakarta.
Dick Hartoko; 1979. Bianglala Sastra; Bunga Rampai sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Penerbit Djambatan.
Karel Steenbrink; 1995. Kawan Dalam pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penerbit Mizan, Bandung.
Beberapa sumber lainnya

0 comments: