RSS

Holy

Wednesday, September 12, 2007

Penulis:Asa Mulchias

“Saya yakin bahwa putra saya meninggal tidak untuk perang suci, perdamaian dunia, atau apapun namanya. Kebijakan luar negeri inilah yang telah membunuhnya. George Walker Bush telah membunuhnya! Presiden Amerika Serikat telah membunuh anak saya! Saya mohon, atas nama Brian, berhenti membunuh. Jangan ada lagi perang!” Rose Slavenas, nama ibu yang meradang itu. Anaknya, Brian Dietz Slavenas, kini hanyalah daging tak bernyawa. Diam, mati. Tewas. Irak, di medan perang. Jiwanya dirampas malaikat maut ketika helikopter Chinook yang dikendarainya jatuh tertembak. Bersama 15 tentara yang lain, nyawa Brian terempas. Menguap. Ke atas langit. Jauh. Menjauh. Semakin jauh. Aku ingin menghibur Rose. Dia terlalu sedih; berkali-kali menyesali kenyataan–dengan ribut menyalak-nyalak, menyalahkan banci-banci berjas rapi di White House. Ini bukan kecamannya yang pertama. Lebih satu dekade lalu, dia sudah memulainya. Rose adalah orang yang aktif menentang perang. Dan itu kembali dia lakukan dengan mengambil bagian dalam demonstrasi akbar mengecam perang Bush di Washington DC, beberapa waktu lalu. “Harusnya dia saja yang berperang di Irak. Ide perang dengan Saddam Husein adalah idenya. Kenapa harus Brian yang pergi dan bertempur? Kenapa harus dia yang mati? Buat apa Brian berperang untuk presiden yang irrasional seperti George Bush itu!?” “Rose, sabarlah…” aku memeluknya erat. Mencoba memberikan energi lebih untuk wanita yang diam-diam kukagumi sejak lama. Kami bertetangga, dan sering berbicara dari hati ke hati. Semoga saja itu sudah cukup membuatnya memanggilku sahabat baiknya. “Dia membunuhnya, Jane! Dia pembunuh, manusia paling berbahaya di planet ini! Dia gila, sinting!” Rose menjerit-jerit. Huh, bodohnya aku mengatakan tentang kesabaran saat-saat ini. Sebuah pelukan tanpa kata (kupikir) sudah lebih dari cukup. Rasanya nasihat seperti apapun akan mentah bagi Rose saat ini–pun aku bila pada posisi yang sama. Aku tahu, kehilangan anak bagi seorang ibu–bahkan bagi seorang mantan professor di salah satu universitas negeri Amerika itu–tetaplah menyakitkan. Ibu tetaplah seorang ibu: orang yang paling tidak tahu kenapa dan mengapa mereka sangat menyayangi anaknya melebihi dari apapun juga di dunia ini. “Seharusnya dia masih di sini, Jane. Bersamaku… di dunia ini. Belum waktunya dia terbaring di dalam tanah sendirian. Dia seharusnya masih ada!” logika pahit telah memaksa hati hancur itu memuntahkan pengingkaran atas takdir. Memakai kamus bahasa manusia: Brian harusnya masih hidup saat ini. Kalau saja pengunduran dirinya dari National Guard Commission diterima, dia pasti tak akan ikut perang ke Irak. Brian yang kukenal memang seperti itu. Dia tahu mana itu perang perdamaian atau perang demi kepentingan seseorang. Pun soal Irak. Dia tak pernah setuju dengan perintah perang yang dikeluarkan Washington DC. “Perang ini adalah untuk perdamaian dunia. Justru jika anda cinta damai, anda akan ikut berperang bersama kami,” kurang lebih begitu tanggapan (dingin) atasan terhadap pengunduran diri Brian. Jangankan Rose, aku saja muak mendengar alasan macam itu. Muak itu kian menjadi-menjadi ketika pasca perang–yang telah menghancurkan kehidupan kedua belah pihak yang berperang–tak kunjung berikan bukti konkret tuduhan Amerika terhadap Irak. Dimana senjata nuklir itu? Dimana ancaman dunia itu? Mana?! Bahkan, seorang anggota Illinois National Guardsman angkat bicara soal satu ini. Jessica Macek dalam kesaksiannya mengatakan ada banyak keraguan dan kebohongan tentang alasan tentara Amerika berperang. Dalam reportase selama 9 hari dengan WNTA, sebuah stasiun radio Rockford, Macek kembali menyatakan bahwa selama 6 bulan mereka berperang di sana, tak satu senjata mereka temukan. “Jika senjata itu benar benar ada, pasti sekarang kami telah menemukannya,” Mantan Sersan 333 Mp Company di selatan Baghdad itu berkomentar vulgar. Dia tak lagi berpihak kepada pemerintah–Amerika terus saja meyakinkan dunia bahwa nuklir itu ada. Bahkan bisa dikatakan, demi apa yang telah dilihat oleh mata kepalanya sendiri, Macek tengah melawan arus. Rose masih menangis. Realita terlalu maja. *** “Mom, kenapa Big Bro mati?” Junior belum tidur. Sesaat sebelum kututupi tubuh lelaki mungilku dengan selimut, binar tanyanya melesat; menghujam dadaku, tajam. Ah, kenapa Junior harus bertanya soal Brian? Berurusan dengan orang lain akan terasa lebih mudah bila bicara hal ini. Tapi, aku tidak mau berbohong. Junior harus tahu keadaan sebenarnya dari mulutku sendiri. Segetir apapun itu–termasuk tentang ayahnya yang sudah lama kabur dengan wanita lain; orang-orang lalu berkomentar: Aku membesarkan Junior dalam kebencian. Aku meringis: tahu apa mereka tentang kebencian? Akulah yang ditinggalkan suamiku, bukan mereka! Lagipula, cepat atau lambat, Junior pasti tahu perihal ayahnya yang bermental seperti ayam: kabur tanpa tanggung jawab, tanpa memberi nafkah yang layak. Tidak untukku, tidak juga untuk Junior–anaknya. “Dia mati dalam perang, Junior. Perang Irak,” tukasku jujur. “Dia ditembak, Mom?” “Helikopter yang dikemudikan Brian jatuh, Junior.” Junior terdiam. Bola matanya berkaca-kaca. Menangis; buru-buru disusutnya air yang membasahi pelupuk kedua matanya. Brian nampak masih ingin banyak bertanya. Ini soal kepergian sahabat terbaiknya. Aku tahu, dia sangat kehilangan. Sama halnya seperti Rose, Marcos, dan kerabat Brian yang lain: aku. Aku juga sangat kehilangan. Selama ini Brian selalu jadi ‘anakku’ karena Junior menganggapnya sebagai kakak laki-laki yang tak pernah dimilikinya. Sesaat aku terhanyut membayangkan tak akan ada lagi Big Bro yang mengajak Junior bermain basket di lapangan, jalan-jalan ke taman, atau nonton film-film Hollywood terbaru di bioskop saat Brian punya waktu luang. “Kenapa Big Bro harus berperang, Mom?” “Karena pemerintah mengharuskan Brian ikut, Junior. They said Iraq have nukes. Thats why America decided to attacks Iraq...” “Is it true, Mom?” Di bayanganku melesat hadir bayangan Rose, Brian, dan 15 serdadu Amerika yang tewas. Hadir pula bayangan kejatuhan helicopter Chinook, kesaksian Macek, dan… Bush Junior: like father like son. Bush Junior sangat persis dengan ayahnya dulu. Dia seperti replika muda atau kloning George Bush senior: membuat sekuel film perang Irak bagian kedua. Film yang hampir membuat Amerika ambruk lantaran biaya perang yang signifikan di tengah grafik ekonomi Amerika yang (masih) morat-marit pasca tragedi hancurnya twin towers: World Trade Center. Film perang yang telah mengorbankan sejumlah besar putra-putra terbaik negeri. Film yang ditentang Paus Vatikan, tapi tetap dilakoni Bush. Film yang membuat Rose menangis sepanjang malam! Film yang telah menghilangkan nyawa Brian, kakak laki-laki Junior selama ini. Dia telah membunuh banyak kehidupan atas nama per-da-mai-an. Janggal! “Junior, apa kau masih belum mengantuk?” Junior menggeleng. Masih menunggu jawaban. *** Ketika peti mati Brian hendak dibalut bendera Amerika sebagai tanda penghormatan terakhir–secara militer, Rose mati-matian menyingkirkannya. Dia tak sudi tubuh anak tercintanya lagi-lagi masih dikait-kaitan dengan perang suci Amerika. “Tak akan kuijinkan kalian menutupi peti Brian dengan bendera itu. Remove it! Singkirkan dari Brian. Dia tak butuh itu!” Rose melotot marah pada prajurit-prajurit yang sekiranya berada di sekeliling peti jenazah Brian. Marcos segera menghampiri Ibunya. Mencoba sekali lagi, mencoba menenangkan sang ibu yang terguncang. “Marcos, jangan biarkan mereka memakaikan bendera pada peti kakakmu! Jangan biarkan! Biarkan Brian dengan tenang tanpa lacur bendera ituu!” Ratusan orang yang memadati pemakaman Brian hari ini. Mereka terpaku menatap betapa histerisnya Rose pada para prajurit itu. Nanar, nanap. Gereja Faith United Methodist dipenuhi warna kelabu–bahkan mungkin tak berwarna sama sekali: emosi, kesedihan, kebencian, amarah, kehilangan, ratapan. Semua membaur. Demi Rose, akhirnya para prajurit mengurungkan rencana mereka; terlalu takut dan gentar dengan acungan jari tangan Rose di udara. Marcos berhasil mengajak Rose untuk duduk. Air matanya tumpah ruah saat tubuhnya tersender di kursi. Sapu tangan Rose kuyup sejak tadi. Tangisnya terus saja meraung ketika rangkaian acara pemakaman digulirkan. Acara yang sungguh menyiksa batin bagi siapapun yang mengenal Brian di masa hidupnya; pemakaman penuh nostalgia manis yang menyayat. Sebuah slide diputar untuk mengingat kenangan hidup yang pernah dilalui Brian: si leaguer kecil yang tangkas, seorang siswa murid sekolah dasar yang cerdas, calon pemain basket yang berbakat, dan… pemuda yang tegap. Tampan. Dia memang pantas jadi tentara. Walau Rose menentang keinginan itu, toh Brian tetap masuk juga. Menjadi tentara adalah keinginannya sendiri. Sebuah pekerjaan mulia, menurutnya. Brian ingin jadi prajurit karena ingin menolong orang. Oh, Rose tak kuat lagi. Bahkan Marcos–yang seharusnya hadir untuk menguatkan sang ibu–tak kuasa pula menahan desakan air matanya. Dia sama seperti semua orang hari ini. Untuk sementara tak ada laki-laki tangguh berperawakan besar yang setiap hari rajin mengukir otot bisep dan perutnya di gym. Dia hanya jadi seorang saudara yang merasa kehilangan dan kesedihan pada saat yang bersamaan. “Kalian puas, hah?! Kalian puas! Kalian korbankan anak-anak kami demi sesuatu yang belum kalian buktikan sampai sekarang. Kalian pembohong terburuk yang pernah ada. Kalian pembunuuuh! Pembunuuh!” Rose mengamuk. Wanita paruh baya itu tiba-tiba menghambur lagi menuju ke tempat duduk para prajurit AS. Emosinya meledak lagi: melebihi nuklir–yang sama sekali belum pernah terlihat di Irak. Matanya seolah hendak keluar. Melotot! Melotot! Berkali-kali sumpah serapah bermuntahan keluar dari lidahnya. Pasti: hatinya terlalu sakit. Sakit. Aku bangkit. Meninggalkan Junior yang duduk hambar di sampingku. Aku harus segera menangkap Rose. Hadirin tak berbuat banyak: sebagian sibuk menangis, sebagian lagi sekusut muram. Kerabat-kerabat dekat Brian tak tahu harus bersikap seperti apa. Segalanya terlihat percuma saat ini. Dalam kebimbangan kesejatian tujuan perang suci negara atau kematian tragis Brian yang bisa dikatakan tak pernah dikemukakan dengan jelas. Jika saja di sana benar ada nuklir, mungkin segalanya akan lebih baik dan beralasan: sahabatku yang histeris–hampir kehilangan suaranya, Junior yang terus membisu, tentara-tentara yang ikut terbunuh bersama Brian, penduduk sipil Irak yang kehilangan nyawanya demi kepentingan para pemimpin mereka, dan... tubuh yang tak utuh lagi. Brian. Oh my Lord, tubuh Brian tidak layak disebut tubuh lagi sekarang. Itu hanya kepingan sisa-sia! (haruskah kuceritakan kalau Brian dikembalikan dari Irak dalam keadaan tercabik-cabik seperti mainan puzzle milik Junior?!) “Rose… tenanglah. Bukan mereka yang harus bertanggung jawab atas kepergian Brian,” aku merengkuh Rose hangat. Mencoba bersikap adil; aku yakin, para prajurit itu hanya menjalankan tugas mereka. Rose mereda, walau masih terus menangis. Aku merangkul dan merayunya agar kembali ke tempat duduk. Berusaha agar prosesi terus berlanjut. Agar semua ini segera berlalu. Aku tahu, Rose masih belum bisa menerima semua ini dengan baik. Dia masih menyimpan ribuan andai, bila, dan kalau dalam hatinya. Berkhayal tak kenal ujung, lalu menangis ketika menyadari segala impiannya tak mungkin lagi jadi kenyataan. Masih berharap ini semua hanyalah salah satu episode Freddy Krueger: seram, tapi hanya bualan. Bukan kenyataan. *** “Mom... tell me. Bagaimana tentang nuklirnya?” Junior menggandeng tanganku saat pulang dari pemakaman. Sungguh, aku ingin terus bersama Rose. Tapi, kulihat Junior sudah sangat lelah. Dia butuh istirahat. Aku menarik nafas. Sejenak, lalu diam. Junior masih menunggu jawaban–aku berhasil mengelak semalam. Dalam kepolosan bocah-bocah yang masih bening, Junior tampak tahu betul kenapa dia harus bertanya. Mungkin dia ingin bertanya apakah ada cukup takdir atas kepergian sahabat terbaiknya. Jika itu ada, mungkin dia akan diam dan meneruskan hidupnya. Jika tidak? Entah apa yang terjadi. Mungkin dia sekedar ingin tahu apa itu kejahatan, apa itu kebaikan. Untuk jadi manusia dewasa yang lebih baik–I hope so. “They lied, Junior. Mereka membohongi Brian. Tak ada nuklir di Irak.” “Kalau begitu, kenapa harus Brian yang mati, Mom? Bukankah nuklirnya tak ada. Kalau begitu, Amerika tak perlu perang. Bukankah itu alasan utama Amerika menyerang Irak?” Nafasku tertahan: tak tahu harus menjawab apa. Pemimpin negeri ini punya jalan pemikiran, yang Junior dan dunia, tak akan pernah bisa mengerti. Aku yakin, menjelaskannya pada Junior sama sulitnya dengan menerangkan pada semua orang: untuk apa Amerika membunuh begitu banyak orang untuk sesuatu yang tidak ada. *** Epilog Tony Blair telah mengaku. Intelejen Amerika telah mengaku: tidak ada Nuklir di Irak. Semuanya seperti apa yang PBB telah simpulkan sebelum perang pecah. Aku mendengus. Tak heran. Tidak mengejutkan. Hanya saja, aku tidak melihat Rose menyikapi berita itu dengan bijak. Dia makin histeris. Dia makin aneh. Diam berkepanjangan. Kalaupun berbicara hanya untuk memaki-maki Bush sebagai orang gila yang dilantik jadi presiden. “F**k you, Bush! F**k you!” Rose tertawa dan memotong urat nadinya hingga putus. Untuk kematian itu, aku harus kembali bertubi-tubi menjawab pertanyaan Junior, yang semakin kritis.ڤ

0 comments: