RSS

Istiqamah, Pit!

Wednesday, September 12, 2007

Penulis:Yudith Destyana

“Aku ingin seperti Mbak Alya deh…” celetuk Pipit lugas. Aku menghentikan tarian jemariku di atas key board komputer. Buyar sudah analisaku tentang UU Hak Cipta yang baru demi mendengar ucapannya. Setengah tak mengerti aku menatap gadis enam belas tahun dengan heran.

“Maksudnya?”
Iya…Mbak Alya kan pintar, buktinya bisa kuliah di universitas negeri. Baik, kalem dan yang paling penting…Mbak jago ceramah, bisa membawa orang ke arah kebaikan. Dihormati, dikagumi banyak orang…” jawab Pipit ringan. Terus terang jawabannya itu membuat hidungku kembang kempis kege eran, tak ayal seulas senyum tipis terlukis di wajahku.

“Wooo…ge er deh!” teriak Pipit melihat senyumanku seraya melempar bantal ke arahku. Aku tertawa menghindari serbuan bantal itu. Kami berguling-guling di atas tempat tidurku sambil tertawa sampai akhirnya berhenti kelelahan.

“Tapi…serius deh, Mbak. Aku ingin bisa seperti Mbak. Mengajak orang ke arah kebaikan. Sayang, aku nggak bisa ceramah seperti Mbak. Ngisi kajian-kajian juga nggak bisa. Ilmuku kan masih sedikit sekali,” lanjut Pipit lagi sambil menatap mataku lurus-lurus. Aku tersenyum senang mendengar ucapanya. Pipit yang baru saja berhijrah, maksudnya memakai jilbab, memang sedang senang-senangnya belajar tentang agamanya ini. Istilahnya sedang tinggi sekali ghirah Islamnya. Sehingga wajar sekali kalau ia ingin membagi pengetahuannya kepada orang lain.

“Kamu ingin berdakwah seperti, Mbak?” tanyaku.
Pipit mengangguk kuat-kuat. Di mata jernihnya kutemukan kesungguhan.

“Kamu tahu, dakwah itu tak hanya lewat ceramah atau mengisi kajian-kajian. Ada banyak sekali cara yang bisa kamu pilih untuk berdakwah. Kalau kamu merasa ilmu kamu belum cukup untuk ceramah atau mengisi kajian-kajian, kamu bisa memilih jalur dakwah yang lain sambil terus belajar dan mencari tahu. Yang penting itu semangatnya, Pit. Semangat untuk berdakwah, mengajak orang kepada kebaikan. Mengerti?” jelasku panjang lebar. Pipit mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras untuk mencerna kalimat-kalimatku.

“Gimana caranya, Mbak?” aku sudah menduga pertanyaan ini akan terlontar dari bibir mungilnya. Dan aku juga sudah menyiapkan jawabannya.

“Kamu bisa menulis dengan baik kan? Mbak tahu kamu jago dan berbakat dalam mengolah kata-kata menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca. Buktinya, beberapa karya kamu sudah pernah dimuat di mading sekolah. Coba deh, hal itu kamu jadikan sarana untuk berdakwah. Kamu bisa membuat cerpen atau artikel yang memiliki pesan moral untuk mengajak ke arah kebaikan. Kamu kirim ke majalah-majalah Islami. Kalau dimuat dan dibaca banyak orang itu kan sama juga dengan berdakwah,” usulku lagi. Kulihat ada binar-binar gembira di mata Pipit. Ia menganggukkan kepalanya.

“Iya, Mbak…wah. Ini baru ide hebat. Kok selama ini aku nggak kepikiran untuk membuat tulisan yang Islami ya?” seru Pipit bersemangat. Aku tersenyum mendengarnya.

“Habis selama ini kamu hanya membuat roman picisan saja sih, yang isinya nggak jauh dari cinta-cintaan…” godaku yang langsung disambut pelototan mata bundarnya. Aku tergelak melihatnya.

“Ya sudah, Mbak…sekarang minggir donk, Aku pinjem komputernya dulu. Ada ide yang tiba-tiba lewat, nih…” kata Pipit seraya menggeser tubuhku dari depan layar komputer. Giliran aku yang kaget melihat tingkah spontannya.

“Eeeh…Mbak masih perlu, mau ngetik paper,” protesku. Namun Pipit tidak menghiraukan. Terpaksa deh…aku mengalah pada adik semata wayangku itu.
***

“Mbak Alya…Mbak…buka pintunya donk!” Pipit mengetuk pintu kamarku keras-keras. Aku yang baru saja terjaga dari tudur siangku tersentak kaget. Sekali lompat aku sudah membuka pintu dan menemui senyum manisnya di balik pintu.

“Ada apa? Siang-siang begini teriak-teriak. Pulang sekolah itu, ganti baju dulu, cuci kaki, cuci tangan, bukannya teriak-teriak bangunin orang tidur,” omelku kesal. Mataku menelusuri tubuhnya yang masih dibalut seragam putih abu-abunya. Masih lengkap dengan jilbab dan sepatu. Dasar Pipit…

“Ini, Mbak. Aku mau Mbak baca ini,” kata Pipit tanpa mempedulikan omelanku. Dengan tergesa ia menyodorkan majalah remaja Islami yang masih kinclong. Majalah itu terbuka tepat pada halaman yang memuat cerpen berjudul Ayo Bangun, Mbak!
Aku menggeleng tak mengerti.

“Ini karyaku, Mbak. Lihat…ini namaku. Widya Puspita. Karyaku dimuat, Mbak!” jerit Pipit tidak sabar. Aku terbelalak kaget. Dan tanpa sadar aku sudah ikut menjerit seperti Pipit. Aku bangga sekali Pipit berhasil. Kami tertawa bersama merayakan keberhasilannya. Ini pertama kalinya tulisan Pipit dimuat di majalah. Hal ini menunjukkan kesungguhannya dalam berkarya dan berdakwah.

“Ngomong-ngomong ceritanya tentang apa, Pit?” tanyaku penasaran.
“Tentang kebiasaan buruk Mbak yang sering tidur siang sampai telat salat asar,” jawab Pipit sambil langsung berlari menghindari kejaranku. Aku mendelik kesal.

Sejak saat itu Pipit semakin bersemangat menulis. Ada saja yang bisa ia jadikan ide cerita untuk berdakwah. Biasanya kejadian sehari-hari. Aku senang karena Pipit juga semakin rajin membaca buku-buku keagamaan untuk menambah pengetahuannya dalam menulis cerita. Secara tidak langsung ia sudah berdakwah, mengingatkan kita pada hal-hal kecil yang terjadi sehari-hari untuk diambil hikmah.

Untuk hal mengolah kata-kata Pipit memang jagonya. Aku mengakui hal itu. Karya-karyanya bagus dan memiliki pesan moral yang mudah dicerna. Hampir semua tulisan yang Pipit kirimkan dimuat di majalah. Pipit semakin bersemangat menulis. Apalagi dari honor penulisannya itu Pipit bisa mendapat tambahan uang jajan.

Kadang Pipit berkutat di kamarku memakai komputer hingga tengah malam. Sepertinya hanya menulis dan menulis saja yang ada di kepalanya. Untungnya sekolah sudah mulai libur semester, sehingga tidak mengganggu kegiatan belajarnya. Seperti malam ini, jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul dua belas malam, namun Pipit masih tekun di depan komputerku.

“Sudah, Pit. Sudah malam, besok saja diteruskan lagi ngetiknya,” kataku menasehatinya. Aku khawatir dengan kesehatannya.

“Ini harus selesai sekarang, Mbak. Besok aku mau memulai menulis cerita baru lagi. Aku kan sedang ngejar honor, kalau aku berhasil membuat tiga cerpen lagi untuk dimuat maka uang tabunganku sudah cukup untuk beli handphone,” jawab Pipit tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer.

Aku terhenyak kaget mendengar jawabannya. Sepertinya ada yang salah di sini. Kulirik Pipit dengan sudut mataku. Kening Pipit tampak berkerut-kerut memikirkan kata-kata yang tepat untuk di tulis. Aku tidak tega mengganggunya sekarang. Lagipula mataku sudah sangat sulit untu diajak kompromi. Karena itu aku memutuskan untuk tidur.

“Kalau sudah jangan lupa matikan komputernya, Pit,” pesanku sebelum memejamkan mata.
***

Sudah sebulan belakangan ini Pipit tidak menyentuh komputerku. Dia juga terlihat lebih banyak diam. Pulang sekolah ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya. Aku juga jarang mengobrol dengannya karena sibuk dengan kegiatan kuliahku. Sudah lama sekali aku tidak mendengar celotehan ributnya.

Sore ini aku menemui Pipit sedang berbaring di kamarnya. Lantunan suara Raihan terdengar mengalun dari tape di sudut kamar. Pipit hanya melirik sebentar saat aku membuka pintu kamarnya. Aku langsung duduk di ranjang Mickey Mousenya. Ia kembali memejamkan mata, pura-pura tidur.

“Ada apa, Pit? Sudah lama Mbak perhatikan kamu nggak pernah pinjem komputer Mbak lagi. Sedang nggak ada ide untuk menulis ya?” pancingku langsung ke pokok permasalahan.
Pipit membuka mata bundarnya kemudian menggeleng pelan.

“Atau kamu sedang sibuk dengan tugas-tugas sekolah?” tebakku lagi.
Pipit kembali menggeleng.

“Terus…” kataku menunggu ceritanya.
“Aku males menulis lagi, Mbak. Beberapa cerpen terakhir yang aku kirim nggak dimuat. Jadi nggak semangat,” akhirnya Pipit angkat bicara juga. Aku tersenyum kecil.

“Ya…baru segitu saja sudah patah semangat. Katanya mau berdakwah. Harus sabar. Kalau belum dimuat, kamu harus membuat yang lebih bagus lagi, donk. Bukannya patah semangat begini,” ujarku menasehati. Pipit kembali menggeleng.

“Nggak…ah, Mbak. Nanti saja kalau harga handphone turun lagi.”
“Lho…apa hubungannya menulis cerpen dengan harga handphone?” aku pura-pura tidak mengerti dengan jawaban Pipit.

“Gara-gara cerpenku nggak dimuat, aku gagal beli handphone, padahal waktu itu harganya sedang murah. Sekarang harga handphone sudah naik lagi,” jelas Pipit hambar. Aku tersenyum lagi. Ini dia masalahnya. Niat pipit sudah bergeser rupanya. Ini yang harus aku luruskan. Tapi dengan cara yang halus tentunya. Sebersit ide lewat di kepalaku.

“Ya sudah, ikut Mbak mengajar anak-anak TPA, yuk. Daripada kamu di rumah sendirian. Ayo…” ajakku seraya menarik tangannya. Semula Pipit enggan namun akhirnya aku berhasil menariknya bangun dan memaksanya segera mengenakan jilbab kaosnya serta kemudian mengikutiku ke musala di sebelah rumah.

Selama mengajar anak-anak TPA, Pipit hanya duduk diam di sudut musala. Ia terlihat bosan. Aku membiarkannya. Satu jam kemudian aku sudah selesai mengajar anak-anak tersebut. Seperti biasa, mereka menarik lengan gamisku untuk bercerita.

“Cerita…cerita…” seru mereka beramai-ramai. Aku mengagguk setuju.
“Ya sudah…ayo duduk yang rapi. Mbak mau bercerita. Semua diam ya, jangan berisik,” kataku kepada mereka yang langsung menghentikan obrolan-obrolan mereka. Semua duduk rapi mengelilingku dan menatapku ingin tahu. Kulihat Pipit duduk mendekat, sepertinya dia juga tertarik dan ingin tahu.

“Zaman dahulu ada seorang pemuda yang sangat taat beribadah. Ia rajin salat, mengaji dan berbuat baik. Hidupnya dihabiskan dengan beribadah kepada Allah. Di sekitar tempat tinggalnya tumbuh sebuah pohon besar yang sering disembah oleh pendduk desanya. Pohon itu dianggap sebagai tuhan…” aku mulai bercerita. Kulayangkan pandangaku ke arah wajah-wajah polos yang menanti lanjutan ceritaku.

“Pemuda itu tentu sangat marah karena perbuatan menyembah pohon itu adalah perbuatan syirik yaitu menyekutukan Allah. Karena itulah, suatu hari pemuda itu mendatangi pohon dengan membawa sebilah kampak untuk menebang pohon. Ketika tiba di sana pemuda itu bertemu syetan yang menghuni pohon tersebut. Mereka akhirnya bertarung. Pertarungan itu dimenangkan oleh si pemuda…” aku menghentikan sebentar kalimatku. Kulirik Pipit yang nampak serius mendengarkan kelanjutan ceritaku.

“Karena kalah, syetan memohon kepada si pemuda untuk tidak menebang pohon itu. Sebagai imbalannya, syetan akan meletakkan sekeping emas di atas bantal pemuda itu setiap harinya. Setelah berpikir sejenak, si pemuda setuju. Ia tidak jadi menebang pohon itu dan kembali ke rumahnya. Besok paginya syetan menepati janjinya, si pemuda menemukan sekeping uang emas di atas bantalnya. Begitulah setiap hari selalu ada sekeping uang emas untuk si pemuda sehingga dalam waktu singkat ia menjadi seorang yang kaya raya…”

“Rumahnya besar, ya Mbak? Ada kolam renangnya?” suara-suara kecil mulai berlompatan dari bibir anak-anak itu. Aku mengangguk mengiyakan. Aku melanjutkan ceritaku.

“Hingga suatu hari, pemuda itu tidak lagi menemukan kepingan emas di atas bantalnya. Ia menjadi sangat marah pada syetan yang telah mengingkari janjinya. Dengan penuh amarah ia mendatangi pohon itu sambil membawa sebilah kampak untuk menebang pohon itu. Setibanya di sana ia dihadang kembali oleh syetan dan diajak bertarung. Kali ini si pemuda itu kalah. Kalian tahu mengapa kali ini ia kalah?” tanyaku kepada mata-mata jernih yang menatapku.

“Karena si pemuda belum makan…karena syetan minum vitamin…karena syetan berantemnya kroyokan…” berbagai jawaban tersembur dari anak-anak itu. Semuanya mencoba mengungkapkan pendapatnya masing-masing. Aku tersenyum geli demi mendengar jawaban lugu mereka.

“Si pemuda kalah karena niatnya yang salah,” jawabku menghentikan celoteh mereka. Beberapa di antara mereka menatapku bingung.

“Pertarungan yang pertama dimenangkan oleh si pemuda karena ia bertarung dengan niat yang tulus yaitu membela agamanya. Oleh karena itu Allah membantunya dalam pertarungan itu. Sementara pertarungan yang kedua dilakukan oleh pemuda itu semata-mata karena harta. Hal ini yang membuat syetan menang karena pemuda itu bertarung atas nama ketamakannya akan harta benda,” jelasku diiringi anggukan mengerti mereka. Aku menatap mata bundar milik Pipit tajam. Kulihat ada bilur penyesalan di sana. Syukurlah, sepertinya ia menangkap makna ceritaku.
***
“Mbak, nyindir aku ya…” tuduh Pipit setelah tiba di rumah. Aku menggeleng.
“Bukan menyindir, Pit. Mbak hanya mengingatkan. Soalnya belakangan ini Mbak merasa niat kamu itu sudah bergeser. Semula kamu ingin menulis dengan niat berdakwah, mengajak orang pada kebaikan. Tapi belakangan ini kamu sudah mulai berorientasi pada materi, kamu terobsesi untuk membeli handphone dengan honor menulismu. Itu yang perlu Mbak luruskan. Niat kamu sudah tidak sama lagi,” jawabku jelas. Aku meraih tangannya dalam genggamanku, mencoba mengalirkan pengertian itu ke dalam dirinya.

“Jadi tulisanku belakangan ini tidak dimuat karena salah niat ya, Mbak?
“Bisa jadi. Segala sesuatu itu kan tergantung niatnya, Pit. Tapi yang jelas, karena kamu menulisnya terburu-buru, dikejar obsesi punya handphone, maka kualitas tulisan kamu juga menurun. Mungkin itu yang membuat tulisan kamu nggak layak muat lagi,” aku mencoba memberi argumen.

“Memangnya redaksi majalah itu bisa membedakan mana tulisan yang didasari niat dakwah dan mana yang didasari keinginan akan materi?” tanya Pipit bingung, masih tidak puas dengan jawabanku.

“Walau redaksi majalah itu nggak tahu tapi kan Allah tahu, Pit,” jawabku cepat dan telak yang kuyakin tak bisa dibantah lagi olehnya. Kepala yang dibalut jilbab biru muda itu tertunduk malu. Perlahan Pipit mengangguk setuju dan akhirnya seulas senyum manis menghias wajah suramnya. Aku lega sekali melihatnya kembali seperti dulu.

“Iya, Mbak. Aku ngaku salah. Mulai sekarang aku akan berusaha meluruskan niat. Nggak mau matre lagi seperti kemarin. Benar-benar menulis untuk dakwah,” seru Pipit berapi-api, kembali bersemangat. Aku tersenyum senang. Kali ini aku kembali melihat mata yang penuh kesungguhan itu. Aku percaya suatu hari nanti dengan semangatnya itu Pipit akan menjadi seorang pendakwah yang hebat.

“Istiqamah ya, Pit!” bisikku pelan di telinganya. Pipit menatapku haru dan dengan cepat ia menganggukan kepalanya kuat-kuat. Ah…adikku sayang.
Thank for Pipit, I borrow your name.
06 Agustus 2003

0 comments: